Dulu, saya pernah baik-baik saja. Menjalani hidup yang sederhana, rutinitas pulang-pergi ke kantor dan menerima semua hal seperti apa adanya. Perjalanan di atas kereta yang penuh sesak, serta nyeri punggung bagian bawahpun saya terima sebagai bagian tak terpisahkan dari hidup sebagai pekerja.Â
Seorang teman perempuan kemudian menghubungi saya tiba-tiba, namanya Zakia.
"Den, aku diterima kerja di jakarta"
"ngapain? emang di bogor gaada kerjaan? nambah-nambah muatan kereta saja!"
Kemudian, hari pertama ia kerja saya layaknya pemandu wisata, mendampinginya berangkat kerja, menuntunnya pulang. Menunjukkan padanya getir, dan banyak hal lain yang semoga mengurungkan niatnya untuk mengadu nasib di kota ini. Namun ia bergeming.
Seketika, rutinitas saya berubah.
kini pulang dan pergi kami bersama. Saya menjemputnya di rumah, rela bangun lebih pagi agar tidak terlambat dan masih sering menunggu pula, karena bersolek memang memakan waktu lama. Saya juga mengantarkannya pulang, karena setelah ba'da maghrib sudah tidak ada lagi angkutan.
saya akui, punya teman perjalanan memang lebih baik daripada merundung dalam sesak di atas kereta sendirian. Padatnya sama, bau tak sedap khas orang baru pulang kerja juga masih terendus. Namun, alih-alih menghabiskan waktu perjalanan dengan memandang ke luar jendela, kini saya memandang sepasang bola mata, yang ternyata indah juga.
Zakia adalah teman masa SMA. Kami tak begitu dekat saat sekolah dulu, namun Akhir-akhir ini kami sering berkomunikasi lewat pesan singkat karena menyukai sebuah film yang sama.Â
"kalau benar-benar ada sihir di dunia ini, pasti itu adalah upaya kita untuk memahami seseorang, berbagi sesuatu bersamanya" Ucap Zakia