Mohon tunggu...
Sejo Qulhu
Sejo Qulhu Mohon Tunggu... Penulis - Travel Writter Travel Vloger

Saya santri kampung, tapi bukan santri kampungan!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Merobek Kenangan

16 Oktober 2020   22:27 Diperbarui: 16 Oktober 2020   22:29 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


"Aku janji ngga akan ninggalin kamu," omong kosongmu suatu sore di jembatan bambu.
   
Suatu pagi di pelosok Banten Selatan, desir angin menusuk ke dalam pori-pori. Pohon-pohon tak hentinya membawa angin kesana-kemari memberikan kesejukan di pagi hari. Gemercik air sungai terdengar syahdu. Airnya jernih sejernih cintaku padamu. Di jembatan bambu itu, tepatnya di kampung Gajebokita pernah berjanji tidak saling mengkhianati. Saat itu, tanganmu tak mau lepas dari genggamanku. Setiap menithari saat kita bertemu, kamu selalu saja memencet tombol foto selfie, memaksaku untuk mengikuti gayamu. Entah berapa ribu atau ratus fotoku tersimpan dalam memori ponselmu. Kuterus mengingat kejadian itu yang belum saja hilang dalam benak pikiranku. Serius, lamunanku tertuju pada jembatan bambu itu.

"Ari kabogoh maneh tea mana Rul?" tanya Gugu. Tanganya menepak bahuku ketika aku duduk di  amben depan rumah miliknya. Ocehan dari Gugu tak kugubris. Dia tak ada bedanya bicara dengan angin atau pohon-pohon di sekitar itu.
Sejurus aku tersadar dari lamunanku.

 "Eweuh Gu. Can jodohna," jawabku ketus.

Kujelaskan pada Gugu, kedatanganku ke sini ingin mengubur dalam-dalam kenangan itu. Tanpa sepengetahuannya ke jalan menuju jembatan itu, lalu tanganku memegang foto kita yang sudah kamu cetak. Kupandang sebentar, wajahmu seketika berubah menjadi siluman ular. Dalam foto itu kamu mengulurkan lidahmu. Kini wajahmu menyeramkan dalam foto itu. Matamu hitam semuanya. Kulitmu yang mulus kini bersisik ular. Lidahmu panjang dan lancip. Aku ngeri melihatnya. Langsung saja kurobek foto itu. Dijadikanya kecil kecil sampai tak terlihat ciri foto kita. Kubuang sampah foto itu ke bawah jembatan bambu, derasnya air siap menghapus kenangan manis yang kini menjadi pahit. Sekilas sampah foto itu sebagian ada yang tenggelam sebagian lagi terbawa arus. Sedikit demi sedikit hatiku merasakan kelegaan. Masih banyak foto yang belum kurobek. Setiap tempat yang pernah kita singgahi akan kutemui kembali, sembari kurobek foto karena bagimu setiap tempat harus diabadikan dalam foto.

Ah bajingannya kamu. Saat ini, cintaku pada berubah jadi benci, gumamku dalam hati.
Esok harinya aku kunjungi tempat lain yang pernah kita singgahi. Tepat sekali ketika awal kita jadian. Di pesisir pantai tepat di bawah menara titik 0 kilometer Anyer. Kamu pernah bilang. Kamu dijodohkan oleh orang tuamu. Kuingat percakapan kita saat itu

"Kalo kamu mau, aku mundur sekarang juga?" tanyaku saat itu. Mundur bukan berarti mengalah. Ya begitulah cinta, tak ada kejelasan visi misinya.

"Ih. Nggak ah, jijik. Namanya aja aku jijik mendengarnya, Sugendeng? Nggak ah. Apalagi mukanya. Mending sama kamu," jawabmu penuh ejekan saat itu.
Bahkan pesan melalui WhatsAppnya pun tak kamu timpali. Akhirnya kamu membenci berujung kamu memblokir nomor ponselnya.

***

Setelah dua tahun lamanya menjalin kisah asmara, lalu kita disibukan oleh kegiatan kampus. Kesibukanku mengurusi organisasi, kesibukanmu menggarap skripsi. Saat itu kita sama-sama berjanji untuk menyudahi hubungan ini dan setelah masa kuliah selesai, mempunyai keinginan melanjutkan hubungan yang lebih serius yaitu pelaminan.

"Janji ya?" tanyamu serius. Tatapan matamu tajam seksi melihat mataku.
Lalu jari kelingkingku bercumbu mesra kugerak gerakan kelingking itu meliuk-liuk dan kamu pun tersenyum bahagia. Kugenggam tanganmu, hangat terasa. Dinginnya udara di Alun-alun Pandeglang saat itu.
Kuingat saat kamu berada diboncengan motor bututku. Kamu tak kuasa kedinginan. Kamu memaksaku untuk melepasan jaket yang dikenakanku. Lalu kugombali kamu. 

"Sebagai pengganti jaket, peluk saja aku." Sambil kubercandai "Jangan pelan-pelan peluknya yang erat-erat, ya. seerat kereta api dan relnya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun