Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Gol Bunuh Diri Anies-Sandi di Injury Time dan Bahaya di Balik Narasi Tak Mungkin Kalah!

16 April 2017   14:45 Diperbarui: 17 April 2017   04:00 9387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Calon Wakil Gubernur DKI petahana Djarot Saiful Hidayat usai menunaikan ibadah salat Jumat di Masjid Jami' Al'Atiq, Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (14/4/2017). TRIBUNNEWS.COM/FITRI WULANDARI

Seperti diketahui, usai sholat Jumat (14/4/17) di Masjid Al-Atiq, Kelurahan Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan, Djarot Saiful Hidayat ‘diusir’ oleh sejumlah jemaah.  Ini kedua kalinya wagub Petahana itu diusir dari Masjid.  Bisa saja, kubu Anies-Sandi (Anies-Sa) memastikan bukan sebagai pihak yang melakukan tindakan --yang oleh PWNU DKI disebut sebagai ‘penistaan Islam yang sesungguhnya”-- itu. Tetapi, kalau tidak terkait dengan Paslon no.urut 3 lalu mengapa Djarot diusir?  Dua kali pula? Dan, sebelumnya dalam kampanye tahap pertama, Paslon no. urut 2 ini juga sudah sering mengalami perlakukan pengusiran?

Diberitakan Tribunnews.com, PWNU DKI melalui Wakil Sekretarisnya, Husny Mubarok Amir, bersikap tegas mengatakan, “Bagi kami warga NU, pengusiran H.Djarot dari dalam masjid itu contoh bentuk kejahatan politisasi masjid yang selama ini selalu kita tolak. Itu bagian dari radikalisme agama. Sebagai muslim, Djarot punya hak yang sama untuk sholat, berdzikir, mengaji atau ibadah lainnya. Mengusir orang adalah bentuk intimidasi fisik yang harus bersama-sama kita kecam dan kita lawan.” Sikap pemimpin umat ini mewakili nurani masyarakat yang mencintai kesantunan dan tatakrama. Padahal, PWNU baru saja menyatakan dukungan kepada Anies-Sa di Pilkada putaran kedua. Tentu saja, warga nahdiyin di DKI sedikit banyak dapat terpengaruh kasus ini. Entah kebetulan atau sebagai dampak kasus, pada keesokan harinya para buruh di DKI mendeklarasikan dukungan ke Ahok-Djarot. Bertambahnya dukungan di paslon 2 berbareng dengan kemungkinan berkurangnya dukungan di paslon 3 berpotensi menyumbang bagi perbedaan pengumpulan suara yang oleh sejumlah survei disebut berbeda sangat tipis.

Tindakan penghakiman sewenang-wenang di rumah Tuhan itu merupakan tamparan keras terhadap wajah agama, yang seharusnya merepresentasikan cinta kasih, keharmonisan, kedamaian, keramahan, dan perilaku baik lainnya. Kesucian agama dicoreng oleh laku sok benar sendiri. Itu yang diyakini oleh sebagian besar penganut agama, baik Islam, Kristen, Hindu, Budha, maupun Kong Hu Cu dan agama-agama lokal Nusantara. Diluar dari inti ajaran agama-agama formal itu, nilai-nilai tersebut juga merupakan intisari dari budaya masyarakat Nusantara. Nilai-nilai moral-spiritual itu merupakan roh kebudayaan khas Indonesia.

Maka, yang ditampar bukan saja wajah agama, melainkan juga fondasi etik-budaya masyarakat. Itulah sebabnya, unjuk tingkah arogan dan kasar itu mencabik nurani dan memicu kesadaran kritis masyarakat akan adanya pesona mengerikan dibalik kampanye santun berakhlak. Casing indah yang membungkus santapan beracun. Sebuah topeng cantik yang menyimpan enigma dibaliknya.

Sial bagi Anies-Sa, insiden memalukan itu terjadi ujung masa kampanye. Menit-menit akhir demo gagasan, parade program kerja dan jualan citra. Maka, upaya penyelamatan dan klarifikasi mendempet ruang tiada. Bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkelindan merebak keraguan di dinding nurani? Waktu telah menghimpit garis akhir. Bunyi pluit panjang pertanda usai babak bertanding. Gol merobek gawang sendiri. Intensi tindak heroik yang membias sasar. Bunuh diri!

Di sejumlah tulisan saya sebelumnya menyebutkan bahwa tindakan Islam garis keras bertitik tolak dari klaim metafisik sebagai penentu kebenaran. Apa yang dikatakan seolah merupakan standar kebenaran dan keadilan yang harus dipatuhi. Lihat gayanya Rizieq beragitasi, “turunkan pejabat ini, penjarakan pejabat itu, si anu kafir, si ani pensita surga,” dan sebagainya. Penolakan terhadap tuntutan dianggap sebagai pelecehan, penistaan, dan lain-lain.

Dibalik narasi “hanya kecurangan yang bisa mengalahkan Anies-Sandi” bekerja klaim ontologis di atas. Proposisi itu muncul dari rangkaian premis-premis kuat. Antara lain, Islam merupakan agama (yang dianut) mayoritas, mayoritas penduduk Jakarta beragama Islam, pemilih beragama Islam pasti memilih cagub Muslim, Muslim haram memilih kafir sebagai gubernur, dan sebagainya.  Dengan bergayut pada premis dogmatis di ataslah narasi “tidak mungkin kalah kecuali oleh kecurangan,” diciptakan.

Di mana letak bahayanya?  Para pendukung Anies-Sa telah mendahului hasil pencoblosan Pilkada, dengan mengklaim diri sebagai pemenang. Mereka mendoktrin pengikutnya bahwa kemenangan pasti ada di pihak mereka. Sebab, selain premis-premis agamis di atas, doktrin agama selalu dibangun di atas keyakinan buta bahwa Tuhan pasti (dan hanya) berada di pihak mereka. Dengan pemihakan Tuhan, siapa bisa lawan? Apalagi pihak yang menjadi kompetitor diposisikan sebagai kafir dan penista agama (yang kerap secara serampangan disamakan begitu saja dengan penista Tuhan).  

Ujung-ujungnya jelas. Para pengikut diracuni pemahaman buta bahwa mereka adalah pembela kebenaran dan pembela Tuhan. Mereka sudah menang. Namun, (kalau kalah) pihak lawan selalu curang, berkonspirasi dengan kekuasaan atau para naga yang hendak menguasai negeri, atau menggusur pribumi, dan mitos aneh lainnya yang diciptakan untuk mencitrakan negativitas pada pihak lawan. Dengan racun dosis tinggi di atas, para pengikut akan mudah digerakkan untuk melakukan apa saja yang menjadi kepentingan pengendali. Perangkat negara yang terkait pengurusan Pilkada akan dituduh jahat dan memihak. Sasaran potensilnya adalah menciptakan delegitimiasi kekuasaan.

Rencana melibatkan relawan dari berbagai kota yang digerakkan lewat gerbong agama bernama “safari Al-Maidah” ke TPS-TPS di Pilkada DKI merupakan sebuah indikasi afirmatif. Meski disebutkan aksi ini hanya untuk membantu memastikan berlangsungnya proses pencoblosan secara adil, jujur, dan transparan, tentu saja kehadiran ‘orang-orang asing berkostum gamis” di TPS Pilkada DKI secara langsung maupun tidak menciptakan suasana intimidatif. Atmosfir pilkada DKI seolah-olah dipenuhi aroma teror.  Dibalik itu, tindakan ini menunjukkan adanya ketidakpercayaan terhadap perangkat negara yang mengelola Pilkada.

Maka, ada dua kesimpulan yang perlu dibuat. Pertama; Anies-Sa telah mengalah karena gol bunuh diri. Mereka tidak dikalahkan, melainkan mengalahkan diri. Kalah sebab kesalahan sendiri. Verbalisme kampanye (sebagai santun dan berakhlak agamis) yang bias dari substansi dan unjuk sikap. Tidak kongruen. Celah yang menganga lebar di depan mata publik,  yang sebenarnya masih gamang terbius keindahan rangkaian kata.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun