Mohon tunggu...
Satrio Arismunandar
Satrio Arismunandar Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku, esais, praktisi media, dosen ilmu komunikasi, mantan jurnalis Pelita, Kompas, Media Indonesia, Majalah D&R, Trans TV, Aktual.com. Pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Penulis buku, esais, praktisi media, dosen ilmu komunikasi, mantan jurnalis Pelita, Kompas, Media Indonesia, Majalah D&R, Trans TV, Aktual.com. Pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pers Perjuangan dan HUT AJI, 7 Agustus 2021

7 Agustus 2021   04:38 Diperbarui: 7 Agustus 2021   04:46 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

AJI berdiri sesudah pembreidelan tiga media --DeTik, Tempo, Editor pada 21 Juni 1994. AJI didirikan sebagai upaya untuk membuat organisasi jurnalis alternatif di luar PWI, karena saat itu PWI dianggap menjadi alat pemerintah Soeharto dan tidak betul-betul memperjuangkan kepentingan para jurnalis.

Meskipun berdiri pada 1994, sebenarnya perintisan dan gagasan berdirinya AJI sudah ada sejak lama. Sekitar 1991, jauh sebelum pembreidelan tiga media, terjadi pertemuan informal belasan jurnalis di Taman Ismail Marzuki (TIM), Menteng, Jakarta Pusat.

Dalam pertemuan itu, didiskusikan berbagai hal yang menyangkut kondisi pers Indonesia. Dalam pertemuan itulah, tercetus ide tentang perlunya membentuk organisasi jurnalis alternatif yang independen di luar PWI. Juga muncul kehendak untuk membikin media sendiri. Sayangnya, pembicaraan itu tidak berlanjut menjadi gerakan konkret.

Selain itu, sebelum berdirinya AJI, di berbagai kota sudah mempunyai komunitas dan kelompok-kelompok diskusi jurnalis. Seperti, SPC atau Surabaya Press Club (Surabaya), FOWI atau Forum Wartawan Independen (Bandung), Forum Diskusi Wartawan Yogya atau FDWY (Yogyakarta), dan SJI (Solidaritas Jurnalis Independen) di Jakarta sendiri.

Alasan Memilih "Aliansi"

Para aktivis jurnalis dari sejumlah komunitas inilah yang lalu turut bergabung membentuk AJI, lewat Deklarasi Sirnagalih. Untuk menghormati dan mengakui keberadaan komunitas-komunitas inilah, maka pada diskusi di Sirnagalih waktu itu sengaja dipilih nama "aliansi" untuk AJI, dan bukan "persatuan" seperti PWI.

Pembreidelan 21 Juni 1994 membantu menciptakan momentum yang dibutuhkan untuk lahirnya sebuah organisasi jurnalis alternatif. Pembreidelan 21 Juni 1994 adalah shock therapy, yang menjadi bendera penggalangan solidaritas para jurnalis muda, untuk mewujudkan mimpi yang sudah lama terpendam, yakni membentuk wadah jurnalis yang independen.

Setelah pembreidelan DeTik, Tempo dan Editor, para jurnalis muda yang didukung elemen mahasiswa, LSM,dan seniman mengadakan kampanye menolak pembreidelan. Karena pertimbangan prosedural, para jurnalis muda menemui pimpinan PWI Pusat yang diketuai Sofjan Lubis dengan Sekjen Parni Hadi.

Mereka menginginkan PWI Pusat memperjuangkan nasib para karyawan dan wartawan korban pembreidelan. Pada pertemuan pertama di Gedung Dewan Pers, Jl. Kebon Sirih, Jakarta Pusat itu, para jurnalis muda menginginkan, supaya PWI bisa mempertemukan langsung dengan Menteri Penerangan Harmoko. PWI menyanggupi.

Sebulan kemudian, para jurnalis termasuk dari tiga media yang dibreidel kembali menemui PWI Pusat untuk menagih janji. Ternyata PWI gagal mempertemukan mereka dengan Harmoko dan gagal memperjuangkan nasib wartawan dan karyawan pers korban pembreidelan.

Para jurnalis muda ini lalu mencetuskan ketidakpercayaannya lagi pada PWI. PWI dianggap sudah tak efektif lagi memperjuangkan nasib wartawan, dan sudah terlalu dikooptasi oleh penguasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun