Mohon tunggu...
Ahmad Mustain
Ahmad Mustain Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Penolak Aturan KPU tentang Tokoh Nasional adalah Partai Minim Figur

1 Maret 2018   11:38 Diperbarui: 1 Maret 2018   11:46 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang penggunaan alat peraga kampanye yang menampilkan gambar tokoh nasional seperti Soekarno, Soeharto, KH Hasyim Asyari, Gus Dur, dan B.J. Habibie. Partai politik boleh mencantumkan nama calon presiden dan wakil presiden atau pengurus partai politik lain.

Dengan menjunjung prinsip adil dan setara KPU akan memfasilitasi iklan kampanye, namun KPU akan memastikan alat peraga kampanye sesuai dengan ketentuan. Jika tidak, hal itu bisa dilaporkan kepada KPU untuk dikoreksi.

Alasan dibuatnya aturan ini menurut KPU karena alat peraga kampanye difasilitasi KPU dan isu soal itu sangat sensitif. Misalnya, sebuah organisasi masyarakat tidak menerima seorang tokoh nasional digunakan sebagai vote getter oleh sebuah parpol. Atau tokoh itu secara implisit memiliki pengaruh kuat di sebuah daerah, yang jika dipolitisasi, akan menimbulkan polemik dan konflik.

Sejatinya langkah ini merupakan terobosan bagi sebuah proses demokrasi, khususnya untuk pencegahan konflik dan nilai kesetaraan. Publik selama ini disuguhkan tontonan yang kelam di media massa, ketika banyak terjadi pertikaian di berbagai daerah di Indonesia saat Pilkada dan Pilpres lalu.

Seharusnya partai yang menolak aturan KPU ini bisa menggunakan logika berpikir terbalik. Partai yang selama ini menggunakan tokoh nasional sebagai 'barang jualan'nya bisa memunculkan tokoh-tokoh baru yang potensial. Tokoh nasional merupakan milik bangsa dan tidak bisa diklaim secara kelompok saja.

Dengan pengklaiman itu, berarti secara tidak langsung melecehkan pula perjuangan dan kontribusi tokoh tersebut. Misanya, Presiden RI ke-3 B.J Habibie, dipergunakan sebagai ikon partai politik dengan ideologi (A). Kelompok masyarakat dengan ideologi (B) yang sangat bertentangan dengan (A), merasa Habibie juga turut berkontribusi untuk mereka, dan memiliki personal influence yang kuat dengan mereka. Dalam contoh ini, kontribusi Habibie kepada negara harusnya dimaknai secara kebangsaan bukan kelompok.

Itulah kenapa KPU tidak melarang tokoh nasional yang masih menjabat dalam kepungurusan partai politik, seperti Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri yang menjabat Ketum PDIP, dan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono yang menjabat Ketum Demokrat.

Di negara yang sudah menganut sistem demokrasi selama ratusan tahun, Amerika Serikat, bahkan tidak menggunakan tokoh nasionalnya dalam pemilihan. Presiden AS terpilih yang berasal dari partai Republican seperti Donald Trump dan Goerge Bush, tidak menggunakan nama-nama besar seperti Abraham Lincoln mapun Theodore Roosevelt, yang berasal dari Republican juga. Sebaliknya, Barack Obama juga tidak menggunakan nama besar Franklin D. Roosevelt atau Bill Clinton untuk bisa menang sebagai senator, maupun Presiden AS.

Partai PDIP yang menolak keras aturan KPU ini, harusnya bisa menjadikan ini sebagai momentum. PDIP bisa lebih mengedepankan Ketum Megawati Soekarnopuri sebagai figur. Kenapa mesti khawatir tidak bisa memasang foto Soekarno?

PDIP sendiri kerap diasosiasikan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal itu sebenarnya tidak lepas dari pengaruh Soekarno sendiri. Sejarah mencatat Soekarno pernah mengawinkan tiga unsur ideologi yakni Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom).

Belum lagi hubungan mesra PDIP dengan Partai Komunis China (The Communist Party of China/CPC). Hal itulah yang kerap dikait-kaitkan oleh publik, melihat PDIP kerap menjadikan Soekarno sebagai 'barang jualan'. Tentu hal ini bisa ditepis jika PDIP bisa memunculkan figur yang lekat dihati rakyat. Sebaliknya, masyarakat yang tidak menerima tudingan itu bisa tidak rela jika Soekarno dijadikan sebagai ikon partai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun