Mohon tunggu...
dt_Murdani
dt_Murdani Mohon Tunggu... Guru

Mendidik, membimbing dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bangga Tanpa Piala, Cinta Tanpa Paspor

18 Oktober 2025   12:00 Diperbarui: 18 Oktober 2025   12:04 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lucu juga, ya. Negara ini tidak pernah lolos ke Piala Dunia, tapi semangat nasionalismenya bisa menggelegar seolah tiap pekan kita baru saja mengalahkan Brasil. Spanduk merah putih terbentang di mana-mana, caption “Garuda di Dadaku” memenuhi timeline, dan tiba-tiba semua orang jadi ahli strategi sepak bola — dari warung kopi sampai kolom komentar Instagram PSSI.

Tapi begitu kalah, semuanya bubar. Rasa bangga berubah jadi ejekan, semangat berubah jadi cercaan. Dan di tengah hiruk pikuk itu, ada satu sosok yang tetap berdiri tegak: pemain naturalisasi yang datang jauh-jauh dari negeri entah berantah, hanya untuk memakai lambang Garuda di dadanya — meski tahu, mungkin, hasil akhirnya tetap sama: gagal.

Yang menarik bukan sekadar soal sepak bola. Tapi bagaimana mereka, para “orang asing” itu, sering kali justru memperlihatkan makna paling murni dari mencintai Indonesia — tanpa syarat, tanpa pamrih, tanpa paspor.

***

Saya pernah baca wawancara seorang pemain naturalisasi yang bilang, “Saya mencintai Indonesia karena di sini, setiap orang tersenyum meski hidupnya berat.”

Kalimat sederhana, tapi terasa menampar. Karena kita, yang lahir dan besar di sini, justru sering lupa bagaimana caranya tersenyum jujur. Kita sibuk membandingkan hidup, sibuk mencari salah, sibuk menghitung apa yang tak kita punya.

Sementara mereka datang dari tempat yang mungkin lebih tertata, lebih teratur, tapi tetap bisa melihat keindahan dari kekacauan yang kita anggap biasa.

Mereka terpesona dengan pasar tradisional yang ramai, dengan aroma sate di pinggir jalan, dengan suara adzan yang bersahutan di senja. Mereka bilang, “Negerimu indah.” Dan kita, tanpa sadar, membalas dengan nada sinis, “Indah apanya? Macet, panas, korup.”

Barangkali di situlah letak ironi terbesar bangsa ini: kita terlalu sibuk mencari malu, sampai lupa merawat hal-hal yang sebenarnya pantas dibanggakan.

***

Di stadion, bendera dikibarkan tinggi. Para pemain naturalisasi itu menyanyikan “Indonesia Raya” dengan lidah yang masih kaku, tapi matanya berkaca-kaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun