Hoe ; menangislah
Beri jalan pada air mata, biarkan ia mengalir pada dusun, pada pualam, pada muara
Empat musim panen mata meyembelih airnya, menampungnya hidup-hidup dalam bejana. Lalu ia berdansa mengikuti irama. Keringat berzaman, liuk napas mengemudi segala ragu menuang rindu dalam penjara.
"ssst... jangan panggil rindu sekarang, kata hujan kita harus menanti."
Empat musim rindu dalam penjara; ia khatam memasak kangen. Di atas sebuah tungku ia berdoa memanjat tangga menuju Tuhan. Ia berteriak, memanggil nama Tuhan dalam rebusan rindu yang terakhir.
"Tuhan, izinkan aku mencium merah tanahku, Flobamora."
Hoe; bicaralah
Beri jalan pada mulut, biarkan ia bercerita tentang asin keringat yang merebak bersama pahlawan-pahlawan aksara. Tatkala pluit wasit melengking di lapangan waktu. Tuhan tak pernah tidur mencatat angka dalam buku-Nya, dan ia mencatat darah yang mengalir dan berdesir atas nama anak Flobamora. Pertandingan usai, dan pluit wasit tenggelam di dasar sayembara.
"Mereka kalah"
Empat musim rindu mencumbu sakral doa dalam surga. Di atas sepi penjara ia mencuri cara, menengok ke surga Flobamora.Â
"Ena .... Ama ....", panggilnya melahirkan sembilu di langit-langit rantau. Kemudian gerimis turun, menjawab haru dalam-dalam. Hanya gerimis. Ya, tanpa lipstik bianglala ia hadir, membentuk aliran susu para bidadari. Ia mengalir, dan khatam di penjara rindu.