Mohon tunggu...
Seneng Utami
Seneng Utami Mohon Tunggu... lainnya -

an ordinary woman

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Rongga Hidup Si Hari

29 Mei 2015   01:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:29 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14328495761591732945


Cita-cita Hari adalah sebagai seorang yang bekerja di Pelayaran, bergaji tinggi dan disegani. Ia merupakan anak ketiga dari enam bersaudara. Terlahir dari keluarga yang pas-pasan. Hidup kedua orang tuanya seperti sebagaimana orang-orang yang hidup dan tinggal di daerah pegunungan. Ayahnya setiap pagi menderes pohon Aren, sekaligus memetik kolang-kaling. Ibunya sibuk mencarikan rumput untuk domba-domba yang ada di rumahnya, mencari kayu untuk kayu bakar memasak. Dan begitulah keseharian orang tua Hari untuk mencukupi kebutuhan keluarga sehari-harinya. Beruntung, di depan rumah Hari ada pohon durian yang hasilnya cukup lumayan untuk uang tabungan di kocek. Ada juga tanaman salak pondoh yang tak henti-hentinya keluar, selain itu di belakang rumah masih ada pohon kokosan dan rambutan dan hasilnya dapat dijual digantikan untuk membeli sabun atau segelondong garam penambah cita-rasa masakan ibu Hari. Orang tua Hari juga punya garapan di sawah juga. Jadi orang tua Hari adalah orang tua yang super sibuk.

2o tahun seorang hari bersekolah di bidang pelayaran di suatu kota yang letaknya jauh dari rumah asalnya. Alhamdulillah sudah tercapai. Dalam imajinasi Hari, masa depannya sudah pasti cerah dan mungkin akan lebih baik dari kedua orang tuanya yang serba biasa saja. Baru satu tahun ia menganyam pendidikan berbasis pelayaran, nasib buruk menimpanya tanpa diduga dan dinyana-nyana. Sungguh malangnya si Hari, suatu hari ketika ia pulang kampung dari tempatnya sekolah, ia membantu mencarikan rumput orang tuanya. Dan diperjalanan pulangnya dalam keadaan basah kuyup karena hujan deras, sedangkan jalan yang ia lalui sebuah perengan yang sangat licin, maka sesuatu hal yang na'as terjadi pun menimpa dirinya. Sabit yang tadinya ditaruh jadi satu dengan seikat rumput yang besar itu menancap di punggung Hari!

Setelah kejadian itu, dan selama masa-masa pemulihan dari sakit yang diderita Hari. Uang orang tuanya habis digunakan untuk mengobati Hari, dan tak sanggup lagi untuk membiayai sekolah Hari di pelayaran.

Luka yang diderita Hari sangatlah parah, tak heran jika Hari mesti berada di rumah dalam jangka waktu yang lumayan lama. Sampai pada akhirnya, ia berkeinginan keras untuk bisa lanjut sekolah dan berkumpul dengan teman-temannya yang lain. Sayangnya, orang tua Hari sudah mengaku menyerah untuk membiayai sekolah Hari hingga selesai. Hari kecewa, dia marah sama orang tuanya dan sikapnya pun juga berubah.

Ketika itu, kakak Hari yang pertama sudah menikah. Yang kedua sudah menikah pula. Dan karena Hari berubah jadi anak yang tak stabil emosinya, maka adiknya perempuan pun melangkahinya dengan jalan menikah! Kemudian dilanjutlah dengan pernikahan adik yang lainnya yang juga perempuan. Malangnya nasib Hari, dalam kesehariannya ia nampak seperti anak yang frustasi. Sudah kehilangan kepercayaan diri, menjadi pemurung, suka mengisolasi diri, dan sengaja menjauhkan dirinya dari pergaulan orang banyak, alasannya cukup sederhana, yaitu malu...

Bisik-bisik orang dulu, kalau yang namanya laki-laki sudah dilewati nikah adiknya perempuan sendiri. Si laki-laki akan jadi kesulitan mendapatkan jodohnya sendiri. Dan itu sepertinya benar terjadi dengan si Hari.

Adik-adik perempuan Hari setelah nasibnya bersuami. Adik-adiknya pun jadi ikut suaminya dan tak jadi satu lagi sama orang tua. Jadilah kemudian, Hari hidup sama orang tuanya. Semenjak ia bebas dari pengetahuan saudara-saudaranya yang lain, tingkah Hari terhadap orang tuanya semakin berani saja. Ia mulai berkata kasar dan kotor, suka pasang muka cemberut dan suka menentang apa yang jadi kata orang tuanya. Penampilannya Hari menjadi berubah total. Meski jenis kelaminnya tak diragukan lagi adalah laki-laki rambutnya sengaja dipanjangkan hampir sampai di pantatnya. Rokoknya berupa "Mbako lintingan", bukan seperti rokok-rokok yang dijual di pasar. Kalau ia lapar, ya tinggal makan, kalau ngantuk ya tinggal tidur. Kalau jenuh kadang ia akan menghidupkan TV-nya yang warnanya hitam-putih agak kebiruan. Atau mendengarkan radio yang sudah mirip barang rongsokan. Si Hari lama-kelamaan jadi gunjingan orang sebab ia tak mau bersosialisasi. Sempat direcokin sama teman-temannya untuk menikah, dia bilang nggak mau. Dan sebagainya.

Kematian Ibu Hari

Sebelum ibu Hari tiada, entah apa yang menjadikan kaki ibu Hari bengkak kedua-duanya. Perutnya membusung karena sakit. Persis tepat di depannya tempat tidur ibu Hari ada rongga pintu yang hanya berdaunkan kelambu. Pada saat malam, dingin menambah pilu hati si ibu Hari. Ibu Hari tidur tidak di tempat tidurnya melainkan didekat kandang domba. Menurut ilmu kedokteran, ia terkena penyakit liver dan komplikasi penyakit lainnya.

Sumpah serapah, akhirnya terlontar di mulut ibu Hari sewaktu ia berada di rumah sakit.

"Aku tak mau nanti anakku Hari ikut mengangkat kerandaku, aku terlanjur sakit hati kepadanya", ibu Hari berkata sambil menangis dihadapan salah satu anak perempuannya.

"Sudah, tenangkanlah hatimu Mak. Semua akan baik-baik saja Mak, insyaAllah", kata anaknya menenangkan ibunya.

Ibu Hari sudah sakit-sakitan lama di rumah, dan hanya dua hari di RS ia baru menghembuskan nafas terakhirnya. Sebelum dan saat ajal itu tiba, anak-anaknya sudah berkumpul dan bersama-sama menengadahkan tangan memohon kekuatan dari Sang Pencipta. Do'a-do'a dilafalkan disertai isak tangisan yang mengharu-biru.

Diantara adik perempuan Hari, saat itu ada yang baru saja mengalami kecelakaan dan kakinya patah. Perasaan adik perempuan Hari yang kakinya patah belum pulih sepenuhnya itu seperti tersayat-sayat. Begitu sayangnya ia dengan ibu itu. Begitu dekatnya ia dengan ibu itu. Dan karena sebenarnya adik perempuan yang berkaki patah itu yang jadi kesayangan Ibu Hari sewaktu hidup.

***

Kini tinggalah di rumah yang berkandang domba reot itu hanya Hari dan ayahnya. Kandang dombanya seolah tak terurus, kotoran dombanya sudah mencapai dua meter. Tampaklah domba itu sekaan ada dipanggung, bukan di dalam kandang. Entah karena Hari yang malas, atau memang sengaja kotoran domba itu dibiarkan. Hari masih seperti yang dulu, masih menutup diri dan makan seadanya, rambutnya gondrong dan rewo-rewo, penampilannya sembarangan, seperti bajunya yang entah robek di mana saja ia tak peduli. Termasuk robek di celana luarnya, hinga celana dalamnya dapat diintip orang.

Ayah Hari sangat jauh berbeda dengan Almarhum ibunya dulu yang lebih berani berkata-kata sesuatu. Kalau ayah Hari cenderung diam. Sehingga perdebatan diantara kedua orang itu sangatlah jarang terjadi. Setahun kemudian setelah kepergian ibu Hari, keadaan ayahnya pun jadi memburuk. Ayah Hari sudah mulai sakit-sakitan. Sudah mulai kehilangan kesadaran. Ia sudah bingung dan lupa siapa-siapa nama cucu dan bahkan anaknya sendiri ia lupa!

"Ini Hape ya namanya, aku mau dong dibelikan biar aku bisa aku punya mainan", kata ayah Hari  kepada salah satu cucunya yang sudah bekerja dan bisa beli Hape sendiri.

"Hehehe, iya kek kapan-kapan ya dibelikan"

Lagi-lagi Hari membuat kesalahan terhadap orang tua yang tinggal satu-satunya. Suatu hari Ayah Hari kelaparan, dan ia tak mau memberikan nasi untuk ayahnya. Sementara ayahnya sudah tak sanggup lagi berjalan mencari makan. Berita itu akhirnya terbongkar setelah salah satu anak ayah Hari lainnya sedang datang mengirimkan beberapa makanan.

Pada ajal yang sudah jatuh kepada ayah Hari, saat itu juga Hari pinsan tak sadarkan diri hingga ayahnya sudah siap diberangkatkan. Hari merasa bersalah, Hari menyesal, Hari sudah seperti tidak punya siapa-siapa selain domba dengan kotoran yang tingginya dua meter di rumahnya. Tak ada bini yang menemani hidup Hari, tak ada siapa-siapa lagi dalam hidupnya. Ia hanya akan hidup dengan rambut gondrong. Sendiri. Ia akan mengepulkan asap Mbako lintingannya dengan epulan hampa. Ia siap kelaparan sebab tak ada pekerjaan yang tetap baginya. Pekerjaan sehari-harinya hanya mencari rumput, mencari kayu bakar dan berdiam di rumah.

NB : Terlepas kisah atau cerita di atas fiksi atau non-fiksi, kita dapat menyimpulkan bahwa sikap si Hari berubah dratis karena nasib buruk yang dideritanya itu datang secara tiba-tiba. Padahal tadinya, Hari punya cita-cita tinggi, dan punya impian memiliki hidup yang mapan. Perlakuan Hari terhadap orang tuanya berubah, mengingat orang tuanya tak sanggup lagi membiayai sekolah Hari yang amat mahal. Namun, Hari bukannya memaklumi keadaan orang tuanya yang serba pas-pasan itu tapi malah berbuat sewenang-wenang terhadap orang tuanya sebagai pelampisan rasa kecewanya.

Cermin : seburuk apapun orang tua, sebagai anak selayaknya jangan berani durhaka sama orang tua. Salamku, do'aku untuk ayah-ibu Hari di alam sana.

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun