Mohon tunggu...
Satrio Anindito
Satrio Anindito Mohon Tunggu... -

Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama featured

“You are What You Eat”: Sebuah Ungkapan dan Harapan

12 April 2010   17:47 Diperbarui: 14 Oktober 2021   06:34 16922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi makan. (sumber: shutterstock via kompas.com)

*Meskipun tulisan ini tidak menang dalam kompetisi artikel Journalist Days 2010, saya berharap tulisan ini dapat menjadi inspirasi untuk rekan-rekan yang telah membaca. Selamat menikmati.

“Kamu adalah apa yang kamu makan” atau You are what you eat merupakan sebuah ungkapan yang cukup populer, terlebih pada saat seseorang ingin memberi nasihat dengan menggunakan sebuah analogi.

Ungkapan you are what you eat pernah dipakai sebagai judul film berdurasi 75 menit yang dibuat oleh AS pada tahun 1968, ungkapan yang sama pernah dijadikan sebagai judul seminar yang dibuat oleh Institut Teknologi Bandung pada tahun 2008.

Adapun tahun 2006, Dr. Gillian McKeith, meluncurkan buku yang berjudul You Are What You Eat: The Plan That Will Change Your Life, yang telah terjual lebih dari 2 juta kopi. Lalu, apa relevansi ungkapan tersebut bagi masyarakat Indonesia?

Kalau melihat pola makan mayoritas masyarakat Indonesia, kuantitas kerapkali dijadikan tolok ukur dalam memilih sebuah makanan, semakin banyak semakin menggiurkan.


Setelah diperhatikan lebih lanjut, terdapat hal unik yang terjadi dalam dinamika konsumsi masyarakat Indonesia.

Masyarakat Indonesia tampak tidak terpengaruh oleh banyaknya program televisi yang memaparkan tentang bahaya pola mengonsumsi makanan ataupun jajanan yang kurang bergizi.

Berbeda dengan situasi yang terjadi di AS pada saat program acara televisi Oprah Winfrey Show yang berlangsung pada tanggal 11 April 1996 di Chicago, Illinois, dengan judul “Dangerous Food”.

Episode ini membahas tentang bahayanya pengkonsumsian daging sapi dan ternyata cukup memengaruhi pola masyarakat AS dalam mengonsumsi daging, sehingga hal tersebut sangat berdampak pada statistik penjualan daging di AS.

Mengapa masyarakat Indonesia cenderung tetap mengonsumsi makanan-makanan yang kurang bergizi bahkan berbahaya bila dikonsumsi dalam jangka waktu yang panjang?

Keunikan pola konsumsi masyarakat Indonesia tersebut seringkali diartikan sebagai gejala kemiskinan yang mengakar.

“Karena tidak ada makanan yang bisa dimakan lagi, maka makan saja makanan yang tersedia”, pendapat yang muncul dalam menanggapi keunikan tersebut.

Tetapi bila disadari lebih lanjut, terdapat suatu unsur lain yang telah membudaya dalam masyarakat Indonesia, sehingga tanpa disadari budaya tersebut berjalan sendirinya mengikuti perkembangan zaman.

Sebagai gambaran, akhir tahun 2009 lalu, saya mengadakan bakti desa di Desa Cikembang, Kecamatan Kertasari, Jawa Barat.

Desa tersebut merupakan salah satu area yang terkena dampak bencana gempa tektonik di Tasikmalaya pada tanggal 2 September 2009.

Setiap kali berkunjung ke desa tersebut, saya melihat makanan seperti pisang goreng, tempe goreng, dan berbagai macam makanan dengan kadar minyak yang cukup tinggi tersebut selalu disajikan.

Makanan tersebut disajikan pada saat sedang bercengkerama, pada saat melepas lelah setelah seharian bekerja di ladang ataupun setelah membereskan puing-puing reruntuhan rumah paska gempa.

Ketika melihat beberapa dapur yang dipakai untuk memasak makanan tersebut, saya melihat minyak goreng yang telah dipakai berulang-ulang kali.

Menurut beberapa penelitian, minyak goreng tidak boleh digunakan berulang kali dalam memasak, karena hal tersebut dapat membahayakan tubuh manusia.

Melihat gambaran di atas, masyarakat Indonesia tampaknya bukan tidak mempedulikan kesehatan mereka, tetapi mereka mempercayai apa yang diberikan oleh orang lain. Itulah yang dihasilkan oleh salah satu kebudayaan kita, yaitu gotong royong.

Budaya gotong royong yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam jumlah besar tersebut mendasari artinya kepercayaan satu sama lain. Dan itulah ciri khas masyarakat Indonesia.

Ketika melihat ungkapan you are what you eat, yang muncul adalah sebuah harapan, yaitu harapan sang pembuat makanan untuk membahagiakan orang lain dan kelak makanan yang dihasilkan dapat berarti bagi perkembangan orang yang mengkonsumsinya.

Tidak ada penghitungan ilmiah pada setiap makanan yang diproduksi, tetapi terdapat harapan yang besar untuk menyatukan masyarakat sehingga dapat membentuk rasa kebersamaan.

Masyarakat Indonesia tidak hanya merasakan sensasi yang dihasilkan oleh nikmatnya sebuah hidangan, tetapi dapat merasakan juga kegembiraan yang ditimbulkan oleh orang-orang di sekitar yang sedang menyantap hidangan dan merasakan kerja keras sang pembuat makanan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun