Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ndeso Bagi Semua

1 Agustus 2017   20:21 Diperbarui: 1 Agustus 2017   20:23 841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: www.theindonesianinstitute.com

Ndeso; sebuah term yang entah sejak kapan keluar dari mulut orang Indonesia.

Ya, ndeso ini konotatif sekali bagi kita. Kalau ada yang menyebut kata ndeso pasti persepsi kita akan mengarah pada suatu kesan yang barangkali tak jauh berbeda --atau mungkin sama-- di kepala kita masing-masing.

Tapi, barangkali secara terminologis istilah ndeso tadi memang sudah ekstensif cangkupannya. Artinya, sekarang siapapun bisa dibilang ndeso. Mau itu orang kaya, pemikir, makhluk urban paling modern sekalipun, atau mungkin diri kita masing-masing. Tapi, jujur, saya memang tak tahu apakah sejak awal istilah ini hanya diasosiasikan untuk orang kampung, orang desa saja atau tidak.

Ndeso. Kenapa ndeso? Apakah kata dasarnya memang diambil dari kata desa? Barangkali istilah ndeso ini juga sama dengan makna term kampungan. Dan desa, atau kampung, juga konotatif pada persepsi pikiran kita. Desa itu semacam tempat tinggal yang tidak lebih modern daripada kota. Atau, desa itu semacam wilayah yang tidak lebih "pintar" daripada kota lantaran banyak bernaung kaum intelektual atau mahasiswa-mahasiswa. Walaupun mungkin dalam soal nilai peradaban, kita tak bisa begitu saja mengatakan orang kota lebih beradab daripada orang desa. Apalagi kalau melihat konstelasi psiko-sosial saat ini.

Barangkali pada awalnya istilah ndeso itu lahir ketika seorang dari desa datang ke kota, dan dengan perasaan kagetnya dia kagum terhadap situasi perkotaan yang membuat dia jadi bersikap serba pingin tahu, kepo, menabrak sistem etika manusia-manusia urban sehingga kemudian terkesan tak beradab --dengan catatan: barangkali dia memang seorang yang sangat beradab di desanya, tapi ketika masuk kota, terjadi pergeseran nilai sehingga dia menjadi seolah tidak beradab di mata orang kota. 

Mungkin istilah ndeso ini juga muncul pada saat pemerataan sosial masing sangat jomplang, makanya orang desa tadi begitu heran dengan dunia baru yang dilihatnya. Sekali lagi, itu entah kapan terjadinya dan entah tahun berapa. Makanya, istilah ndeso tadi juga maknanya lebih luas, yaitu soal tingkat peradaban. Dan barangkali, dalam aktualitas saat ini, term ndeso tadi lebih mengarah pada persoalan moral. Jadi, maknanya bergeser ke arah yang lebih spesifik.

Keingintahuan, rasa penasaran, menginginkan ini-itu, pingin mengeksplorasi segala segala hal, atau sikap-sikap menabrak nilai-nilai tadi juga terdapat pada diri kita. Ketika suatu produk teknologi keluaran terbaru muncul di pasaran, manusia urban yang paling modern sekalipun jadi ndeso; jadi pingin beli, pingin nyobain, pingin punya tanpa melakukan pertimbangan terlebih dahulu. Pokoknya kalau sudah kebelet pingin punya, ya pingin punya.

Tapi ketika saya membaca sebuah koran lokal, ada sebuah berita dimana seorang bapak purnawirawan mengatakan kalau anggota DPR itu ndeso karena menjenguk seorang koruptor di tengah-tengah kasus pansus KPK.

Apa yang ndeso dari sikap anggota DPR itu? Kembali lagi, saya pikir makna ndeso ini sudah sangat inheren dengan ihwal moralitas atau adab seseorang. Ini soal bagaimana seseorang menabrak nilai-nilai sehingga menimbulkan kesan jelek atau buruk di mata orang lain. Pokoknya yang jelek itu, sifat buruk itu kemudian kita bilang ndeso.

Desa Tak Lagi ndeso

Maka terminologi ndeso ini pun sudah terlepas dari kesannya yang seringkali diasosiasikan pada desa, kampung, atau orang-orang desa itu sendiri. Bukan, ndeso itu bukan lagi ditujukan hanya pada mereka dan tidak akan merendahkan martabat orang-orang desa itu sendiri ketika kita mengucapkan ndeso. Ndeso ini bisa ditujukan pada siapapun. Ndeso itu sudah tak terkait dengan persoalan temporal dan spasial. Siapa saja bisa mempunyai sifat ndeso, bahkan walaupun orang tersebut tak pernah lahir dan tinggal di suatu desa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun