Mohon tunggu...
Thomas Sembiring
Thomas Sembiring Mohon Tunggu... Jurnalis - Blogger KereAktif

ASMI Santa Maria, Univ.Sanata Dharma, Diaspora KARO, Putera Aceh Tenggara, International Movement of Young Catholics (IMYC) for Social Justice, INDONESIA

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Surat Cinta untuk Turang, Sonya Depari

8 April 2016   23:06 Diperbarui: 9 April 2016   18:43 3114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sonya Depari. Sumber : Tribun Medan"][/caption]Turang, Sonya Depari,

Semoga membaca surat ini, batinmu sudah tenang Turang. Ikhlasmu atas kepergian bapak sudah bisa perlahan Turang raih. Dengarlah, dari lubuk hatimu yang paling dalam bahwa hidup memang demikian penuh dengan kebijaksanaan.

Sonya Depari, Turang yang baru saja menghadapi cobaan. Cobaan yang datang dari ketidakmampuan membaca situasi. Cobaan yang datang dari kepanikan ditengah ujian nasional yang konon kabarnya membuat galau dan tertekan. Dari patroli kepolisian yang kali ini rupanya ikut bersama wartawan memantau aksi konvoi pelajar yang jadi kebiasaan di kota Medan.

Menangislah dan lepaskan sebentar rasa sakit dari gagalnya Turang mengendalikan diri saat menghadapi polisi dan wartawan. Menangislah menerima makian dari seluruh jagad sosial media dan juga derasnya pemberitaan. Katanya kawan-kawan di Facebook, air mata itu adalah obat dari sakit yang disebabkan oleh kepedihan. Maka biarkanlah air matamu menawarkan beban dari kejadian yang mempermalukanmu.

Dengarlah Turang,

Nasi sudah menjadi bubur, kata sebagian yang mampu memahami labilnya emosimu. Sudah terlanjur seperti adegan sinetron-sinetron yang tak bermutu itu pula caramu berlaku saat mencoba mengatasi tekanan malu bila disorot kamera. Bukan karena semata-mata dicegat oleh patroli kepolisian. Sudah menjadi bubur, katanya Turang. Tetapi belum lagi basi, bukan?

Tak perlu larut dalam kepedihan karena almarhum bapak tentu tak akan mau melihat puterinya terus didera kepedihan sebagaimana ia merasakan. Sekalipun nasi sudah menjadi bubur, jangan lupa bahwa bubur pun masih punya guna. Demikian pun hidupmu, setidaknya masih berguna sebagai pertanda untuk anak-anak sebayamu. Pertanda agar mereka belajar lebih bijaksana ditengah luapan emosi masa muda.

Biarkan bubur yang masih bisa digunakan, Turang pakai untuk mengajarkan teman-teman arti sebuah proses yang mendewasakan. Jangan larut sebab bully dan kecaman yang hebat, bisa berubah pula menjadi obat. Sejauh Turang masih bisa berdiri dan menghadapinya dengan kesabaran hebat.

Berterima kasihlah meski terasa susah. Berterima kasih pada mereka yang sudah memberi Turang sebuah peringatan tentang pentingnya berlaku baik. Kendati mereka yang mengingatkan juga belum tentu bisa lebih baik menghadapi situasi panik yang Turang hadapi. Berterima kasih setidaknya untuk perhatian mereka yang sangat besar pada Turang, melebihi perhatian mereka pada keterbatasan diri sendiri.

Toh memang Turang yang paham mengapa sampai ancaman pada Polwan itu keluar dengan ingatan jangan sampai masuk koran. Mungkin saja Turang paham sejak awal bahwa masuk koran dalam keadaan demikian berarti peristiwa memalukan yang bisa membuat keluarga terganggu. 

Atau mungkin sejak awal Turang tahu kondisi orang tua di rumah sehingga begitu khawatir Turang menghadapi situasi yang melibatkan wartawan. Tahu salah, lalu ketakutan akan mengecewakan keluarga, tetapi panik membuat salah memilih tindakan. Pun begitu, banyak yang tak akan mau melihat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun