Mohon tunggu...
Saufi Hamzah
Saufi Hamzah Mohon Tunggu... Relawan - Mahasiswa akhir yang mengisi waktu luangnya dengan menjelajahi dunia baru, dan sesekali membual sana-sini

* Perindu Nabi * Pecinta Kyai * Pengagum Sufi * Sebulir bibit yang sedang bermetamorfosis menjadi pohon yang baik, mengayomi, dan memberikan manfaat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tren Pop Culture dan Wajah Baru Kekerasan Dunia Pendidikan Indonesia

19 Maret 2020   16:16 Diperbarui: 22 Maret 2020   13:00 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
deviantart.com/ludilozezanje

Pertama, penggunaan bahasa. Bahasa adalah sub-budaya dan media adalah instrumen untuk mendiseminasi yang dijadikan senjata oleh kelas elit untuk memanifestasikan status quo-nya dan mensosialisasikan kepada golongan kelas bawah.

Lalu kedua, gambar dan video. Konten video di pembahasan pertama perihal maksud seorang anak didik (kadang juga dengan teman-temannya) yang menunjukkan kemewahan dan kemegahan fasilitas dan sarana prasana sekolah atau universitasnya. 

Sementara di konten video kedua mengenai seorang laki-laki yang menceritakan "alasan" kenapa perempuan tidak ada yang mau dengan dirinya, dengan memperlihatkan koleksi motor dan mobil di garasi rumah, koleksi pakaiannya yang branded, mengakui dirinya berparas "jelek", hobinya yang tidak seperti kebanyakan orang (baca: gym), arsitektur dan perabotan rumah mewahnya, dan sebagainya. 

Begitu juga sebaliknya. Sekali lagi bahasa dan media adalah alat sakti untuk mensosialisasikan privilese dan status sosialnya kepada kelas bawah. Inilah gaya hidupku, inilah kelas sosialku, dan inilah habitusku! Apakah kamu bisa sepertiku?

Dari dua fenomena pop culture tersebut memungkinkan menimbulkan rasa minder, heran, takjub, dan iri dari pengguna media sosial lainnya bukan saja dari golongan bawah tetapi juga kelas strata ekonomi menengah keatas. 

Lebih jauh lagi akan mengarah pada proses stimulus yang berakibat pada respon negatif disamping "pengondisian" persepsi dan perilaku tertentu yang mengarah pada budaya kelas elit, bahwa untuk mendapatkan pendidikan yang baik adalah sekolah atau universitas bergengsi serta mempunyai sarana prasarana megah, adapun untuk menjalin hubungan dan mendapatkan perhatian dari lawan jenis harus didasari oleh kilauan materi yang mewah.

Sebagai demikian, sejarah mencatat kekerasan simbolik yang dirasakan oleh suku Aborigin di Australia dan suku yang jamak dikenal dengan The First Nation di Kanada yang dipaksa masuk ke sekolah orang putih (kaum elit) dalam rangka pengondisian dan asimilasi budaya, sehingga saat keluar dari sekolah tersebut mereka berpikir, berperilaku, dan bertindak sesuai dengan orang kulit putih. Pergeseran habitus dari gaya hidup, nilai, dan ekspektasi yang sama sekali berbeda. Akhirnya mereka teralienasi dari identitas budaya, nilai, dan bahasanya sendiri karena kalah oleh dominasi kaum elit.

Proses sosialisasi kekerasan simbolik sekaligus "pemaksaan" habitus dari kelas elit kepada kelas bawah secara sadar maupun tidak sadar telah berlangsung.

Namun yang jelas kekerasan simbolik itu dilakukan secara masif di media sosial tanpa banyak yang menyadarinya, karena menggunakan pendekatan eufemisme, suatu pendekatan yang sangat halus dan tidak nampak bahwa kekerasan itu sedang dijalankan. 

Kekerasan simbolik di atas sama-sama menarasikan penggunaan simbol-simbol kepemilikan dan budaya kelas atas (elite), yang secara pasti tidak akan mungkin bisa diaskes oleh kelas bawah.

Apakah kita selama ini merasa terdominasi dan telah dijadikan objek kekerasan simbolik maupun "pemaksaan" habitus? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun