Mohon tunggu...
Shanty Dewi Arifin
Shanty Dewi Arifin Mohon Tunggu... Administrasi - Arsitek murtad yang lebih bahagia jadi istri arsitek

Writer wannabe yang tinggal di Bandung dan suka berbagi cerita di www.ceritashanty.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Andai Saya Menteri Pendidikan

3 Agustus 2016   08:45 Diperbarui: 3 Agustus 2016   20:01 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelajaran PPKN dan sejenisnya ditunda dulu untuk dipelajari nanti saja di kelas yang lebih tinggi. Bahkan saya merekomendasikan hanya menggunakan BAHASA IBU hingga kelas 2 SD. Anak harus memiliki kefasehan yang cukup untuk membaca, menulis, bicara dan mendengar dalam satu bahasadulu, sebelum diperkenalkan dengan bahasa baru. Silakan dipilih saja bahasa yang biasa dipakai si Ibu. Bebas apakah mau bahasa Indonesia, Sunda, Inggris, Mandarin, silakan saja. Yang penting jangan dicampur aduk seperti gado-gado.

#Usia Kelas 3 SD 8-9 tahun

Baru di kelas 3, mata pelajaran ditambah sebagai persiapan menghadapi kelas 4 yang mata pelajarannya lengkap. Anak bisa mulai dikenalkan dengan yang namanya pelajaran bahasa indonesia, matematika, sosial, science (IPA), seni, olahraga. Agama dan Bahasa asing bisa menjadi daya tarik di sekolah-sekolah tertentu. Sedangkan urusan akhlak dan budi pekerti tidak perlu menjadi sebuah pelajaran terpisah, namun menyatu ‘blended’ dalam keseharian di semua pelajaran.

Kembali lagi ke awal, jika urusan akhlak dan budi pekerti ini sudah diteladankan orangtua sejak usia dibawah 3 tahun, semestinya hal ini tidak akan menjadi isu penting lagi pada masa SD.  Tidak ada lagi orangtua yang marah-marah karena menganggap sekolah tidak bisa mendidik karakter anak mereka dengan baik, padahal sekolah baru bertemu anak mereka sejak usia 6-7 tahun. Halooo...orangtuanya kemana saja dalam 6 tahun pertama kehidupan si anak?

#Usia kelas 4-6 SD 10 -12 tahun

Nah dengan pondasi yang kokoh, anak siap untuk belajar dengan target UN seperti sekarang. Padatkan saja materi untuk UN itu dalam 3 tahun terakhir. Dengan semangat belajar yang sehat, akan mudah bagi seorang anak menyerap informasi.

Di masa ini anak dikenalkan pada sejumlah profesi yang ada. Diharapkan ketertarikan anak pada profesi tertentu bisa mulai terlihat. Nantinya pilihan profesi ini akan menjadi arah pendidikan mereka setelah tamat UN. Harus lulus UN dengan nilai standar tertentu jika ingin belajar ilmu yang mereka minati di jenjang yang lebih tinggi.

Tidak ada lagi anak UN hanya dengan alasan sekedar mau masuk SMP, kemudian SMA, kemudian Kuliah, setelah itu bekerja di bidang yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan yang ia pelajari bertahun-tahun sebelumnya.

#Usia SMP 12-15 tahun

Di usia SMP anak mulai menekuni bidang-bidang yang mereka minati secara spesifik. Jadi penjurusan itu bukan di SMA, melainkan di SMP. Masa-masa ABG labil seperti ini, perlu penyaluran energi yang tepat sesuai minat mereka. Dengan memilih bidang yang mereka benar-benar sukai, diharapkan fokus mereka lebih terarah pada hal yang positif.

Diharapkan istilah ‘masa-masa paling nakal di SMP’ bisa dikurangi. Tidak ada lagi pelajaran SMP yang membosankan. Yang ada adalah anak-anak yang semangat mempelajari bidang yang mereka minati bersama dengan teman-teman yang memiliki minat yang sama.

Ada SMP untuk ilmu eksakta, ilmu sosial, ilmu bahasa, ilmu sejarah, ilmu memasak, ilmu jurnalistik, dan lain sebagainya. Sejenis SMK sekarang tapi untuk anak SMP.

#Usia SMA 15 – 18 tahun

Setelah 3 tahun mempelajari ilmu yang mereka sukai, di masa SMA saatnya anak belajar untuk memanfaatkan ilmu tersebut bagi orang lain. Mereka mulai magang dan belajar untuk menjual keahlian mereka. Lulus SMA pada umur 18 tahun, diharapkan anak telah sanggup menjadi manusia yang mandiri baik secara mental dan finansial.

#Usia 18 tahun keatas

Selepas SMA, anak siap memasuki dunia perkuliahan untuk mempertajam keahlian mereka secara spesifik. Tidak ada lagi mahasiswa yang memilih jurusan dengan sistem hitung kancing atau sekedar karena keren, kemudian lulus dan memilih profesi yang sangat bertolak belakang dengan keilmuan yang telah dipelajarinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun