Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Benda Mati Kok Disalahkan?

30 Juni 2017   21:33 Diperbarui: 30 Juni 2017   21:35 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: sglinks.com

Memang kita ini aneh. Sebagai makhluk hidup yang memiliki kesadaran, kita justru lebih sering menyalahkan benda mati. Sistem disalahkan, sesuatu yang tak bergerak dimarahi, dan masih banyak lagi keanehan perilaku kita.

Mungkin lantaran dari kita kecil kita ini sudah diajarkan untuk menyalahkan meja, kursi, dan lain sebagainya. Perhatikan saja ketika seorang balita terbentur meja kemudian menangis, lalu apa yang kita lakukan? Kita justru mengatakan "pukul mejanya!" pada si anak itu. Aneh. Nyatanya, kita memang tidak diajarkan untuk menyalahkan diri sendiri. Kita malah menghukum si meja, menyalahkan si sistem dan teman-temannya yang lain.

Lalu apa yang mesti kita salahkan? Apa manusianya, lantaran dialah yang menciptakan sistem-sistem tadi? Ah, saya rasa tidak. Bukan manusianya dan bukan tubuhnya, melainkan pemikirannya, paradigmanya, atau sikapnya. Itulah yang paling esensial. Apa sih esensi diri kita kalau bukan pola pikir maupun cara berpikir kita? Artinya, berawal dari situlah kemudian kekeliruan-kekeliruan tersebut berantai-rantai sampai pada aspek-aspek lainnya dalam kehidupan kita.

Makanya di sini juga kita bicara soal pengetahuan yang menjadi fundamen atau pijakan cara berpikir kita. Pengetahuan adalah sesuatu yang sangat esensial dimana dengannya kita bisa membedakan mana yang esensi (yang merupakan target kritik) dan mana substansi.

Makanya saya merasa lucu ketika ada perbedaan pandangan, lalu kita menjadi bermusuhan cuma gara-gara hal itu. Sama dengan pandangan terhadap identitas keagamaan. Bukan identitasnya, bukan penganutnya, dan juga bukan agamanya yang mesti disalahkan melainkan pola pikir atau penerimaan seseorang terhadap agama itulah titik kritik kita. Seseorang boleh saja menilai benar-salahnya agama. Tapi, dengan rasio kita, kita bisa menentukan mana agama benar. Itupun kalau mau berdebat sampai gigi jadi kering, siih...

Pada pokoknya, perbedaan pemahaman atau perbedaan pandangan agama itu sama saja. Kita memang mengakui kalau agama itu diturunkan Tuhan. Tapi, apa kita sama sekali tak boleh menganalisis kebenaran agama? Nalar itu universal dan ada pada diri tiap orang. Cuma, memang, soal bagaimana kita menggunakannya, di sinilah letak perbedaan yang paling mendasar itu.

Sekali lagi, kita tak pantas berperilaku selayaknya anak kecil. Manusia dewasa adalah seseorang yang sudah bisa menggunakan rasionya secara baik. Ini yang membedakan kita dengan anak kecil dimana kita memang mesti menanamkan yang baik dan benar padanya. Dia belum bisa menentukan soal nilai-nilai. Walaupun begitu, anak kecil yang belum bisa berpikir pun mestinya jangan diajari untuk memukul meja ketika kepalanya terantuk. Atau, jangan salahkan lantai ketika dia terjatuh dan menangis. Harusnya kita memang lebih bisa untuk menyalahkan dan menghukum diri sendiri. Ini permasalahan fundamental yang tak pernah dipersoalkan. Why? Mungkin karena kita lebih senang menunjuk-nunjuk batang hidung orang lain dan mengira kalau diri kita sendiri sudah beres. Itu lebih gampang, memang.

Kembali lagi, persoalan pokok kita adalah masalah rasio. Cara berpikir yang benarlah yang dapat menentukan baik-buruknya suatu sistem yang kita ciptakan. Kita boleh saja menilai sesuatu itu salah. Suatu meja bisa salah bentuknya, suatu tulisan bisa salah susunan hurufnya, dan lain sebagainya. Tapi mereka tak bisa apa-apa. Mereka benda mati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun