Mohon tunggu...
Ringga Arif Widi Harto
Ringga Arif Widi Harto Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa Jurusan Sosiologi FISIPOL UGM. Biar orang laen yang menilai. Silakan mampir ke blog pribadi saya: http://kuasa-pena.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjadikan Pasar Tradisional sebagai Ruang Publik yang Nyaman di Tengah Pembangunan Bernalar Ekonomi

30 September 2015   22:59 Diperbarui: 30 September 2015   23:41 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Tantangan jaman makin menggila kebanyakan diukur dari seberapa besar seseorang memiliki uang (modal). Maka tidak mengherankan jika kepemilikan barang/produk didominasi oleh segelintir orang, termasuk “memiliki” kota. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka dengan menguasai segalanya tanpa melihat orang lain di sekelilingnya. Bukankah sejatinya kota dan habitat tempat hidup manusia itu dimiliki bersama dengan penuh tanggung jawab dan berkeadilan? Lantas bagaimana dengan nasib kaum miskin yang tidak mempunyai modal dan aksesibilitas yang menunjang bagi pemenuhan kebutuhan hidup mereka? Seringkali mereka menjadi objek kekerasan, penggusuran dan termarginalkan di kotanya sendiri. Akankah mereka hanya menjadi penonton dan tak kunjung mendapat kesejahteraan? Banyak sudut kota ditumbuhi beton bangunan yang menjulang membabat ruang bagi tumbuhan dan publik. Memang pertumbuhan industri yang kian pesat menjadikan tanah dan ruang sebagai aset utama yang terus menerus diperebutkan. Pembangunan yang hanya mengejar keuntungan ekonomi semata, apakah pantas disebut sebagai pembangunan berkelanjutan? Tentu saja tidak, karena pembangunan berkelanjutan inti utamanya yakni penghargaan yang besar terhadap lingkungan dan sosial. Sebagaimana agenda dunia mengenai pembangunan berkelanjutan sebagai kelanjutan dari MDGs (post-MDGs). Ritel-ritel dan pusat perbelanjaan modern tumbuh di sepanjang jalanan kota, demikian pula toko modern berjejaring makin mencengkeram kuat secara nyata berhadapan dengan usaha rakyat kecil. Menawarkan kebersihan dan efisiensi dalam berbelanja dan layanan 24 jam membuat banyak orang yang terpikat.

Di tengah gempuran modal yang luar biasa, negara harus hadir untuk melindungi rakyat kecil yang berjuang mencukupi kebutuhan hidupnya. Jangan hanya mengundang dan menarik investasi secara besar-besaran namun melupakan pemilik kedaulatan atas negeri ini. Selama ini masih banyak yang memandang pasar tradisional sebelah mata, kesan kumuh, kotor, bau dan tidak efisien melekat dalam tubuh pasar tradisional. Padahal sebelum republik ini berdiri keberadaan pasar tradisional (patra) sudah melekat dalam kehidupan masyarakat, bukan hanya persoalan ekonomi yang terdapat disana. Interaksi sosial terjadi dan begitu hangat antara penjual dan pembeli, senyum dan pelayanan ramah menjadi ciri khasnya. Para penjaja jasa panggul/gendong untuk membawakan barang belanjaan juga siap sedia, meskipun usia mereka sudah tak lagi muda. Penggunaan bahan pembungkus makanan dahulu juga sangat ramah lingkungan, ada yang menggunakan daun pisang, daun jati, anyaman bambu, dan sebagainya. Hal ini tentu memudar seiring dengan masifnya penggunaan plastik. Peringatan Hari Habitat Dunia (HHD) 2015 mengambil tema: Ruang Publik Kota untuk Semua, tentu menjadi refleksi kritis bagi pemangku kebijakan, kalangan usaha dan masyarakat hingga akar rumput. Dalam tulisan ini saya ingin memaparkan keterkaitan antara ruang publik dan pasar tradisional, termasuk seluk beluk lainnya yang sangat dipengaruhi oleh globalisasi dan perkembangan jaman.

Sumber: (http://www.anekawisata.com/wp-content/uploads/2015/01/Pasar-Beringharjo.jpg

Pasar Tradisional dan Pasar Modern

Penguatan terhadap eksistensi pasar tradisional harus dilakukan, bagaimanapun juga di tempat itu denyut nadi ekonomi rakyat berdetak. Banyak pakar yang menyatakan bahwa sektor UMKM kuat menghadapi terpaan krisis ekonomi global, sementara usaha besar seringkali tumbang tak kuasa menahan terpaan tersebut. Pengaturan tentang keberadaan pasar modern harus seirama dengan pengawasan yang dilakukan. Jangan sampai toko modern yang melanggar aturan dibiarkan begitu saja tanpa tindakan tegas. Revolusi mental yang dicanangkan Presiden Joko Widodo patut untuk segera ditindaklanjuti oleh jajaran pemda baik propinsi maupun kabupaten/kota. Apalagi dalam Nawa Cita, jelas sekali bahwa negara akan hadir dalam kehidupan masyarakat. Penyerapan anggaran harus semakin ditingkatkan untuk melakukan pembangunan bagi kepentingan rakyat, pembenahan dan penataan pasar tradisional menjadi prioritas agar kebutuhan ruang publik makin besar dan terpenuhi.

Pasar modern yang dikuasai oleh pemodal menengah maupun besar, harus melihat ruang dengan segala bagian yang melekat di dalamnya. Setiap daerah memiliki karakteristik, nilai-nilai yang menjadikan Indonesia adiwarna budaya. Seyogyanya pemodal yang menanamkan investasi melihat, mempelajari dan menghargai nilai-nilai yang terdapat di daerah. Bahkan dengan niatan baik membantu masyarakat kecil, bukan hanya mengejar keuntungan ekonomi semata. Ini bisa diwujudkan dalam membantu penciptaan ruang publik yang bisa diakses oleh semua. Pusat perbelanjaan modern memang terdapat ruang publik namun tidak semua orang familiar dengan keberadaannya. Melalui CSR atau apalah namanya, pusat perbelanjaan dan toko-toko modern menyisihkan sebagian keuntungan bagi lingkungan dan sosial masyarakat. Lebih-lebih untuk penguatan ruang publik pasar tradisional, oleh karenanya paradigma bisnis bukan hanya sekadar bisnis harus dibumikan. Hal ini mengingat yang ‘selalu’ menjadikan persaingan dalam perdagangan. Menjadikan pasar tradisional sebagai mitra dan kawan akan membantu golongan masyarakat menengah dan menengah ke bawah, mewujudkan keceriaan bagi mereka.  

Ruang Publik di Pasar Tradisional berdasar Karakteristik

Berkaca dari keberhasilan Kota Bandung yang telah mempunyai banyak taman tematik sebagai ruang publik yang terbuka dapat diakses oleh masyarakat, memberi daya dorong bagi daerah-daerah untuk makin mengembangkan inovasi dalam pelayanan publik. Era desentralisasi dan otonomi daerah membuka peluang dan kesempatan luas bagi daerah mengaktualisasikan nilai, tradisi dan potensi yang dimiliki. Ulasan mengenai taman kota tentu sudah banyak ditulis oleh para peserta penulisan blog. Bukan hanya taman, sejatinya pasar bisa dilakukan pembenahan yang mendorong pada pemenuhan ruang publik sekaligus memperkuat dan meningkatkan roda ekonomi masyarakat. Sebagai warga Yogya saya menaruh harapan besar bagi perkembangan pasar tradisional di kota budaya dan pariwisata ini. Kalau kembali melihat masa sebelumnya, sudah banyak capaian pemda dalam penataan pedagang kecil dengan memberi ruang bagi mereka. Pedagang klithikan di selatan Tugu, diboyong ke Pasar Klithikan Pakuncen. Sebetulnya banyak pasar di Yogya yang memiliki karakteristik unik. Beberapa pasar yang pernah saya kunjungi, antara lain Pasar Beringharjo, Pasar Klithikan Pakuncen, Pasar “Telo” Karangkajen, Pasar Senthir, Pasar Legi Kotagede, Pasar Ngasem, Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta “Pasty”.

Pasar Legi Kotagede yang terletak di kawasan cagar budaya peninggalan Kerajaan Mataram Islam mempunyai nilai strategis. Kotagede merupakan pusat pemerintahan Mataram pada abad ke-16 dengan raja pertama Panembahan Senopati, putra dari Ki Ageng Pemanahan. Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta merupakan penerus tahta dinasti Mataram. Karakter inilah yang perlu untuk dituangkan dalam pembangunan dan penataan ruang publik pasar, dengan ‘menonjolkan’ sisi historis masa lampau untuk memperkuat jatidiri dan karakter manusia Yogya yang tangguh dan kuat dalam menghadapi tantangan jaman. Pasar Klithikan Pakuncen bukan hanya menghadirkan barang-barang bekas, barang barupun tersedia di tempat ini. Menempati lahan di seberang jalan HOS Cokroaminoto, akses masyarakat mudah untuk menjangkaunya. Bangunan yang luas bertingkat dan areal parkir di bagian depan, jam buka hingga malam sekitar pukul 21-an membuat tempat ini ramai dikunjungi warga masyarakat. Barang bekas ternyata bisa mendatangkan rejeki, jauh sebelum layanan jasa penjualan online barang bekas berkembang. Selain Pasar Pakuncen, di Pasar Senthir yang terletak di sebelah selatan Beringharjo juga menyediakan beragam barang bekas mulai dari pakaian, elektronik, buku, sepatu. Ini tentu sangat membantu bagi masyarakat kecil dan juga menjadi tempat ‘berburu’ bagi kolektor. Pasar Ngasem yang lokasinya berdekatan dengan obyek wisata Tamansari, di sisi selatannya saat ini juga telah dibangun tempat untuk pertunjukan. Saya pernah menyaksikan dan sinau bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng di ruang publik Plasa Pasar Ngasem hingga larut malam. Pada malam hari, suasana panggung pertunjukan ini begitu indah karena di belakangnya terlihat jelas kompleks bangunan Tamansari, yang dahulunya merupakan tempat pemandian dan rekreasi para kerabat Keraton Yogyakarta. 

Sumber: Twitter @KiaiKanjeng (https://twitter.com/kiaikanjeng/status/615084673077612544/photo/1)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun