Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jalan Terjal Prabowo atau Jokowi? (Bagian 1)

27 April 2018   15:16 Diperbarui: 27 April 2018   15:19 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nama Joko Widodo dan Prabowo selalu nangkring di posisi teratas dalam daftar pencapresan 2019 oleh lembaga survei manapun, baik terkait popularitas maupun terutama elektabilitas. Beberapa figur lainnya, meski mendapat tempat di hati responden, toh angkanya terpaut cukup jauh dari dua figur yang sebelumnya bertarung di Pilpres 2014 itu.

Bahkan, siapapun mengamini hasil berbagai survei di mana jarak elektabilitas yang diperoleh Prabowo pun terpaut cukup jauh dengan sang incumbent. Survei Litbang Kompas misalnya, menempatkan elektabilitas incumbent yang meroket di angka 55,9%, mengalahkan jauh Prabowo yang menjadi penantang terkuat dengan 14,1%.

Hasil survei yang secara matematis tentu menenangkan dan menyenangkan para pendukung setia Jokowi. Meski survei itu, diakui Litbang Kompas, dilakukan pada kurun 21 Maret-1 April 2018 atau sebelum agenda Rakornas Partaii Gerindra yang mengamanatkan Prabowo untuk kembali maju sebagai Capres di 2019.

Selain faktor meningkatnya kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Jokowi, masih kaburnya kepastian calon penantang incumbent juga turut berkontribusi terhadap hasil survei. Sisi inilah yang cukup menarik untuk dibahas lebih lanjut berkait reputasi lembaga survey sekaligus akurasi atas hasil surveinya.

Kubu Prabowo dan penantang Jokowi lainnya tidak perlulah menuding lembaga survei manapun yang jauh mengunggulkan Jokowii sebagai partisan apalagi pesanan. Tetapi bahwa survei berulang yang dilakukan banyak lembaga survei dengan hasil yang kurang lebih sama akan turut mempengaruhi preferensi pemilih, tentu ini bisa dikaji secara komunikasi.

Dengan hasil survei yang ada, seandainya Pilpres digelar pekan depan misalnya, maka peluang swing voters menjatuhkakn pilihannya pada kandidat terkuat sangatlah besar. Mungkin inilah salah satu credit point dari rilisan berbagai lembaga survey terhadap petahana. Simpelnya, serupa pesan iklan yang berulang-ulang diperdengar-lihatkan.

Kedua, ibarat suasana menjelang bigmatch duo Manchester ataupun duel el-clasico, hasil survei itu juga bisa dimaknai sebagai perang urat saraf (psywar) yang selain memanaskan atmosfer juga berpotensi memukul mental lawan sebelum bertanding.

Apakah kubu Prabowo patut galau dengan sekian hasil survei yang mengecilkan pamornya? Apakah kubu Jokowi juga layak berbangga dan berpuas diri? Keduanya bisa sama-sama terjadi. Yang jelas, perang opini di level pendukung kian memanas melalui saluran media sosial tentunya.

Apakah hasil survei itu telah cukup mapan dijadikan pijakan para elit politik? Saya melihat baik kubu Jowoki maupun Prabowo tidak serta merta tenang. Justru karena mereka meyakini bahwa pergerakan mesin politik selama 11 bulan ke depan masih akan sangat menentukan hasil Pilpres di 2019.  

Kalau dicermati dengan seksama, sebetulnya di balik orchestra optimisme yang dinyanyikan para pihak pendukung incumbent, ada kekhawatiran cukup besar menghadapi opini-opini yang berpotensi menggerus elektabilitas Jokowi sampai 11 bulan ke depan. Potensi itu justru bisa ditilik dari banyaknya manuver yang mereka peragakkan dalam beberapa waktu terakhir ini.

Sebaliknya, di tingkat elit pendukung Prabowo, kekhawatiran itu lebih kepada belum adanya kepastian soal fomulasi dukungan berikut kompisi figur yang akan dikawinkan dengan sang Jenderal. Tetapi untuk dicatat, belum banyak jurus-jurus yang mereka keluarkan untuk melakukan counter attack terhadap incumbent. Bahkan, gerakan #2019ganti presiden yang sempat viral itu sama sekali tidak menguras energi mereka, karena aspirasi itu dimunculkan dari bawah. Yang mereka lakkukan terkait aksi tagar itu adalah sekadar menjaga stabilitas ritme, itupun saat disodori pertanyaan wartawan. Sebelebihnya mereka tak banyak bicara soal gerakan yang digelindingkan di lini masa itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun