Mohon tunggu...
Sarrah KurniaFadhillah
Sarrah KurniaFadhillah Mohon Tunggu... Dosen Ilmu Komunikasi

Halo.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Drama Korea, Patriarki, dan Cermin Budaya

28 Agustus 2025   16:46 Diperbarui: 28 Agustus 2025   16:46 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
When Life Gives You Tangerines (https://www.catatanbundasaladin.com)

Oleh: Sarrah Kurnia Fadhillah, S.I.Kom.,M.I.Kom
(Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Malikussaleh)


Di era digital, drama Korea bukan sekadar hiburan. Ia menjelma menjadi medium budaya yang mampu membentuk cara pandang masyarakat global. Dari gaya hidup, fashion, hingga cara berpikir, K-Drama memberi pengaruh kuat, termasuk dalam isu sensitif seperti relasi gender.

Sebuah penelitian terbaru yang saya lakukan bersama tim peneliti dari Universitas Malikussaleh dan Universitas Muhammadiyah Bengkulu menyoroti bagaimana drama Korea berjudul When Life Gives You Tangerines masih mereproduksi nilai-nilai patriarki. Drama ini tayang tahun 2025 dan sangat popular, berdasarkan dari Flix Patrol bahwa When Life Gives You Tangerines memasuki Top 10 global Netflix dan Top 1 Netflix di 4 Negara yaitu, Korea Selatan, Indonesia, Singapura, dan Hongkong . Drama ini disutradarai Kim Won-seok dan ditulis oleh Lim Sang-choon, dengan latar Jeju dari era 1950-an hingga 2000-an. Drama ini sekilas tampak romantic, kisah tentang Ae-sun yang bercita-cita jadi penyair dan kisah cintanya dengan Gwan-sik. Tapi, kalau ditonton dengan kacamata kritis, drama ini penuh dengan representasi budaya patriarki.

Ketika Patriarki Hadir di Layar

Hasil penelitian kami menggunakan analisis semiotika Roland Barthes menemukan bahwa meskipun drama ini menyuguhkan kisah cinta dan kehidupan keluarga yang hangat, di balik itu terselip mitos patriarki yang kuat. Misalnya:

  • Perempuan tidak perlu sekolah - dalam salah satu adegan, tokoh ayah tiri Ae-sun menyatakan pendidikan bagi perempuan hanya menambah beban. Pesan ini menguatkan ideologi lama bahwa ruang perempuan hanyalah dapur dan rumah tangga.

    "Perempuan tidak perlu sekolah, hanya akan menambah stres."

    Kalimat sederhana, tapi sarat makna. Seolah-olah pendidikan hanyalah milik laki-laki, sementara perempuan cukup puas di dapur dan sumur. Saya jadi teringat betapa dalam masyarakat kita pun, dulu (dan mungkin sampai sekarang) masih ada orang tua yang lebih memilih menyekolahkan anak laki-laki ketimbang anak perempuan.

  • Pembagian peran yang timpang  - Di adegan lain, Ibu Ae-sun terlihat membungkuk merapikan pakaian, sementara ayah tirinya duduk santai sambil berkata:

    "Perempuan di pulau ini hanya menyelam jika disuruh."

    Adegan sederhana ini mengandung pesan kuat. Posisi tubuh perempuan yang selalu membungkuk kontras dengan laki-laki yang duduk dominan, memperlihatkan relasi kuasa yang timpang. Seolah-olah tugas perempuan memang hanya melayani, tanpa ruang untuk memilih. perempuan digambarkan sibuk bekerja dan melayani, sementara laki-laki duduk dominan sebagai pengambil keputusan

    HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
    Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun