Mohon tunggu...
Sekar Kurnia A
Sekar Kurnia A Mohon Tunggu... Freelancer - fun-girl

Mahasiswa aktif UIN Walisongo Semarang, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Sosiologi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hindu di Bali : Antara Agama dan Budaya yang Saling Melekat

22 Juni 2019   14:57 Diperbarui: 29 Juni 2021   11:44 3507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hindu di Bali : Antara Agama dan Budaya yang Saling Melekat | Kompas

Bali merupakan salah satu kepulauan di Indonesia yang menawarkan keindahan alam serta panorama pantai. Tidak hanya itu, hal lain yang menjadi menarik adalah tradisi keagamaan yang membudaya serta mengandung banyak seni dan ritual. Pada pelaksanaannya agama Hindu menggunakan kendaraan budaya dan diperindah dengan seni, sehingga penampilan luarnya agama Hindu menjadi indah, unik, dan menarik. Adapula yang mengganggap bahwa kebudayaan Bali dijiwai oleh Agama Hindu. 

Baca juga: Seserahan Sanggan dalam Upacara Panggih: Simbolisme Bermuatan Nilai Luhur Ajaran Agama dan Budaya

Hampir setengah masyarakat Bali memeluk agama Hindu Bali, diikuti dengan agama Islam, Nasrani, dan agama-agama serta kepercayaan lainnya. Hal ini didukung oleh data menurut Badan Pusat Statistik Pulau Bali berupa Hindu 83.46%, Islam 13.37%, Kristen Protestan 1.66%, Katolik 0.88%, Buddha 0.54%, Konghucu 0.01%, Aliran Kepercayaan 0.01%, dan Lain-Lain 0.14%. Meskipun begitu, masyarakat Bali menjunjung tinggi nilai toleransi antar sesama. Hindu Bali meyakini bahwa Tuhan satu, hanya berbeda nama dan cara menyembahnya. Hal ini dibuktikan dengan dibangunnya Puja Mandala, dimana tempat beribadatan 5 agama di Indonesia (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha) menjadi satu di suatu tempat.

Hindu di Bali disebut juga dengan Agama Hindu Dharma atau Agama Tirtha (Agama Air Suci). Meskipun Hindu asli berasal dari India, Hindu di Bali memiliki karakteristik tersendiri. Agama Hindu di Bali memiliki sifat yang lebih universal dan bebas, juga dengan adanya akulturasi dari kebudayaan-kebudayaan asli Indonesia menjadikan Hindu di Bali berbeda dengan Hindu di tempat lainnya. Umat Hindu di Bali juga memiliki sistem kalender sendiri, hari raya keagamaan bagi umat Hindu Bali umumnya dihitung berdasarkan weweran dan pawukon, yang merupakan kombinasi antara Pancawara, Saptawara, dan Wuku. 

Hari raya ini merupakan produk kolaborasi dengan kearifan lokal pulau Bali, antara lain Hari Raya Galungan, Kuningan, Saraswati, dan lain sebagainya. Namun adapula hari raya yang menggunakan penanggalan Saka dari India, yaitu Hari raya Siwaratri dan Hari raya Nyepi. Pada umat Hindu di Bali juga berlaku sistem Catur Varna (Warna), berasal dari bahasa Sanskerta yaitu Catur berarti empat dan warna atau wri berarti memilih. Catur Warna ialah empat pembagian kehidupan atau pilihan hidup didasarkan oleh keturunan, pekerjaan, dan bakat (guna) atau ketrampilan (karma). Sistem ini biasa dikenal dengan sistem kasta yang terdiri dari Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra.

Keyakinan Hindu Bali hanya memuja satu Tuhan yaitu Sang Hyang Widhi. Agama Hindu di Bali juga mengenal tiga dewa yang disebut dengan Tri Murti, dewa-dewa tersebut ialah Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Patung-patung dewa serta arca-arcanya ditempatkan disetiap pura yang berbeda-beda. Dalam agama Hindu Bali juga terdapat kitab suci yaitu Weda. Weda Sruti merupakan sabda suci dari Tuhan yang dapat didengar secara langsung oleh para Maha Resi, sedangkan penjelasannya disebut Weda Smerti. 

Ada pula kitab Yadnja yang menjadi panduan penyelenggaraan ritual keagamaan yang tertulis pada bilahan daun lontar. Kemudian, simbol utama agama Hindu di Bali adalah Swastika atau roda matahari. Bentuknya seperti palang yang miring dengan lengan-lengan di sisi kanan tiap cabangnya. Diketahui simbol swastika juga digunakan secara luas dalam agama-agama di India dan dipercaya dapat membangkitkan shakti atau kekuatan suci pemberdayaan.

Unsur-unsur tradisi kecil merupakan unsur kebudayaan Bali sebelum tersentuh oleh pengaruh Hindu Majapahit. Unsur-unsur tersebut kemudian bertahan di beberapa desa kuno di Bali (Bali Aga) seperti desa Sembiran, desa Pedawa, desa Tigawasa, desa Sidatapa, desa Tenganan, dan desa Trunyan. 

Baca juga: Mensosialisasikan 6 Poin Kesepakatan Pemufakatan Yogyakarta (Agama dan Budaya)

Pengaruh Hindu Majapahit berawal sekitar abad ke 10, kala Kerajaan Medang Kamulan di Jawa memperluas pengaruhnya sampai ke Bali. Pengaruh tersebut makin berkembang pada zaman Kerajaan Singosari dan semakin pesat di zaman Kerajaan Majapahit. Beberapa unsur tradisi besar yang bercirikan kebudayaan Hindu Majapahit antara lain Upacara Pembakaran Jenazah (ngaben), sistem kalender hindu-jawa, pertunjukan wayang kulit, tarian topeng, arsitektur dan kesenian bermotif Hindu-Budha, tokoh pedanda, dan lain sebagainya.

Ketika umat Hindu melakukan sembahyang, mereka menggunakan berbagai media seperti sesajen, ucapan-ucapan suci, sikap yang sopan, bathin yang tenang serta pakaian yang bersih. Pakaian yang digunakan untuk sembahyang merupakan pakaian adat masyarakat pulau Bali, untuk wanita mereka akan menggunakan kebaya bali serta selendang dan kamen yang diikatkan melingkar pada bagian pinggang dari sisi kiri ke kanan, selanjutnya diikatkan dengan selendang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun