"Kakekmu itu komunis! Dasar cucu komunis!"
Sejak kecil Buyung sudah terbiasa dengan sumpah serapah itu yang keluar dari mulut Atok Yon, yang rumahnya tak jauh dari rumahnya. Konon Atok Yon itu masih saudara jauh dengan almarhum kakek Buyung. Tapi entah dendam kesumat apa yang terjadi, sehingga begitu bencinya ia dengan keluarga Buyung sampai sekarang.
Dulu Buyung tak mengerti apa itu komunis. Sampai ia bersekolah dan mendapat pelajaran sejarah, baru ia paham tentang sebuah partai terlarang yang pernah dua kali melakukan pemberontakan di negeri ini tahun 1948 dan 1965.
"Kakekmu dulu bekerja di perusahaan tambang milik negara. Secara tidak langsung namanya terdaftar jadi anggota serikat buruh," cerita Ibu Buyung suatu hari karena didesak anaknya yang telah remaja. "Tak lama setelah terjadi peristiwa di Jakarta pada akhir September '65, datanglah pasukan tentara  ke kampung ini menjemput paksa Kakekmu dan menaikinya ke atas truk. Sejak itu Kakekmu tak pernah kembali lagi, dan tidak ada kabar hingga sekarang."
Buyung kini mafhum. Baginya, itu adalah bagian masa lalu keluarganya yang kelam. Sebisa mungkin ingin dilupakan. Tapi tidak bagi Atok Yon. Seperti sore ini, ketika Buyung lewat didepan rumahnya usai pulang sholat ashar dari masjid.
"Sok alim," sindir Atok Yon yang sedang main catur bersama temannya, Atok Tamar. "Percuma lah sholat lima waktu, kalau keturunan komunis ya tetap selamanya komunis."
Deg! Mendengar itu Buyung menghentikan langkahnya. Seketika darahnya mendidih. Ia langsung berbalik dan menendang papan catur hingga berantakan. Timbul riuh sekitar.
Buyung mencengkeram kuat leher Atok Yon. Ingin dipukulnya wajah muak lelaki tua dihadapannya itu, tapi masih bisa ditahan.
"Dengar pak tua, kakekku bukan komunis!" jerit Buyung marah. "Justru kalian ini yang komunis, tak ber-Tuhan. Ngakunya Islam, tapi tak pernah sholat dan puasa!"
Usai berkata seperti itu, Buyung melepas cengkeramannya. Atok Yon pun terduduk dengan nafas tersengal. Melihat ibunya datang dengan muka khawatir, Buyung pun pulang dengan perasaan tak menentu.
(Bangka, 1 Oktober 2020)