Tulisan ini mengangkat pentingnya kearifan lokal sebagai landasan etika lingkungan dalam Pendidikan dan Pelatihan orang dewasa di Gerakan Pramuka.Â
Di tengah krisis ekologis global, nilai-nilai leluhur yang telah lama hidup selaras dengan alam justru menjadi sumber inspirasi untuk menanamkan kesadaran ekologis yang membumi dan bermakna.Â
Dengan gaya reflektif dan puitis, tulisan ini mengajak pembaca merenungkan bagaimana pelatihan Pramuka dapat menjembatani pengetahuan modern dengan kearifan lama, melahirkan pelatih yang bukan hanya cakap secara teknis, tapi juga bijak secara moral dalam menjaga bumi.
Prolog
Kadang-kadang, manusia baru sadar bahwa pohon penting setelah batangnya tumbang dan sungai mulai membawa air mata. Kita berjalan terlalu cepat, mengejar kemajuan, hingga lupa caranya menunduk pada tanah yang menumbuhkan. Kita merasa paling tahu tentang lingkungan, padahal alam sudah lebih dulu mencatat etika---di daun yang jatuh, di angin yang berbisik, di tanah yang sabar memeluk jejak.
Di masa lalu, sebelum istilah sustainable ramai dibicarakan, para leluhur sudah lebih dulu melakukannya. Mereka menebang pohon dengan permisi, mengambil hasil bumi secukupnya, dan memuliakan alam seolah ia ibu sendiri. Mereka tak perlu gelar sarjana untuk tahu bahwa hidup harus selaras, cukup, dan hormat.
Kita menyebutnya kearifan lokal. Tapi lebih dari sekadar pengetahuan, ia adalah cara hidup. Nilai yang tumbuh bukan dari teori, tapi dari pengalaman yang diwariskan turun-temurun. Sayangnya, di era yang serba cepat, nilai-nilai ini perlahan ditinggalkan. Padahal mungkin, di situlah jawaban atas kebingungan kita tentang krisis lingkungan, tentang kehilangan arah, tentang lupa caranya pulang.
Gerakan Pramuka, sebagai rumah pendidikan karakter, punya peluang langka: mengembalikan arah. Lewat pelatihan orang dewasa, kita bisa menanamkan etika lingkungan yang bukan hanya global dan rasional, tapi juga lokal dan emosional. Karena bumi tak hanya butuh pemikir hebat, tapi penjaga yang penuh cinta. Dan cinta---selalu punya akar yang dalam pada tempat di mana kita lahir, tumbuh, dan belajar menjadi manusia.
Jadi, mari kembali belajar. Dari pohon. Dari tanah. Dari cerita-cerita tua yang tak pernah benar-benar usang. Karena mungkin, pelestarian lingkungan bukan soal masa depan, tapi soal ingatan yang tak boleh hilang.
Kearifan Lokal sebagai Etika Hidup Manusia