Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Status dan Kesejahteraan Guru Honorer (Mungkin) Belum Merdeka

25 Agustus 2021   13:28 Diperbarui: 25 Agustus 2021   13:39 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://radarpekalongan.co.id/wp-content/uploads/2019/10/guru-honorer-1.jpg

APA jadinya jika para guru honorer di Indonesia kompak melakukan aksi mogok mengajar? Tidak perlu berbulan-bulan, cukup satu pekan saja. Bisa ditebak, proses pembelajaran di banyak sekolah, khususnya jenjang Sekolah Dasar (SD) bisa kolaps.

Tulisan ini tidak dalam semangat berpropaganda, agitasi, apalagi provokasi. Lebih kepada pengingat ihwal vitalnya peran para guru honorer dalam membantu keberlangsungan pendidikan di Indonesia. Tulisan sejenis juga pernah penulis unggah di kompasiana pada 3 Mei 2019 silam. Penulis bukan seorang guru, apalagi guru honorer, bukan pula lahir dari keluarga guru, tetapi pernah beberapa kali bersinggungan dengan perjuangan panjang para guru non Pegawai Negeri Sipil (PNS) ini di daerah. Sebagai jurnalis media lokal, penulis juga pernah beberapa kali membantu perjuangan para guru honorer ini melalui pemberitaan. Sebagaian dari produk jurnalistik itu berhasil mendorong lahirnya kebijakan pemerintah daerah yang lebih berpihak pada guru honorer, tetapi sekali lagi hanya sebagian kecil. Toh tidak sedikit media yang concern dengan perjuangan mereka.

Kenapa tanpa guru honorer banyak SD bisa kolaps? Ya karena banyak SD yang sudah lama kekurangan guru kelas PNS, satu sekolah bisa tersisa tiga atau empat dari kebutuhan minimal 6 guru kelas PNS. Penyebabnya adalah gelombang pensiun massal para guru PNS yang dulunya diangkat secara massal pula melalui Instruksi Presiden (Inpres) pada dekade 70 sampai 80 an. Kalau satu SD hanya diampu dengan tiga guru, tentu para guru PNS yang sebagian besar juga sudah menua ini tak mungkin sanggup. Belum lagi model pembelajaran saat ini yang semakin lekat dengan berbagai inovasi digital, para guru generasi sepuh ini tentu bakal ketinggalan gerbong kereta. Lalu siapa yang bisa mengcover kekosongan tersebut, tidak lain dan tidak bukan adalah para guru honorer. Sementara para kepala daerah tidak berani mengangkat (dengan SK tentunya) para guru non PNS karena terbentur aturan, maka solusinya adalah melalui SK kepala sekolah. Para kepala sekolah yang umumnya juga ikut mengampu kelas ini memilih bertindak cepat karena terdorong kebutuhan yang mendesak. Bagi mereka, mana mungkin proses pembelajaran siswa harus ditunda menunggu pemerintah merekrut guru PNS.

Lambat laun jumlah guru honorer pun membengkak, karena gelombang pensiun guru Inpres yang juga masih berlangsung. Jadi dalam kondisi krisis ketersediaan guru PNS SD tersebut, para guru honorer ini sebetulnya layak dianggap pahlawan, meski tanpa tanda jasa. Jangankan tanda jasa, status mereka saja banyak yang tidak jelas. Sebagian yang masuk database Badan Kepegawaian Negara (BKN) lalu dikelompokan dalam kategori I (K1) atau kategori 2 (K2), tetapi banyak juga yang tak masuk kategori, terutama bagi mereka yang memulai megajar setelah 31 Desember 2005. Karena tak masuk kategori, maka dampaknya adalah pada kesejahteraan mereka yang minim. Mereka bukan hanya tak masuk dalam database BKN, tetapi kadang di database pemerintah daerah juga belum tercover.

Ketika status tak 'diakui', maka pemerintah pusat dan daerah sama-sama tidak berani mengucurkan anggaran untuk mereka. Ini yang terjadi di banyak daerah. Akibatnya para honorer ini praktis hanya megandalkan honor dari pos Bantuan Operasional Sekolah (BOS), tidak bisa menikmati tunjangan dari pemerintah. Bahkan bagi yang tercover tunjangan dari pemerintah daerah sendiri, besarannya kadang masih jauh dari memadai. Tidak sedikit dari mereka yang hanya menerima tunjangan Rp 200 ribu perbulan, itupun dicairkan rapelan per triwulan, semester, atau bahkan setahun sekali.

Beberapa daerah memang ada yang membuat terobosan dengan memberikan tunjangan yang lebih layak untuk para guru honorer. Salah satu contohnya di Kabupaten Batang, yang sudah hampir lima tahunan ini memberikan tunjangan operasional bagi para guru honorer dengan besaran antara Rp 500.000,- sampai Rp 1.400.000,- per guru/bulan, tergantung pada lamanya pengabdian dan ijazah pendidikan, parallel ataukah tidak.

Tentu saja pemerintah pusat maupun daerah telah berupaya untuk membantu para guru honorer ini, meski kebijakan yang ada belum bisa benar-benar membahagiakan guru honorer. Misal dalam kebijakan rekrutmen CPNS untuk guru honorer K2, kebijakan ini hanya mengcover 30% dari total populasi guru honorer di Indonesia. Belum lagi yang non kategori.  Maka dibutuhkan kebijakan yag lebih serius dan bersifat jangka panjang (long therm policy) untuk mengatasi permasalahan status dan kesejahteraan guru honorer ini. Kalua saja dulu fenomena gelombang pensiun guru Inpres lebih diantisipasi pemerintah, tentu saja jumlah guru honorer di sekolah negeri (wiyata bhakti) tidak akan sebanyak seperti saat ini.

Status dan kesejahteraan para guru honorer ini tetap perlu diperhatikan, karena mau diakui atau tidak statusnya, faktanya mereka telah menjaga keberlangsungan pendidikan di ribuan SD di Indonesia. Soal dedikasi, tenaga dan pikiran para honorer ini juga banyak yang menjadi tulang punggung sekolah, mengingat banyak guru PNS yang sudah mendekati usia pensiun.  Para guru honorer ini pula yang diandalkan sekolah dalam pengelolaan manajemen yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Jam kerja mereka tak kalah dengan guru PNS yang telah menerima tunjangan sertifikasi profesi, para guru honorer hanya kalah dalam hal status dan kesejahteraan.

Sebagai pendidik, sebagai pengajar, para guru honorer ini mungkin telah merdeka, bahkan mungkin perlahan mengimplementasikan konsep "Merdeka Belajar" nya Menteri Pendidikan Nadiem Makarim. Tetapi soal status dan kesejahteraan, guru honorer mungkin belumlah merdeka. Dalam konteks tujuan bernegara pasca kemerdekaan, para guru honorer ini telah membantu mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi mungkin tertatih-tatih menyejahterakan dirinya. []

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun