Mohon tunggu...
Rochani Sastra Adiguna
Rochani Sastra Adiguna Mohon Tunggu... wiraswasta -

sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Serat Centini [9]

30 Desember 2012   06:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:49 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Berdirinya Kasultanan Mataram

Setelah meninggalnya Sultan Pajang ke III Prabu Wijaya atau Pangeran Benawa, pemerintahan Pajang menjadi kosong, dengan cerdas Danang Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga merebut kekuasaan Pajang.

Karena seluruh nayaka dan kadang sentana Pajang sudah mengenal baik Sutawijaya, maka dengan mudah dan tanpa perlawanan, Pajang berada dalam genggaman tangan Senapati.

Dengan cepat dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, tahun 1558 Masehi Senapati ing Ngalaga memproklamirkan diri sebagai penguasa Mataram, dan mengubah status  politik Mataram yang tadinya tanah perdikan, kini menjadi Kasultanan, dan sebagai Sultan Mataram pertama adalah Senapati Ing Ngalaga.

Sedangkan kasultanan Pajang diubah statusnya dikembalikan menjadikan Kadipaten, dan menjadi bawahan Kasultanan Mataram. Adapaun bertindak sebagai Adipati Pajang yang baru adalah Pangeran Gagak Baning, adik dari Panembahan Senapati.

Meski demikian Senapati tidak mau menggunakan nama Sultan Mataram melainkan Panembahan Senapati. Hanya tiga tahun lamanya menjadi  pendiri kerajaan Mataram baru, Panembahan Senapati meninggal dunia setelah menaklukkan kadipaten di brang wetan.

Sesudah ia meninggal (dimakamkan di Kotagede) , pada tahun 1601 Masehi, kekuasaan dilanjutkan oleh Mas Jolang yang bergelar Prabu Hanyokrowati. Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena pada tahun 1613 M, beliau wafat kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan Seda Krapyakatau Panembahan Seda Krapyak .

Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsang. Yang kemudian bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung.

Sultan Agung mempunyai seorang adik perempuan yang cantik , bernama Ratu Pandansari kemudian dinikahkan dengan Pangeran Pekik yang menjadi Adipati di Surabaya.

Mataram menyerbu pesantren  Giri

Tragedy penyerbuan pesantren Giri yang dua kali dilakukan oleh Raja Majapahit, kini setelah beralih ke Mataram, ketenangan kWalian Giri terusik lagi. Sultan Agung  dengan cerdas menikahkan Ratu Pandansari dengan Pangeran Pekik, Adipati Surabaya. Tenyata sebuah kamuflase, agar Mataram lebih mudah menaklukan pesantren Giri.

Prajurit dari Surabaya sudah mengepung pondok pesantren  Giri Kedhaton.

Dalam pada itu Sunan Giri Prapèn sudah menerima lapuran dari prajurit pangalasan [intelijen]  bahwa Adipati Surabaya  Pangéran Pekik dan isterinya Dèwi Pandhansari sudah mengepung kota Giri Kedhaton.

Aksi militer dari Surabaya ini menggunakan gelar samodra rob. Para warga yang ada di pesantren Giri, lanang laki-laki maupun perempuan kebingunan mencari tempat untuk penyelematan diri.

Sunan Giri Prapèn sudah memanggil seluruh pimpinan pesantren di balé padhépokan  Giri Kedhaton yang dihadiri oleh segenap para santri yang memenuhi kawasan pondok pesantren. Mereka sudah terlatih dalam kesiap siagaan yang tinggi. Maka ketika mendengar isyarat gawat darurat, mereka segera bisa dikumpulkan dalam waktu tidak lebih dari lima menit.

“ Wahai ayahanda junjungan hamba, apapun alasannya, sebaiknya kita tidak perlu meladeni untuk berperang melawan Sultan Agung di Mataram. Benar atau salah sebaiknya kita memang, harus mengakui kedaulatan Mataram.  Hamba telah mendengar informasi yang akurat, bahwa Raja Mataram ini sangat baik budinya. Oleh sebab itu, sebelum terjadi benturan kekuatan antar pasukan, sebaiknya kita ajak berunding baik-baik, apa maksud kedatangannya dengan membawa pasukan dalam jumlah besar. Namun kita tidak salah, jika memang maksud baik kita ditolak, perang menjaga kehormatan diri itu lebih utama.”

Sunan Giri Prapèn sama sekali tidak menggubris saran dari putra sulungnya, bahkan menjawabpun tidak.



Maka Radèn Jayèngresmi, setelah memberikan sembah kemudian meninggalkan pisowanan sambil menitikkan air mata, dalam hati sang raden sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi kemudian. Mungkin itulah kehendak dari Yang Maha Kuasa, takdir tak bisa direkayasa lagi.

Sepeninggal Raden Jayengresmi kanjeng Sunan Giri Prapèn berkata” Endraséna bagaimana keadaan prajurit Surabaya yang mengepung Giri Kedaton?”

Endraséna menjawab” wadya santri sudah siap siaga tempur, kami sebagai Senapati, hanya menunggu perintah dari Kanjeng Sunan”

***

Wadya santri Giripura kira-kira ada dua ratus orang bersenjata lengkap; tangan kiri membawa tameng,  sedang ditangan kana nada yang membawa pedang, golok ataupun tombak. Prajurit santrti sudah siap mati, jadi tiadak ada yang perlu ditakutkan.

Sénapati Endraséna menunggang kuda, dan berada di barisan belakang, pedang di pinggang kiri, keris di dipinggang kanan dan juga membawa senjata api.

Wadyabala  Giri meninggalkan alun-alun Giri sambil membaca shalawat dan bertakbir para  kaum, modin, ulama, ketib, sentana juga wadyabala Giri semua mengenakan pakaian putih, kalau dilihat dari kejauahan bagaikan kuntul aneba.

Kedua prajurit tempur dari Surabaya maupun santri Giri sudah semakin dekat, keduanya berhadapan siap menerjang. Aba-aba menyerang dari pihak Surabaya sudah dikumandangkan dengan  bunyi bedug dan bende bertalu-talu.

Senapati Endrasena setelah mendengar aba-aba dari Senapati Surabaya, maka  segera memberikan aba-aba menyerang. Kedua pasukan bergerak serentak  berlari cepat saling menerjang.

Prajurit Santri dengan semangat tempur yang tinggi dapat menguasai keadaan. Kini pasukan dari Surabaya yang sudah lama tidak pernah bertempur, dan usianya sudah mulai tua, maka lebih baik mencari selamat.

Sénapati Endraséna dengan memutar senjata abirnya,  berhasil mendesak pasukan Surabaya. Mereka yang mencari selamat  lari masuk ke hutan atau terjun ke sungai.

Sepak terjang prajurit santri dari Giri, dengan semangat juang yang tinggi, karena melihat Sang Senapati yang menerjang terjang bagaikan banteng terluka.

Pangeran Pekik yang mengamati dari kejauhan, melihat dengan jelas betapa para prajuritnya nampak loyo tidak bersemangat, sepertinya mereka takut mati. Betapa malunya pada sang Isteri yang adik Sultan Agung di Mataram, bagaimana nantinya harus memberikan laporan pertanggung jawabannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun