Mohon tunggu...
Savitri Cahya
Savitri Cahya Mohon Tunggu... belum bekerja

hobby sy suka nyanyi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Gangguan dalam perkembangan sosial emosional

19 Januari 2025   06:23 Diperbarui: 19 Januari 2025   06:23 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Gangguan dalam perkembangan sosial pada anak dapat berupaperilaku yang mengganggu lingkungan sosial, atau kesulitan beradaptasi dengan teman sebaya. Gangguan ini dapat berdampak negatif pada kepercayaan diri anak.
Beberapa contoh gangguan perkembangan sosial pada anak:
Ketergantungan
Penyesuaian diri yang berlebihan
Prasangka
Perilaku menyendiri
Ketakutan yang berlebihan, seperti takut berpisah atau takut dengan pendatang baru
Sulit untuk fokus saat belajar
Sulit menjalin hubungan baik dengan teman sebaya
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan sosial anak, antara lain:
Faktor biologis, seperti temperamen dan pengaruh genetik
Faktor lingkungan, seperti ekonomi, sosial, budaya, dan tempat tinggal
Faktor hubungan, seperti orang tua, keluarga, teman sebaya, dan orang lain
Untuk mengatasi gangguan perkembangan sosial pada anak, Anda bisa: Mencari akar penyebabnya, Membantu anak mengatasi kecemasannya, Membuat anak merasa aman, Mengalihkan anak dengan kegiatan lain, Melakukan hal yang membuat anak tenang.

B. Tinjauan Umum Perkembangan Sosial dan Emosional Anak Usia Dini
1. Konsep Anak Usia Dini
Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, anak usia dini dilihat dari rentang usia ialah anak
sejak lahir sampai usia enam tahun (PPRI, 2021)
Yamin et al dalam (Age and Hamzanwadi, 2020) mengatakan usia
dini ialah masa terjadinya perubahan atau pematangan fisik dan psikis
yang siap merespon stimulasi oleh lingkungan. Masa ini ialah masa untuk
meletakkan dasar pertama dalam mengembangkan kemampuan sosial
emosional, fisik, kognitif, bahasa, konsep diri, kemandirian, seni,
kedisiplinan, moral, dan norma (Age and Hamzanwadi, 2020).
Biechler dan Snowman dalam (Age and Hamzanwadi, 2020)
menjelaskan anak usia dini adalah anak yang mengikuti program
prasekolah, program tempat penitipan anak (3 bulan-5 tahun), kelompok
bermain (usia 3 tahun) dan Taman Kanak-Kanak (4-6 tahun). Anak usia
dini yaitu anak yang dalam tahapan perkembangan sering disebut dengan
23
usia problematis, menyulitkan dan usia bertanya (Age and Hamzanwadi,
2020).
Menurut Mansur (2009) dalam (Age and Hamzanwadi, 2020) anak
usia dini berdasarkan keunikan dan perkembangannya dikelompokkan
dalam tahapan: masa bayi lahir sampai 12 bulan, masa batita atau toddler 1
sampai 3 tahun, masa prasekolah usia 3-6 tahun, dan masa kelas awal usia
6 sampai 8 tahun (Age and Hamzanwadi, 2020),
Menurut Bronson dalam (Suryana, 2014) terdapat enam tahap
perkembangan anak usia dini, diantaranya young infants (lahir hingga usia
6 bulan); older infants (7 hingga 12 bulan); young toddlers (usia satu
tahun); older toddlers (usia 2 tahun); prasekolah dan kindergarten (usia 3
hingga 5 tahun); serta anak sekolah dasar kelas rendah atau primary school
(usia 6 hingga 8 tahun) (Suryana, 2014).
Dari pendapat para ahli diatas dapat penulis simpulkan bahwa pada
anak usia dini terdapat berbagai istilah fase perkembangan yang ditinjau
dari usia anak. Salah satu tahap ialah masa prasekolah yakni jenjang usia
anak yang mengikuti program prasekolah.
Wong et.al, (2009) dalam (Sumiyati et al., 2016) menyatakan fase
dalam pertumbuhan dan perkembangan manusia adalah masa prasekolah
yaitu anak usia 3-5 tahun. Anak-anak usia prasekolah memiliki beberapa
ciri serta tugas perkembangan yang meliputi keterampilan motorik kasar,
motorik halus, bahasa dan sosial. Anak usia prasekolah memiliki ciri ingin
bermain, melakukan latihan berkelompok, melakukan penjelajahan,
bertanya, menirukan dan menciptakan sesuatu (Sumiyati et al., 2016)
Teori psikososial Erikson mengungkapkan anak usia prasekolah
berada pada tahap akhir autonomy vs shame/doubt atau kemandirian vs
24
malu/ragu yaitu pada usia satu hingga tiga tahun dan tahap initiative vs
guilt atau inisiatif vs rasa bersalah yaitu pada usia tiga hingga lima tahun.
Pada tahap autonomy vs shame/doubt anak mulai belajar mengendalikan
diri namun menerima kontrol orang lain, sedangkan pada tahap initiative
vs guilt anak mulai memiliki sense of purpose atau keinginan untuk
melakukan suatu tindakan (Rahmawati and Latifah, 2020).
Masa prasekolah merupakan masa keemasan (golden age) ketika
stimulasi seluruh aspek perkembangan berperan penting untuk tugas
perkembangan selanjutnya. Pada masa ini sekitar 80 % perkembangan
kognitif anak telah tercapai. (Septiani, Widyaningsih and Igohm, 2016).
Pada masa prasekolah anak harus diberi banyak kesempatan untuk
melakukan suatu kegiatan atau tindakan secara mandiri, sedangkan orang
tua berperan dalam membantu anak mengembangkan kepercayaan diri dan
emosi yang positif. Orang tua juga dapat mengembangkan emosi yang
positif melalui interaksi orang tua-anak, terutama ibu sebagai primary
cargiver atau pengasuh utama anak. Ibu yang lebih sering berinteraksi dan
membangun kedekatan yang baik akan membangun emosi yang positif
karena merasa ibunya adalah orang yang diandalkannya dan merasa aman
dengan dirinya. Sebaliknya, jika anak kurang memiliki interaksi yang baik
dan orang tua cenderung memberikan emosi negatif maka anak pun akan
mengembangkan emosi yang negatif (Rahmawati and Latifah, 2020).
Implikasi perkembangan kemampuan berinisiatif pada anak tahap
prasekolah adalah sebagai berikut :
a. Pada fase perkembangan anak usia prasekolah, orang tua dianggap
tokoh yang paling benar dan sempurna, jadi kedua orang tua harus
bekerjasama dan konsisten menerapkan aturan.
25
b. Bila anak banyak diberi kesempatan untuk menguji kemampuannya,
maka timbul rasa inisiatif anak. Sebaliknya bila semua yang dikerjakan
oleh anak membuat lingkungan marah dan diperlakukan kasar karena
dianggap menganggu atau merugikan maka yang timbul adalah rasa
bersalah pada anak.
c. Gangguan pada fase ini dapat menimbulkan problem tingkah laku
antara lain :
1) Kesulitan belajar, masalah sekolah, masalah pergaulan dengan teman
sebaya, anak pasif dan takut serta kurang kemauan.
2) Saat dewasa dapat mengalami berbagai gangguan cemas, dan
psikosomatik .
Penelitian ini berfokus pada anak usia dini di tahap prasekolah
yang mengikuti program Taman Kanak-Kanak dalam rentang usia 4-5
tahun. Tahap prasekolah termasuk masa keemasan yang sangat berperan
dalam membentuk tonggak kepribadian anak, sehingga bila terjadi konflik
yang menimbulkan traumatik tentu dapat berdampak bagi masalah
kepribadian dan gangguan jiwa saat anak dewasa.
2. Karakteristik Perkembangan Sosial Emosional Usia Dini Tahap
Prasekolah
Hurlock dalam (Musyarofah, 2018) menjelaskan bahwa perilaku
sosial pada anak usia dini meliputi:
a. Meniru, anak meniru sikap dan perilaku orang yang ia kagumi.
b. Persaingan, keingingan untuk mengungguli dan mengalahkan orang lain
sudah terlihat ketika anak berusia 4 tahun.
c. Kerjasama, anak pada usia 3 tahun akhir sudah mulai bermain
bersama/kooperatif dengan teman sebaya.
26
d. Berbagi, anak mengetahui bahwa salah satu cara untuk memperoleh
persetujuan sosial adalah dengan membagi apa yang ia miliki dengan
anak lain. Anak akan rela berbagi mainan, makanan dan sebagainya
untuk mempererat pertemanan.
e. Simpati, simpati membutuhkan pengertian tentang perasaan-perasaan
dan emosi orang lain. Dunia anak adalah bermain, semakin banyak
kontak bermain semakin cepat simpati akan berkembang.
f. Empati, mampu menempatkan dirinya pada perasaan atau kondisi yang
dihadapi orang lain.
g. Dukungan sosial, berakhirnya masa kanak-kanak dukungan dari temanteman menjadi lebih penting daripada persetujuan orang dewasa.
h. Perilaku akrab, bentuk perilaku akrab diperlihatkan anak dengan canda
gurau, tawa riang, memeluk, merangkul, gendong dan sebagainya
(Musyarofah, 2018).
Adapun bentuk perkembangan emosi anak usia prasekolah sesuai
dengan kelompok umur :
a. Perkembangan Emosi Anak Usia Prasekolah (usia 3-4 tahun)
1)Anak mampu menggunakan kata-kata untuk menggambarkan
perasaan dasar seperti sedih, bahagia, marah dan bersemangat.
2) Anak merasa murah hati dan menunjukkan bahwa dia memahami
bahwa dalam hidup kita harus saling berbagi dengan orang lain
tetapi jangan berharap dia berbagi sepanjang waktu.
3) Anak mampu merasa menyesal dan mengerti dia harus meminta
maaf ketika dia telah melakukan kesalahan - meskipun dengan
memberikan banyak pengingat (Mansur, 2019).
27
b. Perkembangan Emosi Anak Usia Prasekolah (4-5 tahun)
1) Anak mampu menggunakan kata-kata untuk menggambarkan
perasaan yang lebih kompleks seperti frustrasi atau kegagalan,
jengkel dan malu.
2) Anak mampu lebih baik dalam mengelola emosi yang kuat seperti
kemarahan, frustrasi dan kekecewaan, dan memiliki lebih sedikit
amarah
3) Anak mampu menyembunyikan kebenaran tentang sesuatu, jika dia
merasa bersalah, malu atau takut (Mansur, 2019).
c. Perkembangan Emosi Anak Usia Prasekolah (5 tahun )
1) Anak mampu menggunakan kata-kata untuk menggambarkan
perasaan yang kompleks seperti rasa bersalah dan kecemburuan.
2) Anak akan berusaha sungguh-sungguh untuk mengikuti aturan agar
terhindar dari masalah
3) Anak menjadi lebih sadar akan perasaannya terhadap orang lain dan
menindaklanjutinya, misalnya anak Anda mungkin baik kepada
teman dan keluarga dan ingin lebih membantu Anda (Mansur, 2019).
Penelitian Gormley dalam (Nurhaeni dan Windiastri, 2019)
mendapatkan hasil bahwa masalah sosial emosional yang sering muncul
pada anak usia prasekolah yaitu sikap apatis, mencari perhatian, agresif,
malu, dan sikap nakal (Windiastri and Nurhaeni, 2020).
Setiap anak memiliki kecepatan yang berbeda-beda dalam masa
perkembangannya, termasuk dalam perkembangan sosial emosional. Jika
Anak tidak berkembang sesuai dengan masa perkembangan normal seperti
anak-anak lain, maka anak bisa dikatakan mengalami keterlambatan
ataupun gangguan perkembangan.

Tanda dan gejala gangguan perilaku pada anak
Anak yang mengalami gangguan perilaku disebut juga sebagai anak tunalaras.

Ketika memiliki gangguan ini, anak mengalami keadaan emosional yang tidak stabil. Saat berinteraksi dan berada di lingkungan sosial, perilakunya akan sangat mengganggu.

Ada beberapa ciri yang menggambarkan anak yang mengalami gangguan perilaku, antara lain sebagai berikut.

1. Tidak mampu belajar
Tidak mampu belajar atau slow learner mungkin akan dialami oleh anak dengan gangguan perilaku. Hal ini bukan disebabkan oleh faktor kesehatan seperti cacat indera atau kelainan fisik lainnya.

Pada dasarnya, anak dengan kondisi ini memiliki kondisi fisik yang baik-baik saja, tetapi yang menghambat adalah keadaan psikologisnya.

2. Tidak bisa menjalin pertemanan
Anak dengan gangguan perilaku cenderung tidak bisa menjalin hubungan atau pertemanan dengan teman sebaya, bahkan orangtua dan gurunya di sekolah.

Perilakunya yang labil, emosional, dan berubah-ubah membuat anak menjadi individualis karena lingkungannya tidak bisa menerima keadaan tersebut.

3. Terobsesi terhadap sesuatu
Jika memiliki kesenangan, ia cenderung terobsesi sehingga tampak tidak wajar. Sebagai contoh, jika si Kecil menyukai boneka beruang, ia akan membawa boneka tersebut ke mana.

Ia menolak untuk melepaskan boneka tersebut, bahkan sampak menjadi kusam dan kotor karena Anda kesulitan untuk mencucinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun