Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru Killer, Hatta, dan Karakter Kepahlawanan

9 November 2022   13:46 Diperbarui: 9 November 2022   14:26 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dulu saat bersekolah atau kuliah, kita biasa menandai guru atau dosen tertentu yang dianggap killer, galaknya tanpa ampun, atau tegasnya tak kenal kompromi. Ternyata seiring waktu kita menjadi mafhum, bahwa kebanyakan guru atau dosen yang galak di sekolah/kampus biasanya justru seorang suami yang penakut istri alias anggota paguyuban Ikatan Suami Takut Istri (ISTI). Seorang tema kuliah yang kepo, pernah membuktikan sendiri adagium ini. Diam-diam dia mengintip kehidupan keseharian si dosen laki-laki yang galak saat berada di kampus. Niat banget memang, tetapi hasilnya sesuai "hipotesa".

"Wah, di kampus galaknya nggak ketulungan, maskulin abis, perkasa di depan mahasiswa. Eeh, di rumah ternyata takut bini, dibentak dikit istrinya, mentalnya langsung ciut kaya keong."

Ini memang kisah nyata, bukan hoaks. Di kampus, salah satu dosen kami ini memang dikenal killer, tukang perintah dan hobi kasih tugas. Tak ada toleransi untuk kesalahan mahasiswanya, sekecil apapun itu.  "Pantesan doyan banget kasih perintah, ternyata di rumah biasa disuruh sama istrinya. Balas dendam dia," celetuk temanku.

Sederhananya, saat fitrah kepemimpinannya dalam keluarga tak teraktualisasi, maka peluang untuk mencari saluran demi mengekspresikan tuntutan batinnya sebagai pemimpin. Ya anggap saja letupan dari gejala inferiority complex saat di rumah.

Tulisan ini bukan untuk meng-ghibah kehidupan rumah tangga para guru atau dosen yang killer. Tetapi bahwa masalah prifatnya di rumah terbawa atau mendampak kinerjanya di publik (kantor/sekolah, dll), tentu ini bisa menjadi masalah. Dari sini, kita bisa belajar banyak dari karakter para pahlawan bangsa, entah yang ikut dar-der-dor melawan penjajah Belanda dan Jepang, maupun mereka yang berpikir dan bergerak untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. 

Ternyata, salah satu gambaran karakter utama dari para sosok pahlawan ini adalah pada perjuangannya yang penuh totalitas, nggak setengah-setengah. Entah dengan harta, tenaga, pikiran, dan bahkan nyawa, yang rela mereka bayarkan demi melihat bangsanya merdeka. Dan untuk mencapai kualitas totalitas ini, para sosok pahlawan pastilah menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan dirinya, cita-cita besar akan mengalahkan egonya. Dengan kata lain, seseorang memiliki kualitas karakter kepahlawanan ketika ia telah selesai dengan dirinya sendiri.

Loh, apakah sosok pahlawan tidak boleh memiliki masalah dengan istri, dengan rumah tangga dan masalah pribadi lainnya? Tentu saja bukan itu titik pangkalnya, tetapi lebih pada kapasitas mengelola masalah, manajemen prioritas, bahwa masalah dan kepentingan diri tidak boleh menghalangi komitmen yang lebih besar, yakni totalitasnya untuk bangsa dan negara yang ingin merdeka. Konon, seorang sekaliber Umar bin Khatab yang punya reputasi sebagai Singa Padang Pasir, pemimpin yang tegas dan adil, di rumah ia juga memiliki istri yang cerewet dan penuntut. Tetapi Umar tetap mampu mengelola itu semua ketika sudah berbicara kepentingan agamanya dan amanah yang diembannya sebagai pemimpin negara.

Dikisahkan, suatu waktu istri sang khalifah protes dengan kehidupan suaminya yang teramat sederhana. Seorang pemimpin Jazirah Arab yang disegani dunia kok makanannya terlalu sederhana, tak ubahnya rakyat jelata. Yang dituntut istrinya pun sebetulnya tidak keluar dari batas kepatutan. "Suamiku, kamu kan khalifah, amirul mukminin, mengurusi banyak rakyat, mbokyao minta lah tambahan tunjangan makanan biar menunya agak enak sedikit," mungkin begitu percakapan istrinya dalam bahasa kita.

Tetapi alih-alih meminta tambahan gaji ke perbendaharaan negara (Baitul Mal), Umar justru memberi solusi cespleng ke istrinya. "Baiklah, mulai besok kita lebih hemat pengeluran, supaya ada uang sisa di akhir bulan."

Singkat cerita di akhir bulan sang istri menunjukkan uang hasil efisiensi sebulan itu ke Umar, dengan maksud meminta izin sang suami untuk dibelanjakan daging di pasar. Tetapi Umar justru menunjukkan kualitasnya sebagai pemimpin, ia minta uang tabungan dari istrinya. "Istriku, ternyata dari penghematan kita selama sebulan ini, kita masih bisa makan kan, kita masih hdup kan? Itulah sejatinya kebutuhan riil kita, maka yang kita tabung dan hemat ini adalah kelebihan, tolong kembalikan ke Kas Negara."

Tentu saja istrinya, kecelik, yang terjadi benar-benar di luar espektasi, bahkan tak terbayangkan sebelumnya. Tetapi apapun itu, ia manut perintah sang khalifah dan memutuskan mengembalikan uang hasil berhemat itu ke Baitul Mal. Begitulah Umar, sosok pemimpin besar yang disegani Romawi dan Persia, tetapi kehidupan pribadi dan keluarganya teramat sederhana, layaknya rakyat biasa. Ia bukan tidak punya masalah rumah tangga, tetapi sebagai pemimpin ia telah selesai dengan urusan dan kepentingannya, sehingga tidak mengganggu kerja-kerjanya untuk negara. Begitulah idealnya seorang pahlawan.

Dari kisah heroik Umar, mari kita bergeser ke kisah romantis Bung Hatta. Tokoh proklamator kemerdekaan bersama Sukarno, Wakil Presiden pertama Indonesia,  salah satu perumus konstitusi negara, sosok pahlawan besar bagi republik. Tetapi tahukah Anda, bahwa demi mewujudkan cita-citanya memerdekakan Indonesia, Hatta rela menunda keinginannya berumah tangga. Ia bahkan pernah berikakr, tak akan menikah sebelum menyaksikan bangsanya merdeka. Alhasil, ia baru menikah saat usianya telah lebih dari matang, 40 tahun, yakni pada November 1945, ketika Indonesia telah merdeka.

Atas nama kepentingan bangsa, Hatta rela menahan diri untuk menikah. Apakah ia tak pernah jatuh cinta? Wah, lelaki normal mana yang tidak mendambakan wanita. Ia pun diketahui telah lama jatuh cinta pada pandangan pertama dengan sosok Rahmi Rachim, mojang Bandung yang pernah dilihatnya saat sebuah kunjungan ke kota itu. Tetapi ia tetap memendam perasaan itu, tak ada upaya pede kate, komunikasi pun tidak. Padahal Hatta telah berjuang untuk Republik sejak masih muda.

Kondisi ini pun membuat Bung Karno yang notabene juga sahabat dekatnya gusar. Setelah Indonesia merdeka, Sukarno pun mendorong Hatta untuk segera menikah. "Republik ini sudah merdeka Bung, kapan kau akan menikah? Usiamu semakin menua. Sebut saja gadis mana yang kau inginkan, aku akan melamarkannya untukmu." Begitu kurang lebih desakan Bung Karno.

Singkat cerita, Bung Karno menunaikan janjinya, ia memfasilitasi dan membantu melamarkan Hatta untuk Rahmi Rachim. Konon, Bung Karno bahkan menjadikan dirinya sebagai jaminan atas pernikahan sahabatnya itu.

Ya begitulah kualitas seorang pemimpin, kualitas kepahlawanan pada sosok Hatta. Saat berjuang untuk Republik, ia telah merampungkan urusan dirinya, mengesampingkan kepentingan dirinya yang vital sekalipun. Dan karena komitmen tersebut, perjuangan Hatta unuk kemerdekaan Indonesia pun tidaklah kaleng-kaleng, tetapi penuh totalitas. Jalan kepahlawanan tidak mengenal kata mulus dan nyaman, tetapi sering kali justru penuh penderitaan. Dan begitulah Hatta membuktikan kontribusinya untuk republik ini. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun