Mohon tunggu...
Sofian Munawar
Sofian Munawar Mohon Tunggu... Editor - PENDIRI Ruang Baca Komunitas

"Membaca, Menulis, Membagi" Salam Literasi !

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Heni Jaladara: Keterbatasan, Kesuksesan, dan Inspirasi

16 Mei 2015   14:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:55 1164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sofian Munawar Asgart

Peneliti The Interseksi Foundation, Jakarta

[caption id="attachment_383893" align="aligncenter" width="194" caption="Heni Jaladara, sosok muda yang menginspirasi (Sumber: Dokumentasi Jaladara)"][/caption]

“Gajah mati meninggalkan gading. Harimau mati meninggalkan belang. Manusia mati? Tinggalkanlah kebaikan yang dapat menginspirasi banyak orang!!” Tampaknya, motto inilah salah satunya yang menjadi pegangan hidup Heni Jaladara, perempuan muda perkasa asal Ciamis, Jawa Barat.

Setelah enam tahun menghabiskan waktu menjadi TKI sambil kuliah di Hongkong, ia pulang ke Indonesia dengan dua gelar sarjana yang disandangnya. “Berangkat ke Hongkong jadi TKI, pulang jadi sarjana yang menginspirasi.” Itulah gambaran awal sosok seorang Heni Jaladara yang kini lebih memilih menjadi pendidik dan penggerak masyarakat marjinal di tengah banyaknya tawaran pekerjaan dari berbagai perusahaan.

Tulisan ini ingin menceritakan ‘petualangan’ Heni Jaladara meniti hidupnya dari berbagai keterbatasan yang menghimpitnya hingga capaian keberhasilannya yang menginspirasi. Mengapa ia memilih menjadi TKI selepas lulus SMK? Bagaimana suka-dukanya kehidupan di Hongkong, tempat yang menjadi “Kawah Candradimuka” saat ia menjadi TKI plus mahasiswi. Apa saja aktivitas yang digeluti Heni Jaladara selama ini sebagai pendidik dan penggerak komunitas marjinal? Bagaimana ia memotivasi dan menginspirasi banyak orang sehingga bersedia saling berbagi untuk meraih kehidupan dan masa depan yang lebih baik? Berikut sekelumit ceritanya.

1431762381503905772
1431762381503905772

Mengapa Jaladara?

Jaladara sebenarnya adalah nama samaran. Nama resmi perempuan kelahiran Ciamis 28 tahun silam ini adalah Heni Sri Sundani. Ia sangat terkesan dengan sebuah kereta api kuno di Solo, yaitu “Kereta Api Uap Jaladara” atau sering disebut orang Jawa sebagai Sepur Kluthuk Jaladara. Kereta Jaladara ini merupakan kereta wisata tertua dan pertama di Indonesia. Lokomotifnya dibuat Maschinenbau Chemitz Jerman pada 1896 dan dibawa Belanda ke Indonesia pada tahun yang sama untuk keperluan angkutan jarak pendek. Sementara gerbongnya dibuat dengan bahan baku utama kayu jati. Kereta ini di bawa ke Solo pada 10 September 2009 setelah sebelumnya tersimpan lama di Museum Kereta Ambarawa. Sepur Kluthuk Jaladara mulai beroperasi pada 2009 atas kerjasama Dinas Perhubungan dan Pemda Kota Surakarta yang saat itu dipimpin Joko Widodo (Jokowi).

Dalam sejarah dan mitologi Jawa, nama Jaladara dikenal berasal dari kereta pusaka milik dewa yang dihadiahkan kepada Kresna. Jaladara dijadikan kendaraan yang digunakan Kresna untuk membasmi kejahatan. Pemda Kota Surakarta waktu itu berharap dengan menggunakan nama Sepur Kluthuk Jaladara, kereta wisata ini akan memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan, berfungsi sebagai alat angkut penumpang sekaligus media hiburan warga yang hemat dan merakyat.

Filosofi seperti itu pula yang diharapkan Heni Sri Sundani yang kemudian memilih Jaladara sebagai “nama pena” saat ia membuat sejumlah tulisan di berbagai media massa. Nama “Heni Jaladara” belakangan menjadi lebih dikenal ketimbang nama aslinya. “Saya terobsesi dan terinspirasi dengan sebutan Jaladara ini agar bisa seperti kereta yang memberikan kemanfaatan bagi orang banyak. Seperti kereta Kresna yang senantiasa membantu rakyat memberikan kebahagiaan, kesejahteraan dan kenyamanan sebagai “sahabat warga” yang merakyat. Nama Heni Jaladara kemudian mencuat, terutama ketika tulisannya yang berjudul “Surat Berdarah Untuk Presiden” menjadi juara lomba menulis surat untuk Presiden. Tulisan ini mengantarkannya menjadi wakil Indonesia di “Forum Ubud Writer”, sebuah perhelatan internasional bagi para penulis dari berbagai negara yang diselenggarakan di Bali. Setelah itu, Heni diundang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk membacakan tulisan itu di Istana Negara beberapa waktu yang lalu.

1431762506935860468
1431762506935860468

Antara Ciamis, Banjar, dan Hongkong

Heni Jaladara terlahir dari keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya seorang buruh tani di Ciamis. Sementara ibunya harus menjadi buruh pabrik di Bekasi. Sejak ayah dan ibunya berpisah ia lebih banyak tinggal bersama neneknya di Cidolog, sebuah dusun di wilayah Kecamatan Cimaragas, Ciamis, Jawa Barat. Ragam keterbatasan dan kehidupan yang demikian prihatin telah menempanya sejak kecil. Saat sekolah di SD, setiap hari ia harus berjalan kaki sekitar satu jam dari rumah menuju sekolah menyusuri hutan karet. Demikian juga saat menginjak SMP, perjalanan dari rumah menuju sekolah lebih jauh lagi jaraknya. Namun semua itu tidak menjadi rintangan yang menghambatnya bersekolah. Keterbatasan dan keprihatinan itu justru menjadi pelecut hingga ia tumbuh menjadi siswa cerdas dan mandiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun