Mohon tunggu...
Sellyn Nayotama
Sellyn Nayotama Mohon Tunggu... -

Siswa SMP kelas 2 (thn 2018), suka membaca dan menulis. Novel pertama "Queen Kendzie" (terbitan Kompas Gramedia); cerpen "Jam Weker Shabby" dalam antologi (Penerbit Mizan). Baca juga di akun: www.kompasiana.com/sellynnayotama

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Elden dan Eglantine

6 November 2018   13:37 Diperbarui: 6 November 2018   15:21 781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bacakan ceritaku |pixabay.com

Bacakan ceritaku buat adik-adik kecil kita
***
Sejak kelas 4 SD, hidup Elden sudah sulit. Ia adalah seorang kakak dengan adik perempuan. Awalnya ia hidup normal dan bahagia bersama keluarganya yang lengkap dan utuh. Tak satu haripun ia lewatkan tanpa menerima cinta kasih tulus ayah ibunya.

Adik perempuannya, Eglantine, yang berjarak usia 3 tahun dengannya juga sangat menggemaskan. Setiap pulang sekolah, Elden selalu mengajak Eglantine bermain. Mengajaknya bercerita tentang hari-harinya. Eglantine, yang saat itu masih berusia 3 tahun, selalu antusias mendengarkan cerita kakaknya itu.

Matanya yang bulat menggemaskan berbinar-binar ketika mendengarkan cerita kakaknya. Ada saat-saat dimana Elden iseng menjahili adiknya, dengan mengagetkannya, membuat suasana menjadi menegangkan, dan Eglantine akan menangis. Dan tak lama kemudian, ibunya akan datang untuk melerai mereka.

Ibu Elden, Eleanor, adalah wanita dermawan yang bijaksana. Sorot matanya selalu teduh menenangkan. Beliau, walau wanita karir, tak pernah melupakan keluarganya. Eleanor juga suka membagikan rezeki yang dimilikinya kepada para tetangganya yang kurang mampu.

Tidak hanya tetangganya, namun di rumah ibadah yang dianutnya, saat terjadi bencana alam, Eleanor selalu rutin berpartisipasi. Ia juga bijaksana. Setiap kali Elden mengeluh mengenai harinya yang menyebalkan, Eleanor selalu menepuk lembut pundak Elden, bilang bahwa ia adalah anak laki-lakinya yang paling tangguh di dunia.

Eleanor memberikan Elden nasihat untuk menjadi kuat. 'Di dunia ini, tidak ada yang berjuang untuk meraih mimpimu, Nak, selain kamu sendiri.'


Sementara itu, ayah Elden, Elvis, adalah pria yang setia dengan keluarga. Tak pernah satu kali pun ia menggamit tangan wanita lain selain istri, ibunya, dan anak perempuannya tercinta, tentu saja. Sudah bertahun-tahun mereka menikah, tetapi roman mereka masih awet. Seperti misalnya, Elvis tak pernah lupa menyiapkan reservasi makan malam bersama Eleanor setiap hari jadi pernikahan mereka.

Pernah suatu kali Elvis pulang dari tempat kerjanya, letih. Ayah Elden itu meletakkan mantelnya di gantungan khusus mantel dan topi. Gantungan itu persis ditemukan ketika membuka pintu rumah, persis di dekat tembok. Elvis berjalan menuju kamarnya. Elden yang sejak tadi di rumah karena hari ini libur, menatapnya penuh rasa ingin tahu. Sejak tadi, Elden bosan hanya makan keripik, dan mengerjakan PR untuk seminggu ke depan. Ia juga sudah tuntas menonton video di internet tentang ilmu pengetahuan fisika. Ya, aku tahu apa yang kalian pikirkan, sekecil itu -- kelas 4 SD, sudah belajar fisika? Memang, anak itu istimewa.

"Yah," panggilnya pelan. "Apa, Elden?" ayahnya tersenyum, lembut. "Apakah ayah sudah menyiapkan bunga mawar untuk mama?"

Elvis terhenti sejenak, sebelum membuka pintu kamarnya. Ia tertawa kecil. "Astaga, Elden! Bagaimana kamu tahu? Tentu saja, ayah sudah menyiapkannya," Elvis kemudian mengacak-acak rambut Elden. 

Kini giliran Elden yang terkikik geli. "Ya ampun, kalian ini memang orangtuaku yang terbaik. Berbeda dengan orangtua sahabatku, Millie, yang sering bertengkar. Hampir setiap hari, ia datang ke sekolah dengan wajah sembab. Aku sedih sekali melihatnya, yah," Elden menunduk, membayangkan sahabat terbaiknya itu sekarang, dengan mata berkaca-kaca. "Millie korban keegoisan dua insan manusia yang enggan mengalah. Bahkan saat hari Ibu tempo hari lalu, ketika semua murid di kelasku diminta untuk menggambarkan kasih ibu mereka di selembar kertas, Millie menangis," Elden mulai berkaca-kaca.

"Millie tahu orangtuanya baik. Buktinya, ia hidup berkecukupan, tiada kurang suatu apapun. Bajunya selalu model terbaru. Jam tangannya? Jangan ditanya, itu paling mahal di kota, semua peralatan di rumahnya, itu," Elden mulai terisak.

"Ia hanya bingung bagaimana mendeskripsikannya. Aku ingat, waktu itu Millie menulis, 'Aku tahu mamaku baik-ia wanita terbaik di hidupku. Akan tetapi aku tak mengerti, jika memang ia mengasihiku, mengapa ia tak mengasihi papa juga? Mengapa ia menyakiti papa dengan kata-kata kasar dan pukulan-pukulan tajam? Tampaknya cukup. Aku akan menangis.' Bahkan, yah, aku tak bisa membayangkan bila berada di posisinya."

Ayah Elden menatap putranya dengan kagum. Sekecil itu, ia sudah memiliki rasa empati terhadap orang lain, dan itu patut diapresiasi. Maka dengan bijak, ayahnya berkata, "Elden, karena itu..bersyukurlah, atas apa yang kamu punya sekarang. Kamu punya ayah dan ibu yang sangat menyayangimu, bahkan kau tak bisa membayangkan seperti apa kasih kami padamu, Elden. Dan juga atas kehadiran adikmu, Eglantine. Apa kamu sudah cukup bahagia?" Sejurus kemudian, Elden mengangguk mantap. "Tentu," sahutnya.

***

Malam itu, hari jadi pernikahan Elvis dan Eleanor. Diliputi suasana bahagia yang membuncah, juga keharuan akan masa lalu yang mereka jalin bersama sejak 15 tahun, Eleanor tampak begitu bercahaya. Ia memang cantik, tapi malam ini, ia benar-benar memancarkan kebahagiaan. Lihatlah, tanpa sapuan riasan pun, Elvis sudah menatapnya tanpa berkedip.

Eleanor duduk di depan cermin, menyapukan riasan tipis, dan menuju garasi rumah mereka, untuk berkunjung menikmati makan malam di salah satu restoran terbaik di kota mereka, Diles Cate.

Elden dan Eglantine melambaikan tangan. Itu boleh jadi malam terindah, dan malam penuh duri di hidup Elden. Saat ini ia belum mengerti. Elden dengan santai menuju ruang tamu, dan melanjutkan menonton film animasi pinguin bersama Eglantine. Gelak tawa bocah perempuan yang duduk di kelas 1 SD itu terdengar menggemaskan. Kalian akan tahu bila bertemu langsung dengannya.

"Kak, apakah pinguin bisa berbicara?" tanya Eglantine, sambil merebahkan dirinya di atas karpet lantai yang lembut. Elden mengangkat bahu. "Ya ampun, El, kamu ada-ada aja, sih. Hmm, tapi kurasa aku tahu jawabannya. Mereka bisa berbicara ... dengan bahasa mereka sendiri, tentunya. Berbeda dengan bahasa Indonesia atau Inggris yang sering kita gunakan," ujar Elden asal-asalan, meski begitu terdengar masuk akal pula.

"Kalau gitu coba kau berbicara dengan mereka, kak," Eglantine terlihat antusias. Elden hanya menggeleng santai. "Nggak, ah, untuk apa? Supaya kamu bisa lebih rajin makan sayur?" ledek Elden. Memang benar, Eglantine sangat malas jika sudah menyangkut makanan sehat. Ia bisa tahan berlari di lapangan kompleks selama 30 menit tanpa istirahat, tapi untuk nutrisi yang masuk ke tubuhnya ... hmm, kurang.

Mendengar hal itu, Eglantine malah tertarik. "Wah, kelihatannya seru. Kalau begitu, kau ajari aku dulu memakai bahasa pinguin, kak! Aku janji setelahnya akan rajin makan sayur," nada suara Eglantine terdengar bersungguh-sungguh. Elden melotot. "Ya ampun, itu namanya kamu tidak ikhlas, padahal itu kan untuk tubuhmu sendiri," seru Elden.

Gelak tawa Eglantine pecah, ia berguling di karpet, menertawakan kakaknya yang ternyata tidak bisa diajak bercanda. Setelah tawa Eglantine reda, Elden meminta Eglantine bercerita mengenai minggu pertamanya menjadi siswa di kelas 1 SD.

"Itu tak sulit," jawab Eglantine. Ia mengatakan bahwa teman-teman dan gurunya sangat ramah, bahkan ada teman laki-lakinya, Foz, yang berbaik hati mengajaknya ke kantin, dan mengelilingi sekolah. "Foz itu anak Kepala Sekolah, Bu Yudistira. Aku senang berteman dengannya, asik diajak bercanda. Tak seperti kak Elden, tentunya. Tahu tidak, kak? Bola matamu bahkan hampir keluar tadi saat aku meminta kakak mengajariku bahasa pinguin," Eglantine masih terkikik, sementara Elden geleng-geleng.

"Pokoknya sahabat baruku Foz," ujarnya tegas, khas anak kecil yang ketika meminta sesuatu pada orangtuanya, tetap keukeuh pada keinginannya tersebut.

"Tak ada kawanmu perempuan?"

"Ada. Mira, Seli, Khisan, Brucie, Alfreeda, Donella, Laviette, Maurel ..."

"Oke, bisa diteruskan lain kali, saatnya belajar. Apa yang sudah kau pelajari selama ini di sekolah?" Elden menghentikan pembicaraan Eglantine.

"Belum banyak, kak. Aku dan teman-teman disuruh berhitung, tak terlalu susah. Materinya perkalian." Lalu Elden menasihatinya untuk jangan ragu bertanya saat ia kesulitan, dan Eglantine manggut-manggut saja.
***

Malam itu, saat Elden bersiap untuk tidur ...

Telepon rumah berdering. Elden berdebar, takut itu sesuatu yang penting. Suara di seberang menghunjam jantungnya saat itu juga.

Eleanor dan Elvis, orangtuanya, tertimpa kecelakaan lalu lintas. "Halo? Saya petugas administrasi Rumah Sakit Falala Hurika. Apa benar ini keluarga Ibu Eleanor dan Bapak Elvis?"

"S..saya sendiri," suara Elden serak. Apa yang terjadi pada ayah dan ibu?
"Maaf untuk mengganggu malam yang indah ini, tapi tolong segeralah menuju Rumah Sakit Falala, saat ini juga. Ibu Eleanor dan Bapak Elvis tertimpa kecelakaan lalu lintas, tepatnya di Jalan Merah Jambu Muda, pukul 20.29. Terimakasih," pamit petugas tersebut.

Sejenak Elden tak mampu berkata-kata. Namun sejurus kemudian ia langsung menyambar mantelnya, mengajak adiknya turut serta. Bergegas ia mengayuh sepeda kuning kesayangannya. Sesampainya di sana, Elden membabi buta, bertanya kalang kabut pada petugas administrasi. Petugas administrasi tampak tak percaya. Sorot matanya menyiratkan empati kepada dua anak tersebut, dan Elvis serta Eglantine langsung diantarkan ke ruang gawat darurat.

Elvis melongo. Di hadapannya, ayahnya yang selama ini tampak gagah, terlihat lemah. Berbaring di tempat tidur, tak sadarkan diri. Sebuah potongan kaca melesak ke dalam dahinya. Darah mengucur dari hampir seluruh wajahnya.

Ibu Elden, berbaring dengan kondisi mengenaskan. Rambutnya yang tadi terlihat rapi dan anggun, kini acak-acakan. Dress putih selututnya juga bersimbah darah. Kondisi wajahnya, kurang lebih seperti suaminya. Eglantine hanya memegang erat tangan Elden. "Kak, apa ibu minggu depan bisa menghadiri pertemuan orangtua? Ibu nanti bisa bertemu wali kelas Elie, Mister Otzie. Orangnya seru dan ramah. Apa ibu bisa datang?"

Elden menatap Eglantine, tak menggeleng, ataupun mengangguk. Ia hanya mengucapkan satu kalimat, "Nanti kakak saja yang datang, ya?"

Lalu seorang dokter dan beberapa suster datang ke ruangan itu, dan terus memberikan pertolongan, dengan alat-alat yang tidak Elden ketahui fungsinya untuk apa.

"Defibrilator! Defirbrilator! Suster Mila!" seru dr. Dirga. Sejumlah suster tampak sibuk, itu menguras peluh mereka, dan pada akhirnya, terdengar bunyi mesin memanjang, konstan. Tiada henti, tiada jeda. Dokter dan 4 suster yang ada di ruangan itu menunduk, dan menatap kami. Maaf, ayah ibu kalian sudah tak bisa diselamatkan.

"AYAH! IBU! JANGAN PERGI!" Eglantine histeris. Bulir-bulir air matanya yang sejak tadi ia tahan, akhirnya tumpah juga. Elden mengelus rambut adiknya itu, sementara dia yang lebih besar sudah sadar, bahwa ia harus lebih tegar dari adiknya. Eglantine menatap kakaknya, lalu memukulnya beberapa kali, "Elie gak mau kak Elden yang datang! Elie mau ibu! ELIE MAU IBU!"

Dan Elden berusaha menenangkan adiknya itu. Mau tidak mau, kehidupan mereka akan berubah selepas orangtuanya tiada.

Demi melihat wajah dr. Dirga dan 4 suster itu saja, sebenarnya Elden sudah tahu. Tidak ada yang bisa dilakukannya, ini semua kehendak Tuhan. Tak lama kemudian Elden menghubungi keluarga besarnya dengan ponselnya.

Tante Lasvee dan keluarganya yang pertama datang. Ia histeris melihat kondisi kakak perempuan dan kakak iparnya itu. Tante Lasvee paling dekat dengan ibu. Maka dari itu beliau terlihat begitu terpuruk.

Elden menghela napas, sesekali mengusap air mata di pelupuk matanya. Ia bingung, kepada siapakah nanti ia menceritakan masalahnya, dan mendapat ketenangan setelahnya? Siapa nanti yang akan mengantarnya ke sekolah? Jawabannya: ia sendiri.

***

Keesokan harinya, Eleanor dan Elvis dimakamkan di kota mereka. Di nisannya tertulis, 'Pergunakanlah hidupmu untuk bermanfaat bagi orang lain.' Sebuah bentuk penghormatan Lembaga bakti sosial pada ibu, karena jasanya dulu untuk mereka.

Untuk sementara, Tante Lasvee menginap di rumah Elden dan mencukupi kebutuhannya. Elden saat itu berperan untuk menjaga adiknya, menguatkannya.

Beberapa hari kemudian, Tante Lasve memutuskan untuk mengontrakkan rumah itu, dan hasilnya nanti untuk kebutuhan Elden dan Eglantine di masa depan, ditabung. Kakak-beradik itu dikirim ke panti asuhan Cemara, di kota mereka.

Tidak sulit bagi Elden untuk bersosialisasi dengan teman-teman barunya, juga Eglantine. Life must go on. Tidak ada lagi bangun kesiangan buat Eglantine, dan tiada lagi yang membuatkan Elden susu di rumah, seperti yang biasa dilakukan ibu Elden.

Elden juga harus memutar otak untuk mencukupi kehidupannya dan Eglantine. Ia bersyukur bahwa sejak kecil dulu diajarkan untuk membuat kue oleh ibunya tercinta. Ya, Elden memang pintar memasak. Bahkan tak hanya kue. Ia berencana untuk menjual jasanya pada toko-toko kue di kotanya. Berkat ketekunan Elden mencoba resep baru, ia mendapat banyak kenalan di toko kue.

Eglantine berencana untuk menjual kerajinan di alun-alun kota. Tidak sembarang kerajinan, namun dengan tangan indah Eglantine, kertas origami bisa dirombak total menjadi angsa yang menggembung lucu. Eglantine juga bernyanyi di acara anak-anak.

Di panti, Elden diberi tahu bahwa panti hanya mengurus keperluan dasar mereka, seperti sandang, pangan dan papan. Untuk masa depan mereka, semua anak harus berjuang sendiri. Maka itu Elden berjuang lebih giat. Ia ingin sukses.

Hari itu tanggal 17 September 2019. Dua minggu menuju hari ulang tahun Eglantine. Pagi itu, sebelum berangkat sekolah, Eglantine menatap mata kakaknya penuh harap. "Kak, tolong aku ..."

Wajah Elden terlihat khawatir. "Kamu kenapa?" lalu dengan santainya Eglantine menjawab, "Aku butuh asupan kue dan es krim untuk ulang tahunku, kak," ia tertawa jahil. Elden berdecak. "Hebat ya kamu, membuatku khawatir saja, tahu gitu tadi nggak kutanggapi," kata Elden kesal. Ia melempar saputangan di meja makan. Bu Tian, pengurus panti hanya bisa melihat mereka sambil geleng-geleng.

Percayalah, meski Elden saat itu terlihat kesal, ia sangat menyayangi adik satu-satunya itu. Elden kelas 1 SMP, sementara adiknya kelas 4 SD. 2 kali ulang tahun Eglantine sebelum ini, ia tak meminta apa-apa. Elden hanya menghadiahinya doa dan kartu ucapan berisi kata motivasi. Elden jadi merasa bersalah, seharusnya sejak dulu ia memberikan Eglantine kado ulang tahun.

Sepanjang perjalanan sekolah, Elden melirik dompetnya, dan uangnya tak cukup untuk membeli kue dan es krim. Ah, ia kan pintar memasak, seharusnya itu menjadi hal mudah baginya. Sayangnya, kue yang Eglantine mau ada di sebuah toko kue tersohor di kota mereka. Harganya juga tak murah. Elden menunduk, apa yang harus dilakukannya?

Sepulang sekolah, Elden hendak menyeberang di Jalan Merah Jambu Muda, tempat tragedi ayah dan ibunya dulu. Elden menghela napas, teringat kejadian 3 tahun lalu. Memang ia tak melihatnya secara langsung, namun hanya dengan memikirkannya, Elden sudah pusing. Ia tak mau kejadian serupa terjadi pada orang lain. Sebelum menyeberang, ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Ada seorang nenek yang hendak menyeberang, dan ia buru-buru berlari ke arah nenek itu.

"Nek, mari saya bantu!" dan tiba-tiba, air muka nenek itu menjadi cerah. Mereka menyeberang dengan hati-hati. Namun sayangnya ... BRAKK ..!

Ada sebuah mobil yang tidak melihat mereka menyeberang. Elden terkulai di jalan raya. Nenek itu berusaha membantunya. Syukurlah, nenek yang dibantu Elden tersebut tidak terluka sedikitpun. Ia mengangkat Elden dengan tangannya ke ujung jalan. Nenek itu langsung menelpon ambulans untuk memberikan pertolongan pada Elden. Untuk kedua kalinya, Elden pergi ke sana.

Untunglah luka Elden tidak serius, tidak seperti mendiang orangtuanya dulu yang tertancap kaca di wajah mereka, dan itu lebih baik. Saat Elden siuman, teman-temannya dan pengurus panti, Bu Tian menatapnya lega. Nenek yang tadi dibantunya menatap Elden penuh arti. "Terima kasih, nak, terima kasih," katanya terharu.

Sahabat Elden, Kelsey, menatapnya. "Untunglah kamu siuman, soalnya aku ingin kau mengantarku jalan-jalan ke tempat yang jauh, seperti janjimu dulu," katanya datar.

"Hah.. rasanya, tempat ini ..." ia berkaca-kaca. Sekarang ia disini, dengan nasib yang sama seperti orangtuanya.
Eglantine disana, memegang tangannya. "Kak, maaf ... permintaan Eglantine terlalu aneh. Kakak nggak usah belikan Elie kue dan es krim. Cukup doa dari kak Elden saja," katanya tulus. Elden masih pusing.

Namun yang membuat ia kaget adalah nenek yang ia bantu tadi. Beliau menghilang. Keesokan harinya, Elden beristirahat di panti, tidak pergi ke sekolah. Diam-diam ia juga senang karena mendapatkan perlakuan istimewa dari anak-anak lain. Memang tradisinya seperti itu di sana, saling membantu. Hari itu, Elden tidak kedapatan tugas menyikat toilet.

Hari itu, ia masih memikirkan bagaimana caranya membahagiakan Eglantine. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula, batinnya. Namun buru-buru ia menghilangkan pikiran itu dari benaknya. Elden justru sangat bersyukur karena nyawanya tidak pergi, masih bertahan di tubuhnya.

Elden memutuskan untuk tetap membuat kue hari itu, dan menjajakannya di alun-alun kota, mungkin bisa membantu. Ia tidak akan membuang waktu sedikitpun demi membahagiakan adiknya yang berharga.

Sepulang dari berjualan di alun-alun kota, para penghuni panti langsung kaget melihatnya, darimana dia? Dengan santai Elden menjawab, bahwa dia barusan bekerja lembur bagai kuda.

Bu Tian pun melongo, dan memarahinya karena malah pergi bekerja, bukannya beristirahat. "Lagipula, kalaupun kau memutuskan untuk tidak beristirahat di rumah, harusnya kau ke sekolah saja, Elden," nasihat Bu Tian.

Elden langsung membela diri dengan berkata, "Jadi begini bu. Ini sebenarnya kan menjadi jatah saya untuk beristirahat di rumah, jadi tidak ke sekolah pun tidak apa-apa, bukan?"

Semua penghuni panti tahu, Elden pendebat yang baik. Bu Tian hanya terdiam sambil tersenyum kecut, mengacak-acak rambut anak itu.

Ketika mereka sedang berkumpul di sana, pintu panti diketuk. Alangkah kagetnya Elden begitu melihat tamunya ternyata adalah nenek yang dulu ia bantu, bersama seorang pria dan wanita berumur sekitar 30-an.

"Nak Elden, ini nenek. Masih ingat, kan?" nenek itu mengulurkan tangan padanya, lalu mereka berjabat tangan. "Perkenalkan, saya Romeo," kata pria itu dengan sopan kepada Bu Tian. "Dan ini istri saya, Julietta. Kemarin, saat ibu saya menyeberang jalan, ada seorang remaja pemberani yang berbaik hati membantu beliau menyeberang, dan sebagai akibatnya, remaja itu dilarikan ke rumah sakit."

"... dan tujuan kami datang ke sini, adalah untuk mengangkat remaja itu menjadi anak," terangnya langsung. Elden hanya bisa melongo. "Saya tak bisa membayangkan bila ibu saya yang menjadi korban, namun anak inilah yang berjasa baginya, bu."

"L..lalu, bagaimana dengan adikku, Eglantine?" tanya Elden.

"Kami tahu, nak. Dia tentu akan ikut serta denganmu, tapi itu jika kau mau untuk tinggal bersama kami," kata Om Romeo. "Terimakasih, Pak," kata Elden terharu.

*
Seminggu kemudian, Elden pindah ke rumah Om Romeo dan Tante Jules. Mereka sangat ramah, dan Elden sangat bersyukur. Anak Om Romeo bernama Sarah, ia kelas 6 SD, dan cepat akrab dengan Eglantine.

Sore itu, saat keluarga papa baru Elden, serta Elden sedang berkumpul santai sambil minum teh, papanya berkata, "Kapan ulang tahun adikmu? Yang papa baru tahu hanya tanggal ulangtahunmu, Elden."

Begitu Elden menjawab seminggu lagi adalah ulangtahun adiknya, papanya langsung berinisiatif mengadakaan pesta ulang tahun Eglantine. Awalnya Elden menolak karena merasa tidak enak, namun papanya menepuk pundaknya. "Kamu boleh bilang begitu kalau wajah papa serupa monster yang menakutkan," ia tertawa.
Eglantine tidak tahu menahu mengenai pesta itu. Elden sudah diwanti-wanti untuk menutup mulutnya. Dan saat hari-H, Eglantine pulang dari rumah temannya untuk belajar kelompok bersama. Dan saat di rumah, betapa kagetnya ia melihat namanya ada di sana, di spanduk unik di depan rumah.

"Kak Elden! Apa yang --?"
"Happy birthday, Eglantine!" Kak Sarah memeluknya dari belakang. Eglantine terharu. "Kak Elden, aku ngak meminta balon-balon besar ini, hanya kue dan es krim," ujarnya.
Kak Elden mengacak rambut adiknya itu. "Jadi, tidak mau? Oke, batalkan saja acara ini," candanya.

Tanpa ragu-ragu, Eglantine langsung menendang tulang kering Kak Elden, lalu memeletkan lidahnya. "Ngeselin!" serunya.
Papa, mama, kak Sarah dan Elden pun tertawa bersama. :: Tamat ::

Baca juga:Toko Feli

Salam! :: Sellyn Nayotama ::

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun