Mohon tunggu...
Sendi Suwantoro
Sendi Suwantoro Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua SEMA FTIK IAIN Ponorogo 2023/2024

Jangan pernah meremehkan orang walaupun bersalah jangan memandang diri sendiri ketika punya kelebihan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jalan Berdebu Sang Pelangi

8 Januari 2024   15:52 Diperbarui: 8 Januari 2024   16:04 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/id/photos/ayah-dan-anak-berjalan-kereta-api-2258681/

Matahari masih belum berani mengintip, tersembunyi di balik bukit seperti anak kecil malu-malu. Namun, Pak Harjo sudah bangun, siluetnya berkelebat di dapur gubuk bambu mereka. Batuk-batuk kecil terdengar bersahutan dengan suara api yang mulai menjilat-jilat kayu bakar.

Pak Harjo tak muda lagi, kerutan di wajahnya bertutur tentang perjalanan hidup yang tak selalu mudah. Tapi tangannya masih cekatan, membelah bambu dan menganyamnya menjadi keranjang kecil. Ya, itulah mata pencahariannya, seorang pedagang keranjang bambu di pasar kota.

Setiap pagi, sebelum fajar menyingsing, Pak Harjo sudah pikul keranjang-keranjang buatannya. Jalanan setapak berdebu yang menjadi penghubung gubuknya dengan kota adalah sahabat setianya. Kaki telanjangnya yang kaku melawan dingin dan bebatuan, tapi tak pernah keluhan terucap.

Di pasar, hiruk-pikuk kota tak pernah asing baginya. Ia menggelar dagangannya di sudut, menunggu pembeli dengan sabar. Sering tak laku, lebih sering gigit jari, tapi senyumnya tak pernah pudar. Senyum itu milik keluarga kecilnya, istri dan dua anaknya yang menanti kepulangannya di gubuk bambu.

Bagi mereka, Pak Harjo bukanlah hanya ayah, tapi pelangi. Bukan pelangi megah di angkasa, tapi pelangi kecil yang tumbuh dari keringat dan cinta. Pelangi yang meneduhkan gubuk bambu mereka, menerangi mimpi-mimpi anak-anaknya.

Suatu hari, hujan badai menerjang desa. Ganas, ia merobohkan gubuk bambu mereka bagai kastil pasir. Kehancuran dan tangis berpadu, tapi Pak Harjo tetap tegar.

"Kita bangun lagi, Nak. Yang penting kita bersama," bisiknya, memeluk istri dan anak-anaknya dalam pelukan hangat.

Dan benar, mereka membangun lagi. Batu bata demi batu bata, asa demi asa. Pak Harjo bekerja lebih keras, memikul keranjangnya lebih jauh, hingga tangannya berdarah berbekas anyaman bambu.

Perlahan, gubuk bambu tak ada lagi. Rumah bata sederhana berdiri kokoh, bermandi cahaya matahari yang sudah berani menampakkan dirinya. Anak-anak Pak Harjo bersekolah, bermimpi setinggi bintang, dibiayai oleh cinta tertanam di setiap anyaman bambu.

Kini, Pak Harjo tak lagi muda. Jalan berdebu itu tak lagi ia lalui. Anak-anaknya, pelangi kecilnya, kini bekerja. Gubuk bambu mungkin hilang, tapi pelangi cinta Pak Harjo, pelangi yang tumbuh dari perjuangan dan pengorbanan, akan selamanya mewarnai kehidupan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun