Mohon tunggu...
Samsul Bahri Sembiring
Samsul Bahri Sembiring Mohon Tunggu... Buruh - apa adanya

Dari Perbulan-Karo, besar di Medan, tinggal di Pekanbaru. Ayah dua putri| IPB | twitter @SBSembiring | WA 081361585019 | sbkembaren@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Politik Polarisasi, Baik atau Buruk?

10 Juli 2019   05:00 Diperbarui: 28 Juni 2021   18:31 2339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengetahui Dampak Politik Polarisasi niemanlab.org

Memecah rakyat ke dua kutub yang berseberangan atas isu identitas agama, nasionalisme, atau ideologi adalah politik polarisasi, demikian dimaknai saat ini. Sebagian pihak menyikapi politik polarisasi sebagai hal buruk karena merugikan kepentingan politiknya, yang lain berpendapat sebaliknya karena strategi menguntungkan merebut dukungan rakyat.

Penelitik politik (Sartori,1976) berpendapat bahwa polarisasi politik terjadi karena adanya jarak ideologi antar partai politik. Apakah ada jarak ideologi antar partai di Indonesia?

Mengamati pola-pola sikap partai politik Indonesia pasca orde baru, kita dapat menentukan apakah ada jarak ideologi antar partai sehingga dapat menyimpulkan apakah terjadi politik polarisasi. Setiap periode pemilihan presiden-wakil presiden, komposisi partai politik pengusungnya berbeda. Demikian juga ketika presiden menjalankan pemerintahan, komposisi koalisi partai politik pendukung pemerintah berbeda saat pengusungan calon presiden, demikian juga di kubu oposisi.

Baca juga :Kondisi Ekonomi Politik Saat Ini

Sama halnya kejadian di daerah, pada setiap periode pemilihan kepala daerah baik gubernur maupun bupati, tidak ada pola konfigurasi partai politik pendukung yang tetap, juga komposisi pendukung calon kepala daerah di satu daerah berbeda dengan daerah lainnya.

Pada pemilihan anggota legislatif disemua tingkatan, tokoh caleg juga bebas lompat kesana kemari ke partai sesuai situasi kondisi paling menguntungkan pada periode tersebut. Termasuk rakyat pemilih, kebanyakan tidak memperhatikan garis ideologi partai, bahkan politik uang cenderung menjadi pilihan.

Mencermati pola-pola partai politik tersebut, dapat disimpulkan bahwa antar partai politik tidak ada jarak ideologi. Sebagian pengamat politik berpendapat gejala ini adalah politik pragmatis, yakni politik jalan pintas dan praktis untuk berkuasa dengan mengeyampingkan ideologi partai.

Namun menurut penulis lebih tepat disebut politik oportunis, yakni semata-mata kehendak memperoleh kekuasaan dengan memanfaatkan sitiap kesempatan sebaik-baiknya tanpa ideologi sama sekali. Politik pragmatis mengesampingkan ideologi yang hakekatnya ada, tapi oportunis sama sekali tidak memiliki ideologi.

Baca juga : Peran PPKn dalam Pendidikan Politik

Namun politik pemilihan presiden 2019 berbeda dengan periode-periode sebelumnya karena unsur politik identitas agama telah kental, bukan hanya saat kampanye tapi masih berlangsung hingga hari ini, dan tampaknya berlanjut hingga tahun 2024. Penomena ini merupakan pengulangan dari politik pemilihan guburnur DKI tahun 2017 yang sukses mengantarkan Gubernur Anis Baswedan oleh pendukung identitas agama.

Pada perkembangan selanjutnya, isu sentimen identitas agama menguat menjadi isu Islam radikal atau Islam garis keras, yang kemudian memunculkan tandingannya nasionalisme dan ideologi Pancasila. Dengan demikian terjadi polarisasi politik, paham Islam garis keras disatu kutub dan ideologi Pancasila di lawan kutub. Gejala ini dapat dimaknai bahwa mulai ada yang mempertanyakan konstitusi, ada yang meragukan dasar ideologi negara Pancasila.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun