Di negara lain, antrean adalah keharusan. Di sini, antrean adalah ujian kesabaran dan strategi sosial.
Tapi anehnya, mereka tetap betah. Mereka bilang, “Ada sesuatu di sini — sesuatu yang hidup.”
Barangkali itu yang disebut jiwa bangsa.
Bukan tertulis di undang-undang, bukan dihafal di pelajaran PKN, tapi terasa dalam cara kita saling menolong, meski tak kenal. Dalam cara tukang ojek berhenti menolong orang jatuh tanpa disuruh. Dalam cara ibu-ibu memberi makan tetangga yang baru kena musibah, tanpa bertanya agamanya apa.
Itu hal-hal kecil yang tak tercatat di statistik, tapi justru membuat Indonesia tetap berarti.
Dan mungkin, itulah yang membuat para pemain naturalisasi itu tetap bertahan — bahkan ketika kita sendiri sudah kehilangan sabar terhadap negara ini.
***
Sebenarnya, jika mau jujur, rasa bangga itu sering datang bukan karena prestasi, tapi karena emosi.
Kita bangga bukan karena menang, tapi karena pernah merasa satu.
Ingat waktu timnas menahan imbang Korea Selatan? Rasanya seperti menang Piala Dunia. Kita teriak bareng, nangis bareng, peluk orang asing di samping tribun tanpa tahu namanya.
Lalu besoknya, kita balik ke rutinitas, ke kemacetan, ke keluhan. Tapi ada sedikit bara yang tersisa — semacam keyakinan samar bahwa kita ini, sebenarnya, bisa.