Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Mau Lebaran, Sudah Bahagia?

22 Mei 2020   07:41 Diperbarui: 22 Mei 2020   07:45 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PASAR dan mall mulai ramai sejak beberapa hari terakhir ini. Pertanda lebaran segera tiba. Bahkan, situasi pandemi Covid-19 pun tak jadi penghalang, pusat-pusat perbelanjaan di setiap kota tetap ramai diserbu pengunjung. Mereka berdesak-desakan seolah tak ada ancaman wabah. Mereka berburu baju dan perlengkapan lebaran, seperti sama sekali tak menunjukkan adanya kesulitan ekonomi akibat pandemi.

Ya, itulah tradisi berlebaran di Indonesia. Sebisa mungkin semuanya serba baru; pakaian, makanan dan jajanan melimpah, rumah direnovasi atau minimal dicat agar ada kesan baru. Mungkin saja, dulu tradisi itu punya sandaran teologis, bahwa idul fitri adalah suasana baru yang suci selepas sebulan berjuang dalam ibadah puasa Ramadan. Harapan atas jiwa yang kembali suci itu lantas diekspresikan dalam perkakas sandang, pangan, dan papan yang serba baru.

Atau, bisa juga pemahamannya berangkat dari sunah Nabi, bahwa hari raya adalah suasana gembira. Bahkan, orang-orang miskin dan yatim piatu harus dipastikan bahagia. Sampai di sini, tidak ada yang keliru bukan? Bahwa dalam riuh rendah berhari raya sesungguhnya ada ekspresi soal suasana fitri, dus kegembiraan merayakannya.

Sekarang tinggal kita takar masing-masing, kegembiraan dan kebahagiaan yang seperti apa, serta suci yang seperti apa? Dua pertanyaan ini tentu tidak bisa dilepaskan dari rangkai ritual utamanya, yakni ibadah puasa satu bulan.

Kesucian seperti apa yang diharapkan terbangun melalui ibadah puasa? Pertanyaan ini sama pentingnya dengan pertanyaan yang lebih mendasar; untuk apa berpuasa, apa pentingnya berpuasa sehingga harus diwajibkan selama satu bulan. Bahkan, ibadah puasa nyatanya juga dikenal dalam semua agama dan kepercayaan.

Kembali Suci

Konon, terjemahan bebas frasa idul fitri tidak lain adalah kembali makan. Bahwa setelah sebulan berpuasa, maka pada 1 Syawal adalah momentum kembali diperbolehkannya makan. Bahkan diharamkan berpuasa. Namun demikian, secara makna idul fitri dikaitkan dengan kembali sucinya jiwa manusia setelah satu bulan berjuang mengendalikan nafsunya.

Pengertian yang demikian tidak bisa dilepaskan dari kecenderungan tabiat manusia yang tamak, rakus, tak pernah puas dengan apa yang diperolehnya. Hal ini berpijak pada drama 'terusirnya' Adam dan istri dari surga. Meski telah diberikan karunia hunian, segala makanan, minuman, dan buah-buahan terbaik, mungkin miliaran jumlahnya, keduanya tetap tak mampu menahan diri dari satu-satunya larangan Allah SWT, yakni mendekati sebuah pohon. Agh, itu kan karena bisikan iblis? Ya benar, tapi juga menunjukkan bahwa manusia pada dirinya memiliki tabiat tamak tak ketulungan.

Kita bahkan sering tidak habis pikir. Seorang politisi yang kita tahu mungkin aset kekayaannya miliaran rupiah dan lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga, tiba-tiba dicokok KPK karena tertangkap tangan menerima gratifikasi yang nilainya ratusan juta. Apa namanya kalau bukan tamak? Keinginan memiliki itu bak meminum air laut, menambah dahaga. Tak ada habisnya. Itulah nafs, personal desire manusia.

Rasulullah Saw bahkan melukiskan kecenderungan manusia yang tamak itu dengan sangat 'sarkas', bahwa seandainya manusia diberi satu lembah berisi emas, niscara dia akan meminta lembah kedua, ketiga, dan seterusnya. Yang bisa menghentikan (ketamakan) itu adalah tanah (mati).

Maka ibadah puasa adalah cara Tuhan mendidik manusia, mendisiplinkan nafsu manusia. Karena dalam konsepsi Islam, nafsu ada tidaklah untuk dibunuh, tetapi dikendalikan agar tak liar. Bukankah arti puasa adalah menahan (diri), pengertian lain dari mengendalikan diri. Maka siapapun yang melalui ibadah puasanya mampu mendidik keinginannya, nafsunya, hasratnya, itulah orang-orang yang kembali pada kesucian. Semisal sucinya Adam dan Hawa saat masih tinggal di surga.

Siapa yang sukses mendidik keinginannya, merekalah yang mendapatkan Taqwa, sebuah kualitas diri untuk selalu menghadirkan Tuhan kapan dan di manapun. Dengan kualitas itu pula kita telah menjadi pribadi yang bersyukur dan dekat dengan Allah.

Tentang Bahagia

Bayangkan Anda sedang berburu takjil di puluhan stan bazaar takjil. Sore hari. Saat melihat puluhan jenis menua takjil itu, apa yang dipikirkan? Tentu, saat itu semua makanan takjil itu terasa enak dan lezat, bila perlu dibeli semuanya. Senang rasanya. Ya begitulah, sebelum saatnya, semua serasa menggoda selera makan kita. Ketika adzan maghrib tiba, kita sampai bingung mana yang mau dimakan. Tetapi over all, pada akhirnya kita menyadari, bahwa berbagai makanan takjil di meja makan itu tak semuanya bisa termakan.

Itulah kita, manusia dengan hasratnya yang menggebu. Padahal, dari ritual berbuka inilah kita belajar hakikat puasa itu sendiri. Belajar pula makna bahagia. Bahwa ternyata, segelas teh, tiga butir kurma, atau mungkin diganti dengan satu butir gorengan dan arem-arem, itu sudah cukup untuk membahagiakan kita. 

Seperti kata Nabi Saw, satu dari dua kebahagiaan orang yang berpuasa adalah saat berbuka. Dan untuk bahagia, kita cukup memenuhi apa yang kita butuhkan, bukan memenuhi segala keinginan. Karena ternyata, jajanan takjil yang memenuhi meja makan itu tak semuanya termakan. Bahkan kadang terbuang.

Jadi, seperti kata orang bijak; bahagia itu sederhana. Tetapi keinginan kitalah yang membuat konsep bahagia menjadi rumit. Atau, kalau kita ingin merasakan kebahagiaan yang lebih tinggi, maka setelah apa yang kita butuhkan saat berbuka terpenuhi, selebihnya berikanlah pada orang yang membutuhkan. Saat itu kita tidak hanya sedang membahagiakan orang lain, tetapi juga membahagiakan diri.

Soal ini, belajarlah dari Khalifah Umar bin Khatab. Sosok pemimpin yang tidak hanya disegani umat Islam saat itu, tetapi musuh-musuhnya juga menaruh hormat karena kualitas keadilan dan kesederhanaannya.

Suatu waktu, Umar pernah dicurhati istrinya. Sang istri amirul mukminin itu membayangkan bisa sesekali menyantap makanan yang enak, mengingat menu rutin makanan keluarga khalifah diketahui sangat sederhana selayaknya rakyat biasa. Umar memang bisa memahami keinginan istrinya. Tetapi, alih-alih meminta kenaikan gaji atau tunjangan dari baitul mal (baca: Bendahara Negara), dia justru memerintahkan istrinya untuk menghemat pengeluaran agar ada sisa gaji di akhir bulan.

Singkat cerita, saat uang hasil efisiensi gaji itu telah terkumpul di akhir bulan, sang istri melaporkan kepada Umar. Tetapi lagi-lagi istrinya kecele, karena Umar justru memerintahkannya mengembalikan uang penghematan itu ke kas negara. Kata Umar, dengan menghemat pengeluaran ternyata mereka sudah bisa memenuhi hidupnya. Maka sisa lebih itu menurutnya bukan kebutuhan, tetapi keinginan, sehingga harus dikembalikan ke baitul mal.

Luar biasa bukan? Semoga kisah Umar ini bisa menginspirasi kita semua yang masih saja galau mengontrol keinginan setiap jelang lebaran. Semoga ketauladanan Umar juga dicontoh para pejabat Negara, terutama di masa sulit seperti saat ini. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun