Para pemakai kacamata ini, ritme semua karakter hampir sama. Awalnya mereka takjub dan penasaran, tetapi rasa penasaran ini secara perlahan berubah menjadi mimpi buruk.
Orang-orang jadi terobsesi dengan apa yang mereka lihat. Mereka mengetahui kehidupan seksual seseorang dengan gampang, dengan siapa mereka berhubungan, atau apakah hubungan tersebut berdasarkan cinta atau perselingkuhan, dan sebagainya.
Pengetahuan ini secara perlahan menjadi ekstasi yang memuaskan diri si pemakai kacamata. Sensasi jadi orang yang “tahu segalanya” tentang orang lain rupanya mengaburkan akal sehat masing-masing karakter dan mengubah mereka jadi orang yang berbeda, sebagian besarnya malah gelap mata.
Ada yang memilih untuk mengontrol para pembully seperti karakter Seon A di episode ke 2. Pun ada pula yang mencelakai orang lain seperti psikopat di episode pertama.
Di dukung dengan pemilihan tone yang dingin, pace yang konsisten, dan atmosfer yang mencekam, kita diajak menyelami berbagai konflik berbeda dan kreatif di setiap episodenya.
Memang temanya "itu-itu" saja. Tentang bullying lagi, perselingkuhan lagi, cinta ditolak—nyawa melayang, lagi.
Namun eksekusi di lima episode awal terasa tepat sasaran. Departemen akting dan musiknya solid. Pemilihan angle dan adegannya memancing simpati. Setiap twist di ujung episode pun mengejutkan dan membuat saya selalu penasaran dengan laju ceritanya.
Sayangnya memasuki episode keenam, sensasi yang telah saya rasakan sebelumnya malah hilang, terganti ekspresi bingung, “Hah? Apa nih?”
Alur yang tadinya berfokus pada genre thriller tahu-tahu berubah sepenuhnya jadi fantasi dadakan kayak tahu bulat tanpa penjelasan yang pasti.
Hyun Heup dan Han Ji Uk mendadak terlempar ke semesta lain, bertemu entitas misterius, lantas Boom! Semua manusia bisa melihat S Line.
Sejujurnya saya tidak masalah apabila alurnya memang mau “dibawa kesana.” Asalkan narasi fantasinya diceritakan pelan-pelan tanpa menganggu intensitas emosi yang ada.