Transformasi digital kini menjadi kata kunci hampir di semua sektor, termasuk kesehatan. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tengah gencar mengembangkan layanan digital melalui SATUSEHAT, aplikasi kesehatan masyarakat, hingga Regulatory Sandbox yang menguji coba inovasi kesehatan berbasis teknologi. Tujuannya mulia: layanan lebih cepat, efisien, dan terintegrasi.
Namun di balik semangat besar itu, ada pertanyaan penting yang jarang dibicarakan: apakah transformasi digital ini juga memikirkan sisi etika, privasi, dan kesenjangan akses masyarakat?
Digitalisasi memang menjanjikan kenyamanan. Rekam medis terintegrasi membuat pasien tidak perlu lagi membawa map tebal dari rumah sakit ke rumah sakit. Rujukan antar fasilitas bisa dilakukan hanya lewat aplikasi. Pasien di kota besar bahkan mulai menikmati layanan telekesehatan yang hemat waktu dan biaya.
Dalam jangka panjang, digitalisasi berpotensi menciptakan sistem kesehatan yang lebih transparan. Data kesehatan masyarakat dapat digunakan untuk riset, perencanaan kebijakan, dan antisipasi wabah secara real-time. Dengan satu klik, pemerintah bisa membaca peta kesehatan nasional secara lebih akurat.
Meski menjanjikan, digitalisasi kesehatan juga menimbulkan dilema serius. Pertama, soal privasi data pasien. Rekam medis adalah informasi paling sensitif. Pertanyaannya: siapa saja yang berhak mengakses? Bagaimana jika data pasien bocor atau diperdagangkan oleh pihak tak bertanggung jawab?
Kedua, ketimpangan akses digital. Tidak semua warga Indonesia punya gawai canggih, sinyal internet stabil, atau literasi digital yang memadai. Lansia di pedesaan, misalnya, bisa kebingungan mengakses aplikasi kesehatan. Jika tidak diantisipasi, digitalisasi bisa menciptakan kelas baru: mereka yang 'melek digital' mendapat layanan prima, sementara yang lain justru makin terpinggirkan.
Ketiga, muncul tantangan etika penggunaan kecerdasan buatan (AI). Jika aplikasi kesehatan menggunakan AI untuk menganalisis gejala pasien, bagaimana memastikan hasilnya akurat dan bebas bias? Siapa yang bertanggung jawab jika terjadi salah diagnosis? Hal-hal ini membutuhkan regulasi yang jelas, bukan sekadar uji coba.
Kemenkes sudah memulai langkah positif melalui Regulatory Sandbox, sebuah ruang uji coba bagi inovasi digital kesehatan. Namun uji coba hanyalah permulaan. Yang lebih penting adalah bagaimana hasil sandbox diterjemahkan menjadi aturan permanen yang melindungi pasien, tenaga medis, sekaligus inovator teknologi.
Regulasi tentang keamanan data kesehatan harus spesifik, transparan, dan memiliki mekanisme sanksi yang jelas bila terjadi pelanggaran. Tanpa itu, transformasi digital bisa menjadi pisau bermata dua: bermanfaat sekaligus berbahaya.
Ada beberapa langkah yang bisa menjadi jembatan antara kemajuan teknologi dan keadilan layanan kesehatan:
1. Perkuat regulasi privasi data medis setara dengan undang-undang perlindungan data pribadi, khusus untuk sektor kesehatan.
2. Perluas akses infrastruktur digital ke daerah terpencil, termasuk subsidi perangkat atau kuota internet bagi keluarga miskin.
3. Edukasi publik tentang hak digital kesehatan, agar pasien tahu bagaimana data mereka digunakan dan bisa memberi persetujuan secara sadar.
4. Audit independen untuk platform berbasis AI, memastikan teknologi tidak bias, aman, dan akuntabel.
5. Dana berkelanjutan agar proyek digital tidak berhenti di tengah jalan setelah masa pilot selesai.
Transformasi digital kesehatan adalah keniscayaan. Pertanyaannya bukan 'apakah kita perlu digitalisasi,' melainkan 'bagaimana kita melakukannya tanpa mengorbankan hak, privasi, dan akses masyarakat.'
Kemenkes punya peluang besar untuk mencatat sejarah sebagai pelopor digitalisasi kesehatan yang inklusif dan beretika. Tetapi peluang itu hanya bisa tercapai bila regulasi berpihak pada masyarakat, bukan hanya pada kecepatan teknologi. Sebab, kesehatan bukan sekadar data, ia menyangkut martabat manusia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI