"Bagai petir di siang bolong."
Alurnya menggores tinta di lembaran baru yang kosong.
Larik-larik indah menguar di halamannya untuk berbohong.
Keserakahan pun menjadi titik untuk menyombong.
Beberapa cerita bernada tabu.
Luka menjadi alasan untuk hati yang membatu.
Si tokoh utama biasanya akan berkawan pilu.
Hujan badai harus berlabuh, barulah ia pantas mendapat madu.
Ngomong-ngomong, si tokoh utama ada di ruangan itu.
Ia sedang memandang ke luar jendela.
Bisik-bisik debu bilang hidupnya neraka.
Pelupuk matanya memandang hampa.
Cahaya redup di sana, padahal mentari menyengat ganas membakar dunia.
Sementara itu, seorang teman menyambutku.
Ia tersenyum dengan mata indah yang sayu.
Ini bukan kisahnya tetapi ia diam menunggu.
Kupandangi jendela, si tokoh utama masih membisu.
Si teman bilang, "Maaf. Aku melibatkanmu."
"Hilang sudah akalku, jadi aku menghubungimu."
Kecut senyumku, "Aku tahu."
Lalu wajah cantikmu menjadi getir sendu.
Oh Tuhan... Senyum itu mengalihkan duniaku.
Si tokoh utama sebenarnya hanyalah dalih.
Aku bukan si Ganda yang tidak bisa memilih.
Bab pertama dari kisah ini katanya sedih.
Entahlah. Aku hanya enggan anganku menjadi buih.
Lantas, ku berdiri di hadapannya.
Niat pahlawan di dada menggebu asa.
Si teman khawatir tetapi tak curiga.
Ku tahu. Di hatinya, si tokoh utama lah yang mentahta.
Ini hanyalah kisah di suatu hari.
Ingatan-ingatan tercipta hingga jingga menanti.
Aku adalah sampingan tuk kisah si tokoh utama ini.
Sekarang... Ya ampun! Ia melihatku seperti alergi.
Tatapannya bagai menganggapku benalu.
Si tokoh utama seolah sedang menantangku.
Awalnya, si teman adalah tujuanku.
Sekarang, aku akan bermain denganmu.
Jiwaku yang serakah tersenyum kecut,
"Hai kawan... Kau mengingatku?"
[Saning bakar, Solok, 2 Juni 2021]