Mohon tunggu...
Singgih Swasono
Singgih Swasono Mohon Tunggu... wiraswasta -

saya usaha di bidang Kuliner, dan pendiri sanggar Seni Kriya 3D Banyumas 'SEKAR'. 08562616989 - 089673740109 satejamur@yahoo.com - indrisekar@gmail.com https://twitter.com/aaltaer7

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Hari Pahlawan] Garong

10 November 2013   19:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:20 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Singgih Swasono No. 98

SENYAP, samun, dingin jelang tengah malam dalam pos jaga, di batas dusun Arca, Martoyo, Gosam dan Narto, berkerodong sarung, duduk saling berimpit mengusir dingin. Tak terlihatbintang apalagi bulan di langit. Meski terlihat kerlap-kerlip sinar kunang-kunang di atas pematang sawah namun tak mampu menembus kabut. Saat ketiga pemuda sedangmerebahkan tubuhnya sayup-sayupterdengar bunyi kentongan, pertanda hari sudah menginjak tengah malam..

“Bangun…bangun To…?” Dengam sedikit berteriak Martoyo menarik sarungf dan menggoyang-goyangkan tubuh rekannya agar bangun. “Ada apa aku baru ngeliyep,” ujar Narto, menggeliat, bangun. “Sssttt…dengar suara orang jalan apa tidak? ” tanya Martoyo sambil keluar dari pos dan diikuti kedua temannya.

Dalam suasana malam senyap, terdengar langkah kaki orang berjalan bahkan agak jauh pun suara terdengar. Martoyo memperkirakan lebih dari lima orang. Mereka bertiga pelan-pelan melangkah ke arah jalan. Mereka berdiri tegang, tangannya tetap memegang erat bambu runcing.

“Siapa…berhenti! ”, Martoyo berteriak lantang memecah senyap. Lalu terdengar kokangan senjata dan suarabreettt …baju sobek?. “Tiarap…”, dengan gerakan reflek Martoyo menarik tangan Narto agar tiarap. “Bajuku sobek…”, protes Narto. “Ssst….” jawab Martoyo sambil terus mengamat-amati asal suaralangkah kaki .

Republik…! ” . Terdengar suara orang dari arah depan. “Republik!” balas Martoyo. Mereka bertiga bangun sambil mengibas-ibaskan sarungnya yang kena debu. Setelah saling mengenalkan diri para Republiken itu kemudian membahas desas-desus tentang Nica yang sedang mencari penduduk yang pernah bergabung atau aktif membantu Jepang. Nica akan menghabisi mereka. .

***

"Assalamu’alaikum.. Pak Lurah. ini Pak Sarbini, Komandan Wilayah Kota, ingin bertemu” . ujar Martoyo sambil mengketok-ketok pintu rumah Pak Lurah.

“Walaikumsaalam..siapa?” tanya Pak Lurah sambil berjalan menuju pintu. . “Martoyo, Pak ”, sahutnya. “Masuk…mari masuk, ada apa ini?”. Dengan penasaran PakLurah bertanya kepada tamunya.

“Bune… buatkan kopi?” pinta pak Lurah, ketika melihat isterinya berdiri di pintusambil memegangsenthir. Pak Lurah menyalakan lampu teplok di atas meja. Kami saling berpandangan, sesekali menarik nafas, melihat wajah kuyu tamunya yang mengenakan baju lusuh..

“Begini Pak Lurah, kami dapat perintah dari komandan agar kita meninggalkan kota, untuk melakukan perang gerilya. Sebab menurut informasi besok pagi Nica akan masuk kota.

Dari cahaya lampu teplok tampak tatapan wajah Pak Sarbini sangat geram. “Beritahu warga, terutama yang pernah jadi Peta atau bekerjasama dengan Nippon. Mereka supaya mengungsi !” kata Pak Sarbini.

Percakapan terhenti sejenak ketika Bu Lurah muncul sambil membawa nampan berisi kopi. panas . “ Terimakasih Bu. Maaf tengah malam begini kami mengganggu”, ujar Pak Sarbini. .

“Oh…tidak apa-apa Pak. Silakan di minum mumpung masih panas” jawab Bu Lurah sambil meletakkan dan mempersihkan meminum kopi panas. .

“Mas Martoyo dulu bekas Peta”, sela pak Lurah. “Ohh… jadi dulu Peta, bagus-bagus… berarti sudah paham kemiliteran. Kamu, saya beri tugas jadi ketua pemuda. Tugasnya menjaga kampung, mengintai pergerakan Nica. Mas Martoyo tentu sudah tahu apa yang harus dilakukan! O ya… tolong dokumen dan atribut Peta, sembunyikan. Tugas pak Lurah dan perangkatnya, selepas subuh beritahu seluruh warga untuk mengungsi. Bagaimana kamu Martoyo, siap!” .“ Siap Pak!” jawab Martoyo dengan sikap tegap. Kami terdiam, hening sesaat. Sambil menyeruput kopi panas yang dituang di lepek. Kopi panas menghangatkan tenggorokkan dan mengusir rasa kantuk

***

Menjelang sore, angin semilir. Awan bergerak seolah mengiringi langkah warga yang sedang menyusuri pematang sawah menuju arah utara, mengungsi. Dari kejauhan sesekali terdengar suara titir (tanda bahaya). Belalang, kupu-kupu, kepik beterbangan. kodok berlompatan sembunyi. Mereka seperti ketakutan mendengar langkah kaki ratusan warga dusun yang sedang menuju Desa Brobot yang sulit ditembus Nica .

Sesaat kemudian dari arah timur laut, terdengar suara deru Cocor Merah - sebutan pesawat terbang Mustang Belanda, meliuk-liuk di atas desa. “Otong abung… (pesawat terbang)…otong abung itingsne ubeng..Baling-balingnya berputar-putar… teriak anak-anak Empat Cocor Merah terbang ke arah kota. Penduduk spontan berlindung, ada yang tiarap di pematang sawah menunggu si Cocor Merah pergi.

***

Dusun Arca kini benar-benar samun setelah ditinggal penghuninya. Suasana semakin mencekam ketika tersebar desas-desus Nica telah masuk kota. Martoyo semakin gelisah, sulit tidur. Batinnya berkecamuk, bagaimana jika Nica benar-benar masuk kota, bagaimana nasib keluarganya di pengungsian. Untuk mengusir kecemasan ia melantunkan dzikir, berdoa mohon perlindunganNya.

Baru sesaat memejamkan mata, Martoyo terkesiap bangun, mendengarkokok ayam dan suara adzan subuh. Bersama teman-temannya ia bergegas ke mushola, sholat subuh. “Tentara dan polisi sudah ke luar kota. Sekarang, tidak ada pihak keamanan yang menjaga kota dan dusun kita”, jelas Narto selepas sholat. “ Terus kita harus bagaimana sekarang”, Gosam menimpali sambil menatap Martoyo.

“Ya…sekarang kita bagi tugas. Aku pimpin enam orang jaga di batas dusun bagian barat. Narto pimpin sepuluh orang bagian dalam kampung. Gosam kamu pimpin sepuluh orang jaga bagian selatan. Setiap regu bawa satu kentongan dan senjata seadanya. Bila ada orang yang mencurigakan, jangan bertindak sendiri. Bunyikan kentong lima kali. Regu paling dekat harus gerak cepat menuju ke arah suara itu. Hindari bentrok fisik, tunggu bantuan, baru ambil tindakan. Bagaimana siap ”.“Siap…!!!”, jawab mereka. Sambil menuju posisi masing-masing. Tiada berapa lama terdengar suara titir dari kejauhansuara kenthongan semakin mendekat. “Nica sudah mendekati kota,” Martoyo bergumam.

Dari kejauhan terdengar deru pesawat terbang. Si Cocor Merah datang lagi. Martoyo dan kawan-kawannya berlari ke arah bukit. Beberapa saat kemudian terdengar suara tembakan mortir dan roket beterbangan menghajar kota, terjadi kepanikan. Penduduk berduyun-duyun mencari perlindungan, menyelamatkan diri. Namun rentetan tembakan Cocor Merah hanya beberapa saat saja. “ Ini hanya psywar saja,” ujar Martoyo.

Namun dugaan itu meleset. Dari arah kota terlihat beberapa truk Nica sedang bergerak ke ke kampungnya.

“Cepat bunyikan kenthongan,” perintah Martoyo. Perkampungan mendadak senyap karena penduduk sudah mengungsi. Terlihat militer berhenti, pasukan Nica menyebar ke berbagai arah dengan senjata siap tembak. Mereka menggedor-gedor dan menendang pintu sampai jebol mencari penduduk.

Menyaksikan kelakukan tentara Nica dari tempat persembunyian, Martoyo teringat sikap terjang garong (perampok. Garong sangat di takuti. Mereka merampok secarta berkelompok dan terang-terangan di siang hari. Mereka tidak segan melukai bahkan membunuh dengan cara menembak. Nica sama saja dengan Garong.

***

Tiba-tiba Martoyo dikejutkan dengan suara titir disusul kobaran api yang terus membesar dari arah kampungnya. “ Ini pasti ulah garong.,” ujar Narto dan Datoen dengan nada geram. “Mereka mungkin akan merampok tapi karena tidak menemukan apa-apa, rumah dibakar,” ujar Gosam tak kalah geram. Martoyo duduk terdiam di atas batu, sangat terpukul, melihat rumahnya ludes. Sesaat kemudian Narto, Gosam dan Datoen, melihat Martoyo didekati sesosok orang tinggi kurus, entah darimana datangnya dan ngobrol serius, beberapa saat kemudian Martoyo dan orang tersebut menghilang.

Setelah pendudukan Nica, kehidupan dusun Arca kembali normal. Warga dusun menganggap Martoyo hilang, tidak ada yang tahu. Namun di pagi itu, rumah Martoyo yang baru selesai di pugar ramai didatangi tetangga.

“Jadi selama ini kamu kemana Yo ? ” tanya Datoen sambil terus mengamati tubuhMartoyo dari kaki sampai kepala. “Ceritanya panjang, saaat rumahku dibakar garong, aku dan Pak Warsilam berusaha mengejar garong tapi gagal..Aku lantas diajak membantu. Sebagai ajudan PakWarsilam. Jadi sebenarnya aku tidak menghilang. Sebab saat akan pergi aku pamit sama Bapak da1n Mboku. Sebulan sekali aku juga pulang tapi aku berpsan kepada Bapak dan si Mbok agar merahasiakan kepulanganku..

“Ingat ndak Toen suatu sore saat kamu lagi mandi di sungai terus lari terbirit …?” Tanya Martoyo menatap Datoen, yang ditanya terbengong-bengong dan sesaat kemudian teringat, lalu tertawa.

“Ya ingatlah, lha koq tahu. Waktu itu aku takut banget. Tidak ada angin, tahu-tahu pohon pada goyang, siapa pun melihat itu pasti ketakutan ”, jawab Datoen sambil menatap yang lain, dan mereka semua menganggukkan kepala. Setelah kejadian itu bila tiba jelang Magrib tiada satupun warga berani mandi di sungai itu.

“Itu dulu aku yang ngerjani. Aku tahu kalau mandi sore, pasti jelang magrib. Sebelum kamu datang aku tarik dahan pohon lalu ikat. Saat kamu mandi, aku lepas talinya. Hahaha…kamu lari terbirit-birit nglegeno (telanjang bulat) …hahaaa ”. Maka meledaklah tawa seisi ruang dengan beragam komentar. “Kurang ajar !”. seru Datoen tak berkutik membuat tawa yang ada di ruangan makin membahana..

“Pak Warsilam itu siapa ”, tanya Narto, mencoba mengalihkan pembicaraan ketika melihat muka Datoen merah.Semuanya diam, sepi. “ Pak Warsilam itu Komisaris Polisi Distrik Sokaraja. Aku bersama Pak Warsilam keliling ke berbagai desa, untuk menangkap garong dan gento-gento termasuk anjing-anjing Nica. Alhamdulillah, setelah tujuh hari, garong yang membakar rumahku bisa tertangkap di Desa Ledug ” ..

“Setelah Nica pergi, aku di ajak Pak Warsilam ke markas. Komandannya dulu temanku waktu di Peta, langsung saja aku didaftar. Ini seragam anggota Mobrig (Mobile Brigade). Ikut latihan di Banyubiru selama tiga bulan. Aku pulang mau pamit dan mohon maaf pada kamu sekalian bila selama ini aku ada salah. Tengah hari nanti aku harus lapor ke Markas! Ada tugas entah kemana”. Martoyo berdiri tegap sambil menyalami teman-temannya. Rasa haru dan bangga terpancar pada wajah mereka.

Di suatu siang yang terik musim kemarau, terlihat, serombongan warga mengiringi langkah tegap Martoyo yang berseragam driil, mengenakan baret biru serta bagde dari kuningan yang mengkilap terkena sinar matahari. Mereka melepas Martoyo dengan doa-doa yang akan menjalankan tugas negara. Entah ke mana, tanpa tanya...

Merdeka! Merdeka! Merdeka...

......

Untuk membaca karya peserta lain silakan menuju akun Fiksiana Community

Inilah Hasil Karya Peserta Event  Fiksi Hari Pahlawan.
dan

Silakan bergabung di FB Fiksiana Community

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun