Mohon tunggu...
Saujana Jauhari
Saujana Jauhari Mohon Tunggu... -

Kekosongan itu adalah sesuatu yang seharusnya diisi, bukan diabaikan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Jangan Panggil Aku Janda (Duka Sekuntum "Bunga Krisan") Bagian II

29 Juli 2012   08:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:29 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Di malam itu, Mardini memanggil Karima. Ia menyampaikan perihal lamaran dari Tuan Jurin Somal kepada Karima. “Bagaimanakah pendapatmu hai anakku, seandainya ada yang datang melamarmu, apakah kamu sudah siap untuk berumah tangga….??, begitulah ibu Mardini memulai pembicaraannya. "Wahai ibu, Siapakah gerangan dia, apakah dia kumbang raja, ataukah dia kumbang tentara…??.,  Tetapi ananda menurut apa kata ibunda, yang ananda inginkan hanyalah kebahagiaan ibunda, jika memang pilihan ibunda itu baik, ananda akan menerimanya.,…!!, Karima berkata demikian seolah-olah dia sudah menyetujuinya. “Wahai ananda, dia yang datang pada ibunda pagi tadi adalah majikan kita. Ia datang bersama anaknya dan juga ibunya kesini membawakan buah-buahan dan oleh-oleh yang banyak dari kota. Ia sangat berharap agar kita menerima lamaran mereka, karena jika tidak, mereka akan mengusir ibu keluar dari perkebunan mereka dan ibu tidak akan punya pekerjaan lagi”. Ibunya berkata seakan memelas. “Baiklah kalau begitu ibu, ananda akan pikirkan hal itu selama seminggu, hendaknya ibu jangan khawatir, karena kita masih punya Tuhan yang akan selalu membimbing dan menerangi jalan seandainya kita berserah diri pada-Nya", jawab Karima seakan-akan ia telah dipengaruhi oleh orang bijak.

Dalam hati Karima sebenarnya ia menolak lamaran itu. Tapi ia tidak ingin juga mengecewakan ibunya. Karima meminta waktu seminggu untuk berpikir. Karima berpikir, dengan dia ada di keluarga mereka maka derajat keluarga mereka akan terangkat. Tidak ada lagi yang mau memanggilnya dengan sebutan anak janda karena orang-orang kampung akan segan kepadanya. Lagipula mereka adalah keluarga berada, sehingga ibunya tidaklah perlu lagi memikirkan akan kesejahteraannya. Tetapi hatinya masih saja bimbang memikirkannya.

Karima tahu anak majikan ibunya itu. Ia lebih tua sepuluh tahun darinya dan sama seperti Karima ia tidak pernah pergi ke luar kampung itu selama hidupnya. Ia adalah anak yang bodoh dan malas. Ia tidak bisa memimpin dan ternyata kerjanya hanya bisa menghabiskan harta orang tuanya saja. Tetapi Karima berpikir, mungkin setelah menikah ia akan bisa merubah watak suaminya itu dan dia merasa ketika diberi amanat barulah sifatnya yang dahulu kekanak-kanakan itu akan bisa lebih bertanggungjawab untuk melindungi dan menjaga keluarga.

Sedangkan Tuan Somal adalah seorang pekerja keras. Ditambah pula dengan kebun peninggalan orang tuanya yang luas, maka menjadilah ia juragan di kampung itu. Tidak ada yang tidak tahu siapa itu Jurin Somal. Hampir semua penduduk kampung mengenalnya dan hampir semua penduduk kampung itu bekerja padanya. Tuan Somal sibuk mengurusi perkebunan karet miliknya dan sekali-sekali pergi ke kota untuk menjual hasil kebunnya itu kepada agen disana. Tuan Somal punya gudang dan kantor yang besar di kota sana. Ia mempekerjakan beberapa karyawan. Kadang-kadang Tuan Somal pergi berhari-hari ke kota dan sesekali pulang. Itupun hanya sebentar, hanya untuk menengok rumahnya saja. Sesekali ia memberikan apa yang diminta oleh anaknya dan sesekali pula ia menumpahkan kasih sayangnya kepada anaknya satu-satunya itu. Perlakuan tuan Somal kepada anaknya itu yang menjadikan anaknya menjadi anak yang manja, tidak berpikir dewasa dan cenderung merajuk jika keinginannya tidak dipenuhi.

***

Akhirnya Karima pun menerima lamaran itu. Ia lebih mementingkan nasib ibunya daripada dirinya sendiri. Ibunya akan bahagia melihatnya jika ia telah menjadi istri dari anak majikannya itu.

Di hari yang telah ditentukan dan ditetapkan, yaitu pada Bulan November yang ketika itu hujan mulai rintik menuruni negeri, dilangsungkanlah pernikahan mereka. Acara itu dilangsungkan di Bukit Hitam Merah . Semua penduduk kampung diundang dan semua kerabat dan kenalan Tuan Somal yang datang dari kota menghadiri acara pernikahan tersebut. Pernikahan itu sedemikian besarnya sehingga sepanjang jalan menuju kampung itu terdengarlah suara riuh rendah membicarakan tentang pernikahan tersebut. Pernikahan yang berlangsung antara Anak Sang Majikan dengan Anak Seorang Janda, seperti sebuah pernikahan Pangeran dengan Cinderella, tetapi Cinderella merasa bahwa Pangeran di sampingnya itu bukanlah pangeran yang tepat.

Ibu Mardani, tersenyum melihat anaknya bersanding di pelaminan, begitu pula dengan Kalija, ia sudah merasa ada yang akan melindungi adiknya dan ia merasa nyaman karena suami adiknya adalah anak seorang Juragan Karet.

***

Bertahun-tahun dilalui oleh Karima dan suaminya dengan keadaan yang tenang, damai dan tentram. Tidak ada lagi yang menyebutnya dengan anak janda, tetapi sekarang sebutan itu berubah menjadi Istri Anak Juragan. Suatu sebutan yang baginya itu adalah penghormatan baginya. Perlahan-lahan pula ia bisa merubah watak suaminya. Perlahan-lahan pula ia mengajari suaminya itu tentang arti tanggung jawab. Perlahan-lahan pula suaminya bertambah hari bertambah baik kelakuannya. Karima tahu bahwa seseorang seperti dia hanyalah membutuhkan kasih sayang, yaitu sesuatu yang tidak ia dapatkan ketika kecil. Ia tidaklah butuh mainan yang bisa berbicara, ia tidak butuh rumah mewah yang baginya adalah seperti penjara, dan ia tidak butuh pula segenap harta yang baginya hanyalah membuat ia terpisah jauh dari orang tuanya. Hingga lahirlah anak mereka yang pertama, seorang laki-laki yang tampan yang diberi nama Kaukas yang diambil dari nama Pegunungan Kaukasus, karena ia melihat anaknya itu seperti orang-orang Eropa pada umumnya

***

Tetapi kebahagiaan itu tidaklah bertahan lama, ketika anak mereka berumur tiga tahun, terjadilah bencana. Tuan Jurin Somal, Sang Pemilik Juragan Karet tertimpa musibah. Truk yang membawa berbal-bal karet dan Tuan Somalpun ada di dalamnya bertabrakan dengan mobil pick up yang membawa aneka peralatan rumah tangga dari kota ketika Truk itu akan menuruni bukit Patah Arang. Berbal-bal karet dari truk itu berhamburan dan begitu pula dengan mobil pick-up dari kota itu. Mobil truk terbalik menuruni jurang dan tidak ada yang selamat dari kejadian itu. Sementara mobil pick-up remuk di bagian sampingnya. Berita itu cepat menyebar ke seantero kampung dan kota itu. Karima dan tentu saja Resin Somal tidak percaya akan berita itu dan rasanya belum sanggup untuk menerima duka itu.

Sejak kejadian itulah, sifat Resin Somal yang dahulu kembali lagi. Ia tidak mengacuhkan istrinya lagi. Ia sering merenung sendiri dan sering marah-marah tak jelas kepada istrinya itu. Ditambah lagi dengan beban dan tanggung jawab yang besar untuk mengelola kebun karet dan gudang milik orang tuanya di kota, maka bertambah pusinglah ia. Apalagi ia belum diajari tentang cara-cara manajemen perusahaan dan sebenarnya otaknyapun terlalu dangkal untuk memikirkan hal-hal yang sulit dicernanya itu. Yang ia tahu hanyalah deretan mobil-mobil truk yang terparkir di depan rumahnya, seolah itu mengingatkan lagi akan kepergian bapaknya.

Resin Somal yang tidak pernah pergi ke kota, mau tidak mau harus sering-sering pergi ke kota untuk bernegosiasi ataupun melihat perkembangan pasar pada umumnya. Di kotalah ia menemukan hal-hal baru yang tidak ditemuinya dulu, ia tertegun akan keindahan kota, seolah-olah ia menemukan permainan barunya.

Maka sejak dari situlah ia mulai jarang pulang ke rumah, semangatnya kemudian timbul, ia bahagia melihat banyaknya penduduk disana dan aneka kesenangan dunia yang membuat mata seakan tak pernah berhenti untuk berkedip. Ia telah teracuni dunia, ia telah bergelimangan keindahan dunia. Ia seakan-akan lupa akan penderitaannya dahulu dan sekarang ia menjelma menjadi manusia lain yang berbeda dari sebelumnya. Ia seakan-akan berubah menjadi binatang buas yang siap untuk menerkam siapa saja yang menurutnya itu tidak sesuai dengan keinginan hatinya, tak terkecuali pula istrinya sering terkena dampratannya. Sekali pulang ia sering marah-marah tak jelas dan tercium bau alkohol di mulutnya. Karima hanya terdiam membisu dan seakan menahan tangisannya. Ia masih percaya pada suaminya, hanya karena hawa kota “Barbirbur” lah yang menjadikan ia lupa akan dirinya.

Karima berencana ikut suaminya ke kota agar bisa meredam emosi dan sifat keegoisannya. Dalam keadaan yang sadar, suaminya itu sesungguhnya adalah baik. Resin Somal kemudian mengikuti permintaan istrinya supaya membawanya ke kota dan tinggalah mereka di sebuah tempat milik peninggalan orang tua Resin Somal dahulu yang tempat itu adalah semacam rumah sementara tetapi cukup segala fasilitas didalamnya.

Kepergian Karima ke kota ditangisi ibunya. Ibunya tidak sanggup berpisah dengan anaknya. Ia tidak ingin kehilangan anaknya dan cucunya sama seperti ia kehilangan suaminya. Sementara kakaknya tidak pula menginginkan demikian. Hanya karena ia sudah bersuami dan di kota pun mereka punya tempat tinggal sendiri maka hati kakaknya agak sedikit tidak terbebani. “Sesekali kami akan menengok kamu di kota, itu kata Kalija kepada Karima dan suaminya”.

**

Setibanya di Kota Barbirbur, penderitaan Karima bukannya bertambah ringan, malah semakin bertambah berat. Ia malah sering ditampar bahkan seringkali ditinggal pergi semalam tak kembali. Uang belanjapun semakin tipis, sedangkan suaminya tidaklah mau tahu keadaan istrinya. Dan keadaan itu menjadi semakin memprihatinkan kala mereka sudah tinggal selama tiga bulan sepuluh hari di kota, yang waktu itu ada niat dalam hati Karima untuk meminta cerai kepada suaminya, ia ingin kembali bersama ibunya. Tetapi itu adalah pilihan dilematis pula, karena  "janda" itu adalah semacam kutukan baginya. Karena jika ia meminta cerai berarti ia akan berstatus menjadi janda, yaitu kata-kata yang dari dahulu ia membencinya, kata-kata yang disematkan kepada ibunya selama hidupnya dan kata-kata itu pulalah yang nanti akan dijabat pula olehnya, suatu status yang tidak ada seorangpun wanitapun yang mau menyandangnya, jika itu tidak terpaksa. Bunga krisan di rumah ibunya seakan-akan layu jika mendengar cerita akan perceraian dan kepulangannya kembali ke rumah orang tuanya.

Seperti biasa, seperti malam-malam lainnya, Resin tidak kembali pulang ke rumah. Ia meninggalkan istri dan anaknya di rumah berdua hanya ditemani lampu di atap yang menyala. Malam itu Karima menangis memikirkan nasibnya, ia memikirkan nasib ibunya, serta masa depan anaknya yang masih kecil. Mendengar kenyataan itu ia hampir putus asa. Tetapi kemudian ia teringat pada ucapannya dulu, bahwa ia masih punya Tuhan, dan kepada Tuhanlah ia mengadu segala kesukaran dan kesusahan hidupnya. Ia percaya Tuhan tidak akan menimpakan cobaan yang hambanya itu tidak sanggup menanggungnya. Ketika sedang menangis munajat memohon do’a kepada Tuhan itulah terdengar ketukan pintu dari luar.

Tok….tok….tok…., !!

Tok….tok…tok…!!

Hatinya sedikit gembira. Mungkin yang ia pikir itu adalah suaminya yang datang karena sudah tobat dan Tuhanpun mengabulkan permintaannya agar suaminya kembali ke jalan yang benar. Atau itu mungkin adalah Kalija, kakaknya yang akan membela dan melindungi dia lagi sama seperti waktu ia kecil dahulu. Ia akan mengadukan segala kesukaran pada kakaknya dan semoga kakaknya mengerti sehingga berkuranglah sedikit beban di hati.

Pintupun dibuka dan ternyata yang datang adalah…………………………………….

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun