Mohon tunggu...
Politik

Kebenaran Palsu dalam Fenomena "Cyber Culture"

1 Januari 2018   14:09 Diperbarui: 1 Januari 2018   14:25 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di era milenial saat ini perkembangan teknologi dan informasi semakin pesat, khususnya kemudahan dalam mengakses media sosial serta berbagai macam informasi yang ada didalamnya. Media sosial menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Sebagai media yang memfasilitasi masyarakat untuk mengakses informasi tentunya kebenaran informasi di media sosial tidak sepenuhnya benar, ada kalanya sebuah informasi mengandung kebohongan atas fenomena yang terjadi di masyarakat.

Namun kemudahan pertukaran informasi di media sosial saat ini seolah menjadi pedang bermata dua yang dapat menjerumuskan penggunanya ke dalam suatu informasi yang tidak benar. Kehadiran informasi yang tidak benar tersebut tidak jarang menghadirkan polemik di dunia maya, karena kecenderungan penggunanya yang terlalu mundah menyimpulkan informasi dari media sosial tanpa menelaah lebih lanjut tentang kebenarannya. Untuk itu diperlukan suatu pengetahuan, sehingga penggunanya dapat memilih dan memilah informasi yang benar sesuai dengan fakta yang sesungguhnya.

Menurut Oxford Dictionaries, 'post-truth' diartikan sebagai istilah yang berhubungan dengan atau mewakili situasi-situasi di mana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibanding fakta-fakta yang obyektif. Steve Fuller (87: 2016) mengatakan bahwa era post-truth adalah suatu era dimana bullshit menjadi sangat bernilai. 

Banyaknya perhatian orang-orang mengenai fake news (hoax), dimana kita memerlukan usaha lebih untuk membedakan mana yang nyata dan tidak, menunjukan bahwa banyak orang menyadari bahwa kita telah memasuki era post-truth. Media sosial sebagai salah satu sumber informasi yang menyambungkan antar individu berbasis digital tidak sepenuhnya dapat menyediakan fakta. 

Dalam arus informasi seperti sekarang ini, virus post-trust ini benar adanya masyarakat cenderung tidak mencari kebenaran dari suatu informasi melainkan mencari sesuatu pembenaran sesuai perasaannya bukan logikanya. Selain itu munculnya perhatian pengguna media sosial terhadap berita palsu (hoax) yang berlalu lalang di dunia maya, membuat informasi didalamnya sulit dibedakan benar dan salahnya. Hal tersebut secara tidak disadari telah berlangsung dalam dunia di media sosial saat ini yang menunjukkan bahwa era post-truth telah dimulai.

Media sosial memudahkan setiap orang didalamnya untuk berpartisipasi aktif dalam membuat konten informasi dan berita yang sering disbut citizen journalism. Kemudahan inilah yang menyebabkan siapa saja yang dapat mengakses media sosial dapat membuat dan menikmati konten yang ada. Selain segala kemudahan yang ditawarkan, tetapi hal tersebut juga membawa dampak negatif. Hadirnya informasi yang muncul tanpa adanya pengawasan atas kebenaran informasi yang ada akhirnya menjadi salah satu faktor yang melahirkan post-truth di masyarakat (Axel Bruns, 122: 2007).

Sebagai contoh dewasa ini, banyak sekali akun di media sosial seperti instagram yang ikut serta menyebarkan opininya di media sosial mengenai kasus yang berbau agama sepreti beberapa waktu lalu mengenai kasus penistaan agama yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dinilai menodai agama Islam karena mengatakan dibohongi oleh surat Al-maidah yang sempat viral di media sosial.

Meski pada saat itu, kebenaran bahwa Ahok benar-benar menodai agama Islam belum terbukti karena hukum belum selesai, adanya kecenderungan emosi masyarakat atas kasus tersebut dimaknai oleh masyarakat sesuai dengan pengaruh ataupun nilai pribadi yang menjadi keyakinan dalam diri mereka masing-masing tanpa mencari tahu fakta yang sesungguhnya.

Kasus ini dikategorikan sebagai post-truth karena adanya opini publik yang terbentuk hanya karena pembenaran sesuai perasaan yang timbul tanpa melihat alasan-alasan lain yang lebih objektif. Post-truth yang dimaksud bukan masalah benar atau tidaknya Ahok sehingga menjadi terdakwa, namun hal yang menjadi sorotan disini adalah mudahnya persepsi masyarakat dapat dibentuk dengan mengungkapkan kebencian seakan-akan Ahok benar-benar bersalah, padahal proses hukum yang ada belum selesai.

Hal seperti inilah yang menggiring opini masyarakat di media sosial yang hanya didasarkan atas alasan emosional tanpa adanya kajian objektif terlebih dahulu. Akibat kemudahan pembuatan konten inilah yang akhirnya fakta-fakta obyektif kurang berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi. Kehadiran informasi yang tersebar luas, mau tidak mau akan menjadi konsumsi publik di dunia maya. Kenyataan yang terjadi di lapangan, terkadang menjadi hal yang memprihatinkan. Dimana masyarakat Indonesia kurang bijaks dalam mengambil Informasi yang dikonsumsi lewat media.

Permasalahan seperti ini sangat mudah menyebar salah satu faktor yang mempengaruhinya yaitu masyarakat yang terlalu cepat menyimpulkan berita tanpa memverifikasi sumber informasi yang disampaikan. Ketika media sosial digunakan untuk mempublikasikan pesan yang menonjolkan opini dan setiap orang bisa mempublikasikan opininya sendiri maka fakta apapun akan tenggelam oleh opini tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun