"Bohong! Kamu bohong Dewa !" bantah Kennova.
Rahang Dewa mengeras tak tahan lagi menahan luapan perasaannya.
"Ya, aku bohong! Aku mencintaimu bukan lagi sekedar sahabat atau saudara, tapi aku mencintaimu sebagai halnya seorang laki - laki kepada lawan jenisnya. Puas??" suara Dewa meninggi. "Tapi aku sadar dirimu hanya menganggapku seorang sahabat. Hanya saudara. Maka dari itu kupendam rapat-rapat perasaan ini. Aku lebih baik kehilangan cinta daripada kehilangan seorang sahabat!"
"Tapi mengapa dirimu menghindariku, pergi menjauhiku?" tanya Kennova.
"Kamu mau tahu? Kamu egois, aku kecewa dengan dirimu Kennova," ungkap Dewa. "Aku selalu ada disaat kamu butuhkan. Aku selalu siap disaat kalutmu, setia mendengar ceritamu. Tapi dimana kamu saat aku butuhkan? Dimana kamu saat aku jatuh terpuruk disini? Kamu sibuk dengan duniamu dan cintamu pada laki-laki itu. Sementara aku sendirian membangun semangatku."
Lanjut Dewa, "Sebenarnya aku sudah puas dengan cintaku ini. Cinta yang hanya dalam hati. Karena bisa melihatmu tersenyum manis bahagia sudah cukup bagiku. Tapi aku kecewa dengan ketidaktegasanmu. Kamu tetap saja berhubungan dengan lak- laki brengsek itu, laki - laki yang berulang kali menyakitimu. Tiap kali aku menasehatimu, tiap kali juga kamu bilang tetap tak bisa melupakannya dan berkata bahwa manusia bisa berubah. Aku memang cemburu, tapi terus terang aku muak dengan semua itu. Namun kemudian aku sadar, apa hakku untuk untuk melarangmu. Aku hanya teman biasa bagimu. Jadi kemudian aku memilih pergi menghindarimu untuk menepikan hatiku."
Kennova membisu mendengar semua itu. Ia kehilangan kata-kata.
"Apakah kau tidak mau lagi berteman denganku ?" tanya Kennova.
"Tidak, Kennova," Dewa menggeleng. "Kita tetap bersahabat dan menjalin tali silaturahmi."
"Apakah kita bisa kembali lagi seperti masa lalu dan menata ulang hati kita?" tanya Kennova lagi.
Dewa memandang ke arah lautan.