Mohon tunggu...
Aris P. Zebua
Aris P. Zebua Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seharusnya pendidikan merupakan hadiah bagi semua orang | Blog pribadi: satyaaris.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memaknai Ulang Pendidikan

2 Mei 2020   18:30 Diperbarui: 2 Mei 2020   18:26 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Selamat Hari Pendidikan Nasional.

Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya karena kita sedang dalam masa-masa berjuang menghadapi virus korona yang sedang mewabah di seluruh dunia. Tetapi , itu tidak mengurangi semangat kita untuk tetap peduli terhadap kondisi pendidikan di Indonesia.

Tulisan ini bukanlah yang pertama yang membahas tentang pendidikan di masa COVID-19. Bahkan bisa dikatakan bahwa tulisan ini muncul terlambat. Tentu sudah banyak penulis yang memberikan buah pikiran seputar situasi yang kita hadapi bersama ini terkait dengan pendidikan.

Covid-19 telah mendisrupsi seluruh bidang kehidupan. termasuk bidang pendidikan. Langkah-langkah pencegahan penularan pun telah dan sedang dilaksanakan dengan membuat program belajar dari rumah hingga pembatalan pelaksanaan ujian nasional. Saya tidak akan membahas ini lebih jauh karena sudah banyak dibahas. Yang ingin penulis sampaikan mengenai ini adalah pembatalan ujian nasional akibat wabah korona ini merupakan keputusan yang sangat baik. Ini dapat dijadikan momentum untuk mengubah wajah pendidikan kita.

Tujuan tulisan ini, tidak lain, adalah bagaimana kita memaknai ulang pendidikan. Saya selaku penulis juga akan menambahkan sedikit catatan dari hasil pembicaraan dengan saudara atau sepupu saya tentang situasi yang mereka hadapi di sekolah selama pandemi.

Seperti yang kita saksikan bersama, selama pandemi terjadi, wajah dunia pendidikan jauh berubah. Rutinitas persekolahan menjadi terhenti. Guru dan orang tua terlihat kewalahan menghadapi keadaan yang sama sekali baru ini. Guru dan orang tua dipaksa atau dikondisikan untuk menguasai teknologi demi menunjang proses pembelajaran tetap berjalan.


Bagi beberapa orang, guru dan orang tua, penggunaan teknologi bukanlah hal yang susah. Mulai dari kelengkapan peralatan seperti laptop, smartphone, jaringan internet, kecukupan kuota internet, hingga cara menggunakannya. Untuk konsisi ini, belajar dari rumah sangat membantu. Dengan kata lain, tidak ada kendala berarti. Kendala yang tersisa yaitu ketersediaan waktu orang tua dalam mendampingi anak.

Sementara di sisi lain, masih banyak orang kesulitan melakukan pembelajaran dari rumah. Ini terjadi, terutama, di daerah-daerah pelosok atau terpencil. Saudara sepupu saya bercerita bahwa selama pemberlakuan belajar dari rumah, aktivitas belajar-mengajar terhenti sama sekali. Pemberian tugas kepada siswa tidak efektif karena beberapa kondisi. Dia, saudara sepupu ini, mengajar di sebuah sekolah yang termasuk kategori daerah terpencil.

Beberapa kondisi itu kira-kira seperti ini: buku pelajaran kurang sehingga siswa tidak bisa membawa pulang buku, jarak sekolah dengan rumah para siswa berjauhan (biasanya para siswa menempuhnya dengan berjalan kaki melewati hutan dan medan yang susah berkilo-kilo meter). Guru kesulitan menjangkau atau mengunjungi rumah siswa satu per satu. Pembelajaran daring tidak bisa dilakukan. Semua murid di sana tidak memiliki handphone, bahkan sebagian belum merasakan listrik. Apalagi jaringan internet.

Sebenarnya, masalah di atas bukan hanya terjadi ketika pandemi ini saja. Dalam kondisi normal pun terjadi. Permasalahan yang saudara saya ini alami antara lain masalah akses siswa ke sekolah, fasilitas sekolah jauh dari memadai, kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Hingga kendala bahasa. Sebagian besar siswa di sana belum fasih berbahasa Indonesia. Dia bercerita bahwa ia kesulitan menjelaskan istilah-istilah asing yang terdapat dalam pelajaran.

Itu barangkali hanya gambaran kecil dari berbagai permasalahan yang ditemukan. Sampai sekarang, menurut cerita saudara saya ini, belum ada langkah-langkah strategis dari dinas pendidikan setempat untuk mengatasi masalah itu. Seolah dibiarkan begitu saja.

Namun, terlepas dari masalah-masalah yang ada, penulis ingin kembali ke tujuan awal.

Selama ini pendidikan diidentikkan dengan kegiatan belajar-mengajar di sekolah. Barangkali bila ditanyakan kepada masyarakat apa itu pendidikan, mereka akan langsung membayangkan gedung sekolah, guru, dan murid. Bisa jadi juga masyarakat membayangkan pendidikan itu adalah wajib belajar dari tingkat dasar, menengah, hingga perguruan tinggi.

Padahal pendidikan tidak seperti itu. Pendidikan bukanlah benda padat dengan bentuk tertentu yang bisa dipegang. Inilah yang terjadi saat pemahaman masyarakat ketika membayangkan pendidikan sebagai gedung sekolah. Pendidikan juga bukan sekadar sebuah proses pengolahan produk tertentu di mana ada bahan mentah yang akan diolah, dimasukkan ke dalam mesin, kemudian jadilah suatu produk. Kalau dalam pendidikan seperti ini: murid baru masuk sekolah, diajar, kemudian jadi sarjana. Pendidikan bukan seperti itu.

Pendidikan adalah suatu proses yang melibatkan kerja sama berbagai pihak. Proses tersebut biasanya dikenal sebagai proses mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan kata lain pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia.  Sebuah proses transformasi manusia menjadi manusia seutuhnya yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berbudi pekerti luhur, bermoral, dan memiliki intelektual.

Proses pendidikan melibatkan berbagai pihak. Kita mengenal istilah tripusat pendidikan, yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiga komponen ini, idealnya, saling bersinergi demi terwujudnya tujuan pendidikan nasional. Namun, pada kenyataan kita tidak merasakan sinergi tersebut. Pendidikan sepenuhnya diserahkan kepada sekolah. Sekarang, bagaimana kita harus menyikapi hal tersebut?

Bagi penulis, masa-masa pandemi ini menjadi kesempatan bagi kita semua untuk mengembalikan pendidikan pada makna sebenarnya. Ini semacam retret yang membawa kita memisahkan diri dari rutinitas, kemudian menyediakan waktu untuk merenungkan sejenak seperti apa dan bagaimana pendidikan kita di masa depan. Retret ini berguna bagi semua pihak terutama guru dan orang tua, dan pemerintah selaku penyelenggara pendidikan secara nasional. Ini bukan pekerjaan mudah.

Melalui media, kita bisa saksikan banyak orang tua kewalahan mengajari anak(-anak) di rumah. Pembelajaran yang berlangsung antara anak dan orang tua di rumah terkadang disampaikan dalam nada bercanda atau gambar-gambar lucu.  Ada orang tua yang terus terang merasa kesulitan mengajari anak sendiri, ada pula yang memang tidak memiliki waktu untuk mengajari si buah hati, dan parahnya, ada yang acuh tak acuh pada proses pembelajaran si anak. Sikap yang terakhir ini mudah-mudahan tidak banyak.

Sebenarnya apa yang dilakukan guru saat mengajar di kelas jauh lebih sulit. Bayangkan dalam satu kelas terdapat puluhan siswa yang beragam latar belakang, kecerdasan, minat, dan berbagai permasalahan lain. Sementara di rumah, orang tua hanya mengajari atau membimbing beberapa anak. Ini memberikan kesempatan bagi orang tua untuk memahami betapa beratnya tugas seorang guru. Sekaligus memberi kesadaran kepada orang tua bahwa keluarga merupakan lingkungan pertama bagi anak untuk mendapatkan pendidikan.

Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Mengapa ada orang tua yang kesulitan mengajari anak sendiri? Apakah yang perlu kita lakukan selama 'retret' ini?

Penjelasan yang penulis berikan berikut ini merupakan pandangan pribadi yang selama ini menjadi kegelisahan penulis mengenai pendidikan.

Pertama, selama ini kita salah kaprah dalam memahami tujuan pendidikan. Ingat, tujuannya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Rumusan lengkap dan lebih mendetail terdapat dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Menurut pengamatan sederhana penulis, yang terjadi selama ini, tujuan pendidikan kita adalah bersekolah. Lalu di sekolah, tujuannya adalah lulus ujian dan mendapatkan ijazah. Kita mengenal istilah wajib belajar. Di sinilah kelemahannya. Mungkin awalnya wajib belajar adalah sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat, tetapi lama kelamaan pemahaman masyarakat berubah. Seseorang dikatakan terdidik, jika ia sudah bersekolah dan mendapatkan ijazah atau gelar.   

Padahal bersekolah hanyalah salah satu proses dalam pendidikan. Ini dinamakan pendidikan formal. Seorang manusia dikatakan terdidik tidak hanya ketika ia bersekolah. Di rumah pun, dalam keluarga, jika seseorang mendapatkan pendidikan yang baik, maka bisa dikatakan terdidik. Tidak hanya itu, orang tua pun dapat memberikan atau membagikan pengetahuan anak. Ini disebut sebagai proses mengajar. Memang ada kendala waktu, di situlah orang tua membutuhkan sekolah sebagai perpanjangan tangan untuk mengajar dan mendidik anak.

Kedua, kita menganggap pendidikan sebagai kerja mesin. Ini masih berhubungan dengan poin pertama di atas. Ketika pemahaman kita tentang tujuan pendidikan hanyalah bersekolah, maka yang terjadi adalah seluruh beban pendidikan diserahkan kepada sekolah. Sekolah diharapkan dapat mencetak manusia yang berpengetahuan sekaligus berkarakter unggul. Bagi sebagian pihak, ini jadi kesempatan menjadikan sekolah sebagai lahan bisnis. Lahirlah sekolah-sekolah yang menawarkan kualitas terbaik yang diiringi bayaran mahal pula. Komersialisasi pendidikan pun terjadi.

Industri pendidikan menjadi subur. Bimbingan belajar semakin menjamur. Buku pelajaran di sekolah didesain menjadi kumpulan pengetahuan atau rumus untuk memudahkan pembelajaran. Lihatlah buku-buku pelajaran, contohnya matematika, lebih mirip kumpulan rumus. Di sana tidak ada konteks atau bagaimana menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Di rumpun ilmu sosial pun begitu. Buku pelajaran menjadi kumpulan teori untuk dihafalkan.

Pendidikan formal (sekolah) yang semula sebagai kelanjutan dari pendidikan keluarga, di mana di sana terjadi penguatan nilai-nilai karakter dan pembentukan pola pikir seseorang, berubah menjadi mesin pencetak 'manusia unggul'. Di sisi lain, menjadi lahan bisnis dan menjadi alat politik bagi penguasa.

Ketiga, di masa pandemi ini ketimpangan pendidikan semakin terkuak. Pendidikan yang dimaksud di sini adalah pendidikan formal. Beberapa penyebab ketimpangan, antara lain: 1) pendidikan yang sentralistik. Semua pelaku pendidikan bergantung pada (diatur oleh) pusat. Lebih tepatnya lagi, bergantung pada Jakarta. 2) pembangunan atau pemerataan pendidikan tidak merata karena adanya korupsi, campur tangan politik, dan masalah infrastruktur.

Era disrupsi yang terjadi saat ini semakin memperburuk wajah pendidikan kita. Sekolah yang 'maju' makin maju, biasanya di kota-kota besar; sementara sekolah yang tertinggal makin jauh tertinggal. Percepatan kemajuan teknologi hanya dapat dirasakan di kota-kota besar. Kecepatan perubahan yang terjadi tidak dapat diikuti oleh daerah-daerah tertinggal.

Keempat, jauh lebih dalam lagi, konsep pendidikan kita masih meniru pola dari luar atau negara lain tanpa memperhatikan konteks keiindonesiaan yang beragam. Kita terbentur pula apakah corak pendidikan kita pragmatis atau idealis. Tidak jelas. Di satu sisi ingin mencetak lulusan yang siap kerja (pragmatis), tetapi dalam proses pembelajaran lebih mengutamakan penguasaan teori-teori (bukan  pada penguasaan keterampilan tertentu atau perpaduan antara keduanya).

Metode belajar dengan pendekatan saintifik yang selama ini diterapkan pun tidak berjalan dengan baik. Masih banyak guru mengajar dengan metode lama yaitu ceramah. Mengapa ceramah? Karena ceramah lebih efektif untuk mengejar materi pelajaran yang begitu banyak dan padat. Sementara, metode saintifik membutuhkan banyak waktu. Selain itu, guru sendiri pun tidak terbiasa dengan metode saintifik, belum terlatih untuk melakukan penelitian yang merupakan dasar dari pembelajaran dengan pendekatan saintifik. Inilah masalah kurikulum kita.

Kelima, seperti yang penulis ungkapkan di atas, masa-masa wabah korona ini bisa menjadi momentum perubahan. Lihat saja, guru-guru mulai berlatih menggunakan teknologi digital. Sesuatu yang harus dikuasai di abad ini. Mungkin sebelumnya masih ada guru yang kurang peduli soal ini, tetapi kini mulai paham betapa teknologi digital dalam pembelajaran merupakan sebuah keniscayaan.

Sekarang yang menjadi perhatian kita adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah selaku penyelanggara pendidikan nasional. Apa yang akan dilakukan pemerintah?

Pemerintah dalam hal ini kementerian pendidikan dan kebudayaan telah menyiapkan lima strategi pembelajaran holistik untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, antara lain: transformasi kepemimpinan sekolah, pendidikan dan pelatihan guru, mengajar sesuai kemampuan siswa, standar penilaian global, serta kemitraan daerah dan masyarakat sipil (Kompas, 6/4/2020).

Strategi ini perlu disambut dengan baik, didukung dengan segala upaya dari berbagai pihak. Penulis memandang kelima strategi ini sangat baik. Pengukuran hasil belajar pun  berubah menjadi asesmen kompetensi minimum yang berfungsi mengukur kinerja sekolah berdasarkan literasi dan numerasi siswa. Kita memerlukan ini. Kita harus fokus pada literasi dan numerasi yang merupakan titik lemah pendidikan kita. Penilaian yang dilakukan selama ini dilakukan (seperti ujian nasional) memang sudah saatnya direvisi.

Semoga saja pemerintah menjabarkan kelima stategi di atas secara jelas sehingga dapat diterapkan di masa mendatang. Semoga masa pandemi ini benar-benar menjadi retret yang membawa transformasi pada wajah dunia pendidikan kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun