Mohon tunggu...
Satrio Arismunandar
Satrio Arismunandar Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku, esais, praktisi media, dosen ilmu komunikasi, mantan jurnalis Pelita, Kompas, Media Indonesia, Majalah D&R, Trans TV, Aktual.com. Pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Penulis buku, esais, praktisi media, dosen ilmu komunikasi, mantan jurnalis Pelita, Kompas, Media Indonesia, Majalah D&R, Trans TV, Aktual.com. Pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Krisis Afganistan dari Perspektif Kepentingan Nasional Indonesia

5 September 2021   04:45 Diperbarui: 5 September 2021   05:52 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Kemelut di Afganistan terjadi, di mana kelompok Taliban "berhasil" mengambil alih kekuasaan di Kabul dan membuat Presiden Ashraf Ghani minggat ke luar negeri. Namun, banyak pihak di berbagai negara kawasan, termasuk di Indonesia, masih "mencurigai" kehendak politik Taliban.

Adakah kesungguhan Taliban untuk menciptakan perdamaian dan harmoni di Afganistan, serta kawasan Timur Tengah dan dunia Islam? Serta, bagaimana pandangan tokoh-tokoh kebangsaan di Indonesia dalam melihat krisis politik di Afganistan dari sisi kepentingan nasional Indonesia?

Topik itu ditanggapi beragam dalam webinar, yang diselenggarakan oleh Fokus Wacana UI, bekerjasama dengan BEM Pascasarjana Unusia (Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia) di Jakarta, Sabtu (4/9/2021).

Serial Webinar kali ini menghadirkan nara sumber di antaranya: Dr. Suaib Tahir dari BNPT, Rikard Bagun (Dewan Pengarah BPIP), Dhia Prekasha Yoedha (jurnalis senior, pendiri Aliansi Jurnalis Independen), Dr. Satrio Arismunandar (Pemimpin Redaksi majalah pertahanan Armory Reborn), dan Dr. Hadijoyo Nitimihardjo (tokoh nasionalis Indonesia).

Webinar dibuka dengan pengantar dari Bob Randilawe (co-founder Fokus Wacana UI), Eko Wahyudi (BEM Pascasarjana Unusia), dan sambutan Dekan Fakultas Islam Nusantara Unusia Jakarta, DR. Ahmad Suaedy, M.A.

Tidak Cuma dari Sisi Agama

Dalam pengantarnya, Bob Randilawe menegaskan, memandang krisis Afganistan tidak bisa hanya dari sisi agama, tapi juga dari perspektif kebangsaan dan hak kesejarahan suatu masyarakat untuk mendirikan negara merdeka dan berdaulat. Pembukaan UUD '45 mengamanatkan, Indonesia wajib menjaga perdamaian dunia yang abadi dan sentosa.

Dhia Prekasha Yoedha menambahkan, pembukaan UUD '45 juga menekankan bahwa "kemerdekaan adalah hak segala bangsa" dan segala bentuk penindasan dan penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi.

Yoedha menyitir ucapan Sukarno bahwa kita tidak boleh "komunisto-phobia" dan "islamophobia" karena akan mengunci katup-katup dialog antarnegara berdaulat.

Hadijoyo Nitimihardjo mengingatkan, dunia Islam dan banyak negara berkembang di dunia bisa meraih kemerdekaan dari hasil "Dasasila Bandung" tahun 1955, yang diprakarsai Bung Karno. Hampir 40-an negara berhasil merdeka setelah pertemuan Dasasila Bandung, yang kemudian melahirkan Gerakan Non-Blok.

Pendapat yang sama juga disampaikan Dr. Suaib Tahir dari BNPT, bahwa masalah Afganistan jangan semata dilihat dari masalah agama. Tetapi yang lebih penting adalah permasalahan kebangsaan mereka, di mana secara kebetulan Indonesia dan Afganistan sama-sama berpenduduk mayoritas Islam.

Indonesia punya pengalaman sejarah tentang "perselisihan 7 kata dalam dasar Negara," namun berhasil melahirkan konklusi yang cemerlang dan fenomenal dari para pendiri bangsa. Baik itu dari golongan kebangsaan maupun golongan Islam, dengan beberapa "kompromi luhur."

Terorisme dan Radikalisme Agama

Kebesaran jiwa dan kejujuran, untuk berbakti tanpa pamrih demi kejayaan bangsa dari para pendiri bangsa kita, adalah pelajaran sangat penting. Bangsa lain, semisal Afganistan, bisa belajar dari pengalaman Indonesia. Sudah banyak konflik kawasan Asia yang didamaikan oleh "bantuan diplomatik" Indonesia dan mendapat pengakuan internasional.

Yang menjadi kekhawatiran sebagian orang, Taliban memiliki sejarah pernah "terlibat" dalam aksi terorisme dan radikalisme agama.

Satrio Arismunandar, yang juga Sekjen Persatuan Penulis Indonesia SATUPENA menyatakan, rezim Taliban jangan pernah lagi "memelihara" anasir-anasir yang pro-kekerasan, terorisme, dan penganjur radikalisme agama.

Itu yang harus ditolak, karena bertentangan dengan asas perikemanusiaan dan perikeadilan. Pantang bagi bangsa Indonesia bekerjasama dengan negara manapun, yang mentolerir aksi-aksi terorisme dan radikalisme agama.

Menurut Rikard Bagun, bangsa Indonesia selama masa-masa sebelumnya damai-damai saja dalam kehidupan keagamaan. Rukun secara budaya dan hidup berdampingan secara damai di Indonesia, sampai datang gerakan transnasional yang menganjurkan kekerasan dan radikalisme.

Kemenangan Taliban di Afganistan tentu saja akan berpengaruh terhadap kalangan tertentu di Indonesia, tapi hanya sebagian kecil orang saja. Karena "solidaritas warga dunia yang cinta damai, dan kerjasama saling menguntungkan antarnegara akan menolak, jika Taliban mencoba untuk merusaknya," ujar Rikard.

Aspek Geopolitik

Seorang penanggap, dosen Unusia Amsar Dulmana, melihat aspek geopolitik dari krisis Afganistan. Yakni, sejauh manakah "setting global" negara-negara super power terhadap krisis Afganistan, di mana tiga negara besar --seperti AS, Rusia, dan China-- selama ini telah "campur tangan."

Telah terjadi pergeseran peta kepentingan di antara ketiga negara tersebut. Setting global tersebut perlu juga menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Publik di Indonesia tahu bahwa beberapa "elite politik" Indonesia memiliki kedekatan dengan Taliban.

Semoga Taliban dapat menimba pengalaman sejarah Indonesia, dengan kapasitas modal sosial yang dimiliki Indonesia untuk membangun negara-bangsanya. Bukan sebaliknya, di mana sebagian orang justru "mengambil pengalaman Taliban" untuk diterapkan di Indonesia. Itu yang harus dihindari.

Menurut Rikard Bagun, bangsa Indonesia harus melakukan konsolidasi ke dalam. Dengan kompaknya dua elemen Islam di Indonesia (NU dan Muhammadyah) serta elemen-elemen ebangsaan lainnya, maka sulit bagi kekuatan-kekuatan transnasional dan radikalisme agama untuk menggoyahkan persatuan kita.

Optimisme dan rasa percaya diri sebagai bangsa "pelopor" wajib ditanamkan di Indonesia, terutama di kalangan generasi penerus dan elite politik.

Acara ditutup oleh Dekan Unusia, Ahmad Suaedy dengan harapan diskusi webinar ini memberikan pencerahan kebangsaan, bahwa krisis Afganistan harus dilihat dari kepentingan bangsa Indonesia.

Jangan sampai perhatian Indonesia teralihkan, mengingat bergesernya "titik tengkar baru" antara Rusia, AS, dan China. Bagaimanapun, masalah Laut Natuna Utara (yang merupakan bagian dari Laut China Selatan), yang dekat dengan wilayah kedaulatan Indonesia, jangan sampai luput dari perhatian. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun