Prolog: Suara yang Tak Sekadar Terdengar
Dunia hari ini terlalu sibuk berbicara, tapi lupa mendengar. Kita hidup di tengah keramaian kata-kata, di mana suara paling nyaring sering kali dianggap paling benar. Media sosial penuh seruan, debat, dan ambisi. Semua ingin diakui, semua ingin dimenangkan. Tapi, siapa yang benar-benar memberi ruang bagi keheningan? Siapa yang mau duduk diam, mendengarkan tanpa menghakimi, menemani tanpa menggurui?
Lalu muncullah suara itu. Ia tidak menggelegar, tidak memaksa masuk ke telinga. Ia datang perlahan, seperti angin sore yang menyapa jendela kamar. Namanya Fiersa Besari---penulis, musisi, pejalan sunyi yang tidak hanya mengisi panggung, tapi juga ruang kosong di hati banyak orang.
Fiersa tidak berbicara soal cinta yang sempurna. Ia menulis tentang rindu yang tertahan, luka yang dibiarkan tumbuh, dan harapan yang pelan-pelan dikecewakan. Ia tidak menjanjikan pelipur lara, tapi menjadi teman bagi mereka yang sedang berproses. Lagu-lagunya seperti pelukan bagi mereka yang tak tahu harus mengadu ke siapa, dan bait-baitnya seperti cermin bagi jiwa yang sedang mencari makna di balik kehilangan.
Di tengah dunia yang menilai segalanya dari suara terbanyak dan citra paling cerah, Fiersa mengingatkan kita bahwa kesunyian pun punya suara. Bahwa ada kekuatan dalam menjadi manusia biasa---yang merasa, yang gagal, yang mencintai dalam diam, dan yang memilih diam bukan karena kalah, tapi karena tahu tak semua harus dilawan dengan teriakan.
Karena pada akhirnya, bukan tentang siapa yang paling keras berbicara, tapi siapa yang paling tulus mendengar. Dan Fiersa adalah suara yang memilih menjadi peluk, bukan penghakim.
Fiersa Besari: Suara Sunyi Di Tengah Kebisingan Dunia
Di zaman ketika semua orang berlomba menjadi terdengar, Fiersa Besari hadir justru untuk menjadi ruang diam. Ia bukan panggung yang gemerlap, bukan pula toa yang membising. Ia adalah jeda---tempat kita duduk sebentar, melepas beban, dan membiarkan hati bicara.
Karyanya tidak menggurui. Ia tidak datang dengan tuntutan atau nasihat. Ia hanya berkata, "Aku pun pernah patah. Aku pun pernah merasa sendirian." Dan tiba-tiba, luka kita tak lagi merasa asing. Tiba-tiba, tangis yang selama ini kita tahan, terasa mendapat izin untuk jatuh.
Fiersa adalah suara yang tidak ingin menang. Ia tidak ingin membungkam siapa pun, hanya ingin menemani. Dalam dunia yang semakin gaduh oleh ego dan algoritma, hadirnya justru menjadi ruang sunyi yang menyejukkan. Seolah ia berkata, "Tak perlu selalu kuat. Tak apa-apa jika kamu belum baik-baik saja."