Mohon tunggu...
Rahman Seblat
Rahman Seblat Mohon Tunggu... wiraswasta -

seorang pekerja lepas, dengan latar belakang pendidikan seni rupa. selain menjadi tukang ndesain lepas, kadang2 ngelukis dan ngeblog. bersama beberapa teman membuat komunitas RTJ (Rumah Tanpa Jendela) Komunitas pendampingan berbasis seni dan kreativitas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tentang Ayah (Catatan Jelang 5 Tahun Lumpur Lapindo)

9 Februari 2011   09:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:45 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12972681651907307687

[caption id="attachment_89758" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas)"][/caption]

"Ayahku adalah ayah terbaik se-Irak, tetapi tentara amerika telah membunuhnya...." demikian kira-kira kata si bocah itu, yang kuingat dari adegan film "The Age of Stupid" yang beberapa waktu lalu diputar di Tugu proklamasi oleh koalisi LSM lingkungan (OXFAM, Green Peace, dll) Lalu ingatan ini melayang ke Porong Sidoarjo, mendarat di wajah-wajah bocah yang pada waktu lalu, sebelum pindah ke pemukiman baru yang kondisinya masih mengenaskan, bersekolah di sebuah dapur milik sekolah yang masih aktif kegiatan belajar mengajarnya. Sekolah darurat tentunya. Mendapati wajah-wajah yang pasti akan setuju dengan kalimat diatas. Yah.. Ayah mereka telah "dibunuh" mata pencahariannya. Sawah leluhur ditenggelamkan. Pabrik tempat si ayah menggantung hidup dilantakkan. Ruang usaha tempat gantungan nasib dimana rejeki didayung dengan susah payah oleh ayah hancur lantak diporandakan oleh lumpur yang mengurung. Kampung halaman ruang mereka tinggal dan bermain dihilangkan paksa oleh gelontoran pekat yang tentu tak datang begitu saja. Yang selalu diingkari keberadaannya oleh sang korporat penyebab kecelakaan itu. Dengan segala daya tentunya. Dengan kekuatan modal yang mampu membeli hukum dan keadilan. Tiba-tiba kesengsaraan di depan mata. Ayah menjadi tak berdaya, kemudian keluyuran dengan botol di tangan, dengan seribu serapah yang tak pernah menyelesaikan masalah. Atau malah kawin lagi, demi menghilangkan gebalau. Sex menjadi pilihan yang berakhir memusingkan, karena pilihan berikutnya adalah.. Perceraian... Anak lagi-lagi menjadi korban. Sayup di pinggir tanggul.. Doa-doa itu seperti kuyu. Ditengah serapah ayah yang kalah.. Di sisa semangat memperjuangkan nasib. Tak terasa sudah hampir lima tahun Lumpur pekat itu merengsek segala lini kehidupan yang tersisa. Beberapa kelompok warga yang dulu ngotot sekarang luruh. Ayah-ayah mereka sudah "habis".. Sudah lelah melawan. Meski tidak semua. Mereka akhirnya menerima skema ganti rugi lewat dana talangan, yang itu berarti uang pajak dari rakyat berujud APBN. Rakyat sendiri yang mensubsidi mereka. Sementara sang Monster lepas tangan dan terbahak.. Menyusun kekuatan agar bisa menguasai republik ini. Menebar citra kemana-mana. Menimbun semua kebusukan dalam lautan lumpur lapindo yang disebutnya Lumpur Sidoarjo (LUSI). Tinggal anak-anak yang harus tak ikut sengkarut. Mengisi bening nuraninya dengan kesadaran, belajar dan membuka pikiran seluas cakrawala. Sampai kemudian timbul kesadaran bahwa mereka selama ini  telah dikorbankan oleh sistem negara yang acakadut. Digilas dan diculasi oleh korporasi yang tak bernurani. Lalu belajar dari kesalahan masa lampau yang juga menjadi faktor kekalahan Ayah selama ini. Belajar mengatur strategi, agar tak kalah untuk kedua kali. Jalan untuk menang masih panjang.. Sangat panjangg...

(catatan menjelang 5th Lumpur Lapindo)


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun