Sebagaian besar dari kita tentu pernah melihat serial kartun Doraemon. Kartun dari negeri jepang yang bercerita seorang anak bernama Nobita yang memiliki robot dari masa depan bernama Doraemon.Dalam cerita kartun tersebut, Doraemon selalu membantu Nobita dengan berbagai alatnya yang super canggih. Akan tetapi, diakhir cerita hampir selalu berakhir dengan cerita yang sama, kekacauan yang disebabkan Nobita, atau Nobita babak-belur dihajar oleh Giant.
Dalam beberapa seri, sebenarnya Doraemon sudah berusaha untuk tidak mengikuti keinginan Nobita yang meminta alat teknologi canggihnya, tetapi kata-kata sakti Nobita selalju berhasil meluluhkan pendirian si robot dari masa depan."Ayolah Doraemon, bantu aku" kata-kata sakti yang selalu dikeluarkan Nobita untuk merayu Doraemon. Diakhir cerita, saat rencana Nobita berantakan, Doraemon biasanya berkata "selalu saja begini'.
Dalam kartun cerita kartun tersebut, Nobita digambarkan sebagai seorng anak yang pemalas, ceroboh, serta sering mengalami kesulitan baik di sekolah maupun kehidupan sehari-hari. Bagi banyak orang, hubungan Doraemon dan Nobita terlihat baik menggambarkan kesetiaan, dan pengorbanan.
Namun jika kita melihat dari perspektif pendidikan anak atau parenting, hubungan antara Doraemon dan Nobita justru mencerminkan sebuah pola pengasuhan yang berpotensi merusak kemandirian dan daya juang anak, dalam cerita ini adalah Nobita.Doraemon dapat digambarkan sebagai simbol dari orang tua atau figur pengasuh yang selalu hadir dalam hidup anak untuk menyelesaikan masalah sang anak. Nobita terlambat sekolah? Doraemon mengeluarkan alat waktu.
Nobita ingin menang dalam lomba? Doraemon memberi alat canggih. Bahkan ketika Nobita ingin memikat Shizuka gadis pujaannya, Doraemon dengan patuh membantu meski seringkali berakhir kacau. Doraemon menjadi figur yang memenuhi keinginan Nobita tanpa batas.
Model parenting seperti ini, secara tidak langsung menanamkan pola pikir kepada anak bahwa semua masalah bisa diatasi oleh pihak lain. Anak tidak perlu belajar menghadapi kesulitan, karena selalu ada penolong setia yang datang dengan solusi instan. Dalam psikologi, hal ini dikenal sebagai "parenting overprotective", yaitu pola asuh yang terlalu melindungi dan memenuhi semua kebutuhan anak tanpa memberi kesempatan belajar.
Disisi lain, setiap kali Nobita memiliki ide maka Doraemon hampir selalu menurutinya, meskipun tidak semua ide tersebut logis atau bahkan etis. Nobita sering meminta membalas dendam pada Gian atau Suneo, menipu temannya, atau sekadar bermalas-malasan. Doraemon jarang memberikan penolakan yang tegas. Sebaliknya, ia memberikan alat dan hanya memperingatkan untuk menggunakan alat tersebut dengan bijak, dimana pesan itu hampir selalu diabaikan oleh Nobita.
Akibatnya Nobita tumbuh menjadi anak yang tidak bertanggung jawab atas pilihannya. Ia merasa bebas membuat rencana apa pun karena ada penolong abadinya, Doraemon. Ketika rencana gagal Nobita akan selalu menangis, panik, dan kembali untuk meminta bantuan lagi. Ini menciptakan lingkaran ketergantungan yang membuatnya tak pernah benar-benar belajar dari kesalahan.
Dalam kehidupan nyata, banyak orang tua yang tak sadar melakukan hal yang sama, menuruti semua kemauan anak demi menghindari konflik atau membuat sekedar membuat anak bahagia. Mereka menyelesaikan PR anak, membelikan mainan mahal saat anak rewel, atau membela anak mati-matian meskipun anak bersalah. Hasilnya? Anak tumbuh tanpa memahami batas, tanpa tanggung jawab, dan tanpa daya tahan terhadap kegagalan.
Akumulasi dari bantuan tanpa batas dari Doraemon, membuat Nobita tumbuh menjadi anak yang manja, lemah, dan mudah menyerah. Ia tidak pernah memiliki ketekunan untuk menyelesaikan masalah sendiri. Saat dimarahi guru, ia lari ke Doraemon. Saat kalah dalam permainan, ia merengek ke Doraemon.
Hal tersebut merupakan potret anak yang kehilangan daya juang. Dalam dunia nyata, anak seperti ini mungkin akan mengalami kesulitan besar saat masuk dunia kerja, berinteraksi sosial, atau membangun rumah tangga. Mereka tidak terbiasa menghadapi penolakan, tidak terlatih menghadapi tekanan, dan cenderung menyalahkan orang lain atas kegagalannya.