Mohon tunggu...
Anugra
Anugra Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar/Mahasiswa

Lebih menyukai kritik daripada solusi

Selanjutnya

Tutup

Film

Film The Stoning of Soraya M: Suara Perempuan untuk Dunia

22 Mei 2023   20:25 Diperbarui: 22 Mei 2023   20:20 5312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Pinterest (Film The Stoning of Soraya M)

Film merupakan salah satu seni modern serta alat komunikasi visual yang juga dapat menjadikan sebuah representasi terhadap realitas kehidupan kita. Sebagai sebuah alat komunikasi dan penyampaian pesan secara tersirat, terkadang film digunakan sebagai media untuk menyuarakan hal-hal yang menjadi ketimpangan di tengah-tengah kehidupana masyarakat.

Salah satu realitas yang semakin banyak disuarakan dalam film adalah isu ketidakadilan gender dan perempuan. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya produksi film di Indonesia maupun di luar negeri yang pemeran utamanya adalah perempuan. Walaupun begitu seringkali film mempresentasikan perempuan secara negatif, manja, lemah, kurang berdaya, dan menempatkan gender perempuan di bawah gender laki-laki. Sebuah riset berjudul It’s a Man’s (Celluloid) World, yang dikeluarkan oleh Study of Women Television and Film pada tahun 2014 mengungkapkan bahwa industri perfilman mengalami krisis bias gender yang parah ketika disinggung masalah perempuan dalam layar kaca.

Masalah ketidakadilan gender bentuknya adalah pandangan posisi subordinat terhadap perempuan, pandangan stereotip terhadap perempuan dan laki-laki, beban ganda dari perempuan, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan. Dari jenis ketidakadilan gender tersebut, tampak bahwa korban ketidakadilan ini sebagian besar berada di pihak perempuan.

Berdasarkan laporan bulan November 2017, World Economic Forum (WEF) menyimpulkan jika kesenjangan gender secara global masih ada dan terus meningkat menjadi 31,7%. Dilansir dari businessinsider, menyatakan ada 15 negara yang memiliki tingkat terendah dalam pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender.

Catatan Akhir Tahun (CATAHU) advokasi kasus solidaritas perempuan tahun 2020, mencatat bahwa dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebesar 79,2% (hampir 80%), yang berarti kekerasan terhadap perempuan di Indonesia meningkat hampir 8 kali lipat dalam 12 tahun terakhir. Gambaran di atas masih merupakan fenomena gunung es, yang dapat dijelaskan dengan fakta bahwa keadaan perempuan Indonesia jauh dari unsafe life.


Bahkan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat di sepanjang tahun 2022 sebanyak 25.050 perempuan menjadi korban kekerasan di Indonesia. Sementara tahun 2021 tercatat sebanyak 21.753 kasus, jumlah tersebut tentunya meningkat sebesar 15,2%.

Menurut usianya, 30,3% perempuan yang menjadi korban kekerasan berusia 25-44 tahun. Ada pula 30% perempuan yang menjadi korban kekerasan berusia 13-17 tahun.

Dilihat dari tempat kejadian, 58,1% kekerasan terhadap perempuan terjadi di lingkup rumah tangga. Kemudian, 24,9% kekerasan terhadap perempuan terjadi di tempat lainnya.

Sementara jika dilihat dari letak provinsinya, jumlah perempuan korban kekerasan paling banyak di Jawa Timur, yakni 2.136 orang. Posisi setelahnya ditempati oleh Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan perempuan yang menjadi korban kekerasan berturut-turut sebanyak 2.111 orang dan 1.819 orang.

The Stoning of Soraya M. adalah sebuah film yang berdasarkan kisah nyata di daerah Kupayeh, Iran. Film ini mengisahkan seorang wanita yang bernama Zahra yang berusaha untuk mengungkapkan kepada dunia tentang hukuman kejam dan tidak manusiawi yang dialami oleh keponakannya yang bernama Soraya M. Kejadian ini berawal dari keinginan Ali, suami Soraya, untuk bercerai dan menikah dengan gadis berusia 14 tahun. Namun, Soraya menolak perceraian tersebut. Sehingga Ali menghasut warga untuk menyebarkan fitnah dan mengatur siasat seolah-olah Soraya melakukan perzinahan. Akhirnya, Soraya dinyatakan bersalah dan dihukum rajam oleh warga, suaminya, ayahnya, dan bahkan kedua anak laki-lakinya.

Film ini diadaptasi dari Femme Lapidee, sebuah buku best seler tahun 1994 karya seorang jurnalis Perancis-Iran bernama Freidoune Sahebjam. Film The Stoning of Soraya M. tayang perdana dunia di Toronto International Film Festival 2008, dan memenangkan Runner Up Audience Choice Award. Film ini juga menjadi pemenang di beberapa festival antara lain, Flanders International Film Festival untuk kategori Canvas Audience Award, Heartland Truly Moving Picture Award, dan Los Angeles Film Festival untuk kategori Audience Award for Best Narrative Feature.

Film ini mengandung kritik sosial terhadap budaya patriarki yang masih sering terjadi dalam kehidupan kita, pertama, bahwa perempuan memiliki hak atas kehidupan yang lebih baik lagi tanpa adanya setir dan kemudi dari pihak laki-laki, kedua, tentang sikap seseorang yang tidak diam saat mengalami ketidakadilan, ketiga, mendengarkan penuturan dari segala sisi saat terjadinya ketidakadilan.

Sinopsis Film The Stoning Of Soraya M.

Saat tengah berada di sebuah desa terpencil di Iran, seorang Jurnalis asal Perancis bertemu seorang wanita yang memiliki sebuah kisah nan mengerikan terkait keponakan perempuannya, Soraya, dan seluk beluk kematiannya yang tragis.

Saat Jurnalis itu mulai menyalakan alat perekamnya, Zahra membawa kita kembali ke awal ceritanya yang melibatkan suami Soraya, pemuka setempat, dan sebuah kota yang dengan sangat mudah diprovokasi. Wanita di sana tidak memiliki hak dan menghadapi keinginan orang-orang korup yang menggunakan dan menyalahgunakan wewenang mereka untuk menghukum Soraya, istri yang tidak bersalah namun dijatuhi hukuman mati yang tidak adil dan sangat menyiksa.

Sebuah kisah drama nyata dan mengejutkan yang menguak kekuatan gelap dari pengaruh massa, hukum yang tak beradab, serta minimnya pengetahuan HAM terhadap perempuan. Satu-satunya harapan untuk menegakkan keadilan terletak pada sang Jurnalis yang harus melarikan diri demi menyelamatkan dirinya dan juga kisah tersebut agar seluruh dunia mengetahuinya.

Representasi Ketidak Adilan Gender dalam Film The Stoning Of Soraya M.

1. Perempuan tidak memiliki kesempatan untuk berbicara, hal ini terlihat dalam adegan dan percakapan di saat Zahra, selaku Bibi Soraya, bercerita mengenai ketidakadilan yang terjadi di tempatnya. 

Zahra: “Ambillah peralatanmu. Di sini suara wanita tidak diperdulikan. Aku ingin kau membawa suaraku bersamamu”.

Freidoune: “Kenapa aku harus mendengarkanmu? Jika seperti yang kau katakan suara wanita tidak lagi dipedulikan di manapun di negara ini.

Zahra: “Pertama, dengarkan ceritaku. Kau akan tahu kenapa harus mendengarnya”.

Dalam adegan ini, perempuan digambarkan sebagai seseorang yang tidak memiliki hak untuk didengarkan dan berbicara secara lantang. Namun sejatinya, perempuan harus menjadi speaker yang selalu berbicara tentang kehidupan. Hal ini bukanlah tanpa alasan, perempuan merupakan makhluk Tuhan yang selalu bekerja menggunakan hati, sehingga tentunya perempuan memiliki sikap empati dan kepedulian terhadap sesama yang sangat tinggi dan perasaan yang selalu tepat pada sasarannya.

2. Perempuan seakan-akan selalu dianggap sebuah benda mati. Perempuan tidak diberikan hak untuk memilih atau menentukan hidupnya. Pilihan hidup seorang perempuan dipegang sepenuhnya oleh laki-laki. Hal ini terlihat dalam adegan ketika Ali memaksa Mullah Hassan untuk meyakinkan Soraya.

Ali: “Soraya akan setuju kalau dia tahu yang terbaik untuknya”.

Hassan: “Ya, tapi wanita bisa menjadi keras kepala. Seharusnya kau tahu tentang istrimu”.

Ali: “Kau harus meyakinkan dia”.

Hassan: “Insya Allah”.

Ali:“Tidak! Yakinkan dia. Dia tidak punya pilihan”.

Hassan: “Insya Allah”

Ali: “Jangan ‘Insya Allah’ padaku. Kau tak bisa jadi Mullah lagi karenaku. Aku punya bukti latar belakangmu di penjara”.

(Flashback adegan di penjara)

Hassan: “Kau mengancamku?”

Ali: “Tidak, hanya mengingatkan siapa yang tahu tentang kebenaran dirimu”.

Hassan: “Kita satu pikiran. Kalau pikiran Soraya, aku tidak yakin”.

Ali: “Kalau begitu buat dirinya yakin. Yakinkan dia”.

Perempuan bukanlah sebuah mobil yang harus disetiri dalam hidupnya, perempuan memiliki hak untuk menentukan langkah selanjutnya dalam karier, pendidikan, dan lain sebagainya dalam lini kehidupannya. Dalam kata lain, perempuan juga punya hak!

3. Seringkali seorang perempuan yang telah berumah tangga dituntut untuk menjadi istri yang sempurna, tidak bercacat, dan bercela. Tuntutan suami adalah sebuah kewajiban yang harus dipatuhi oleh istri, tanpa mempedulikan kekurangan dan kesulitan yang dialami. Hal ini terlihat dalam adegan Ali sebagai suami Soraya membandingkan dan menghina Soraya.

Ali: “Wanita yang tidak bisa menaruh daging di atas meja”.

Soraya: “Kau tidak memberiku uang. Aku tidak bisa membuat daging dari beras”.

Ali: “Mehri selalu punya daging di atas meja, dan punya banyak. Dia tahu caranya menjadi istri”.

Soraya: “Jangan bicara soal dia”.

Terkadang laki-laki seringkali menuntut perempuan untuk menjadi sempurna, namun apakah laki-laki pernah bercermin tentang keadaannya untuk menuntut kesempurnaan terhadap pasangannya? Mari jawab pada diri kita masing-masing.

4. Seringkali hukum yang ditetapkan dalam suatu negara berat sebelah dan sangat merugikan pihak perempuan. Hal ini terlihat dalam adegan Ebrahim selaku pejabat tinggi kota tersebut menjelaskan hukum perselingkuhan yang berlaku pada tempatnya.

Ebrahim: “Dua orang pria menuduhmu melakukan hal yang tidak pantas sebagai seorang istri dan ibu. Kau bisa membuktikan kau tak bersalah?”

Soraya: “Bukti? Bagaimana caranya aku bisa membuktikan aku tidak bersalah? Mereka menuduhku. Mereka yang harus membuktikannya”.

Ebrahim: “Ketika seorang pria menuduh istrinya, seorang istri harus membuktikan ketidakbersalahannya. Begitulah hukumnya. Sebaliknya, jika seorang istri menuduh suaminya, dia harus membuktikan kesalahan suaminya. Kau mengerti?”

Zahra: “Ya, itu jelas. Semua wanita bersalah dan pria tak bersalah”.

Bersyukurlah hukum di negeri ini tidak mengadopsi hukum yang diterapkan dalam film tersebut, jika tidak, mungkin saja slogan "perempuan selalu benar" tak akan bisa kita gunakan.

5. Perempuan digambarkan memiliki posisi subordinat di bawah laki-laki. Perempuan tidak memiliki kuasa untuk membela diri. Semua keputusan hanya disepakati oleh laki-laki, sedangkan perempuan hanya tinggal mengikuti keputusan yang sudah ditentukan. Hal ini terlihat dalam adegan di mana Bita mendatangi rumah Soraya. Dalam adegan ini dijelaskan Bita dan beberapa perempuan lainnya datang ke rumah Zahra untuk menemani Soraya menunggu keputusan mengenai apa yang akan ia terima.

Zahra: “Ada apa itu?”

Bita: “Ebrahim menyuruhku untuk bersamamu. Mereka mengumpulkan orang-orang untuk rapat”.

Zahra: “Siapa yang bersamanya?”

Bita: “Ali tentunya dan teman-temannya. Kedua anak laki-lakimu, Soraya dan Marteza Ramzani”.

Soraya: “Ayahku. Dia akan ikut apapun yang mereka putuskan”.

Bita: “Semua laki-laki seperti itu. Kapan mereka akan membela kita?”

Dalam percakapan ini, memvisualisasikan bahwa perempuan hanyalah seseorang yang bisa menerima kebijakan sepihak, namun perlu kita ketahui, saat ini perempuan haruslah menjadi garda terdepan dalam pembentukan kebijakan. Hal ini sejalan dengan yang telah penulis jabarkan sebelumnya, bahwasanya perempuan selalu bekerja dengan hati, sehingga memiliki tingkat kepedulian dan empati yang tinggi antar sesama.

Ketidakadilan gender dan perempuan merupakan isu global yang menarik untuk dibahas di berbagai media, salah satunya adalah media film. Budaya patriarki merupakan salah satu faktor terjadinya bias gender di masyarakat. Budaya patriarki adalah budaya yang dibangun atas dasar dominasi kekuasaan laki-laki terhadap perempuan. Selain itu, pandangan sosial dan budaya terhadap kesalahpahaman konsep ketidaksetaraan status, hak, kewajiban, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan juga menjadi pemicu hadirnya ketidakadilan gender di tengah masyarakat. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender tersebut meliputi marginalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan, dan beban kerja.

Di akhir tulisan ini penulis ingin menyampaikan pesan kepada para pembaca, bahwasanya perempuan bukanlah benda mati yang bisa disetiri, perempuan memiliki hak dalam mengatur dan menjalankan kehidupannya. Perempuan bukanlah makhluk lemah, akan tetapi perempuan adalah makhluk kuat yang bisa bekerja dalam tekanan seberat apapun itu. Dari representasi film tersebut kita dapat mengatakan dengan lantang bahwasanya "PEREMPUAN JUGA PUNYA HAK!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun