Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dikenal sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Namun, di tengah upaya pemberdayaan UMKM, muncul praktik penegakkan hukum yang justru menyasar pelaku UMKM sebagai objek kriminalisasi, terutama dalam kasus pelanggaran administratif seperti tidak mencantumkan label tanggal kedaluwarsa pada produk pangan.
Secara normatif, pelanggaran tersebut memang diatur dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 8 ayat (1) huruf g menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang yang tidak mencantumkan informasi penting seperti masa kedaluwarsa. Namun, Pasal 8 ayat (4) memberikan pengecualian terhadap barang tertentu yang karena sifatnya tidak memerlukan informasi lengkap seperti produk tradisional, termasuk ikan asin.
Meskipun demikian, implementasi norma hukum sering kali tidak sejalan dengan realitas sosial pelaku UMKM. Pendekatan represif berupa sanksi pidana yang dikenakan atas pelangggaran administratif menimbulkan pertanyaan besar: apakah hukum masih berpihak pada keadilan sosial?
Sosiologi hukum memandang hukum bukan semata sebagai teks dalam peraturan perundang-undangan (law in the books), melainkan sebagai praktik sosial yang hidup di masyarakat (law in action). Dalam konteks ini, pemidanaan terhadap UMKM yang melakukan pelanggaran kecil tanpa niat jahat atau akibat yang membahayakan menjadi bentuk ketimpangan struktural dalam sistem hukum. Pendekatan hukum pidana terhadap UMKM yang bersifat administratif menunjukkan bahwa hukum kerap tidak peka terhadap konteks sosial pelaku. Alih-alih menjadi alat perlindungan dan edukasi, hukum justru menjadi alat kontrol sosial yang menekan kelompok lemah, seperti yang dijelaskan dalam teori hegemonic law olwh Pierre Bourdieu:
'' Ketika hukum tidak memepertimbangkan kondisi sosial ekonomi pelaku, maka yang terjadi bukan keadilan, melainkan represi'', demikian pandangan sosiologi hukum kontemporer.
Misalnya kasus pemidanaan UMKM ''Mama Khas Banjar''di Kalimantan Timur yang sempat menjadi sorotan publik. Pelaku usaha dijerat pidana karena tidak mencantumkan label kedaluwarsa pada produk ikan asin, padahal belum terdapat korban atau kerugian nyata pada konsumen. Lebih tragis lagi , istri pelaku yang masih mengasuh balita harus menjalani perawatan psikiater akibat tekanan mental selama proses hukum.
Pendekatan hukum yang keras terhadap pelanggaran kecil kontras dengan lemahnya penegakkan hukum terhadap korupsi dan kejahatan berskala besar. Dari perspektif sosiologi hukum, ini menciptakan defisit legitimasi hukum. Masyarakat mulai kehilangan kepercayaan terhadap sistem hukum yang tampak tidak adil dan diskriminatif. Seperti yang dikatakan oleh Patricia Ewick dan Susan Silbey dalam teori legality, hukum akan kehilangan wibawa apabila ia hanya hadir untuk menghukum kelompok rentan, tetapi tidak akan cukup tegas terhadap pelaku kejahatan besar yang merugikan publik secara sistematik.
Dalam sistem hukum pidana dikenal prinsip ultimum remidium, yakni bahwa pidana adalah langkah terakhir ketika pendekatan non-penal tidak efektif. Pendekatan sosiologi hukum mengkritik penerapan sanksi pidana secara kaku terhadap pelaku UMKM, khususnya dalam pelanggaran administratif yang tidak menimbulkan dampak serius.
Berdasarkan Pasal 60 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), pelanggaran terkait label dan iklan pada dasarnya dikenai sanksi administratif terlebih dahulu. Bentuk sanksi tersebut meliputu :
- Penarikan barang dari peredaran,
- Pemberhentian kegiatan usaha sementara
- Denda administratif
- Kewajiban perbaikan administratif lainnya.
Adapun Pasal 62 ayat (1) UUPK memang membuka ruang sanksi pidana, tetapi diperuntukkan bagi pelanggaran yang menimbulkan kerugian nyata dan dilakukan dengan unsur kesengajaan. Dengan demikian, dalam kasus pelaku UMKM yang:
- Tidak menimbulkan korban nyata,
- Tidak memiliki niat jahat (mens rea), dan
- Sudah diberi teguran atau pembinaan oleh BPOM dan Dinas Perdagangan.
Maka pendekatan administratif seharusnya menjadi prioritas. Kriminalisasi dalam konteks ini tidak hanya berlebihan, tetapi juga bertentangan dengan semangat keadilan substantif dan pembinaan ekonomi kerakyatan.
Pendekatan sosiologi hukum juga menilai bahwa pemidanaan dalam kondisi seperti ini dapat menciptakan penyimpangan dari fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial yang adil dan proporsional. Hukum tidak seharusnya dijalankan sebagai mesin yang menghukum secara buta, melainkan sebagai sistem nilai yang mampu membaca konteks sosial dan struktur pelaku. Seperti yang ditegaskan oleh Prof. Muladi, pidana hanya tepat digunakan apabila perbuatan menimbulkan dampak serius, dilakukan denagn kesengajaan, dan tidak dapat diselesaikan melalui jalur hukum lain. Prof. Andi Hamzah pun mengingatkan bahwa '' Hukum pidana tidak boleh digunakan untuk setiap pelangggaran kecil yang dapat diselesaikan secara administratif''.
Sosiologi hukum mengajarkan bahwa substansi hukum tidak boleh dipisahkan dari realitas sosialnya. Jika pelaku UMKM justru dijadikan target pemidanaan atas kesalahan administratif yang bisa dibina dan diperbaiki, maka hukum telah gagal menjalankan fungsinya sebagai jembatan keadilan sosial. Karena itu dalam menghadapi pelanggaran ringan seperti tidak mencantumkan tanggal kedaluwarsa pada produk non pabrikan yang bersifat tradisional , hukum harus:
- Mengutamakan pendekatan administratif dan edukatif,
- Menghindari kriminalisasi belebihan,
- Memastikan bahwa hukum berfungsi mendidik, bukan menindas
- Mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap keadilan hukum.
Kesimpulan
Pemidanaan terhadap pelaku UMKM atas pelanggaran administratif, seperti tidak mencantumkan tanggal kedaluwarsa pada produk tradisional, mencerminkan pendekatan hukum yang cenderung formalistik dan mengabaikan konteks sosial pelaku usaha kecil. Padahal, Undang-Undang Perlindungan Konsumen melalui Pasal 60 telah secara jelas membuka ruang penyelesaian administratif dan Pasal 62 ayat (1) pun mensyaratkan adanya kerugian nyata atau unsur kesengajaan untuk dapat dikenakan sanksi pidana.
Dari perspektif sosiologi hukum, pendekatan pemidanaan semacam ini tidak sejalan dengan prinsip keadilan sosial dan asas ultimum remidium, dimana sanksi pidana seharusnya menjadi upaya terakhir, bukan yang pertama. Pemaksaan pidana dalam kasus yang tidak menimbulkan korban, tidak mengandung niat jahat, dan telah ditindak melalui pembinaan justru berpotensi menciptakan dampak sosial yang lebih besar, seperti tekanan psikis, kehilangaan mata pencaharian, serta hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum.
Lebih jauh praktik ini menunjukkan kecenderungan ''tajam ke bawah, tumpul ke atas'' dalam penegakkan hukum, yang melemahkan legitimasi hukum itu sendiri. Maka dari itu, dalam kasus pelanggaran administratif oleh UMKM, pendekatan hukum yang respontif, proporsional, dan manusiawi jauh lebih dibutuhkan daripada kriminalisasi yang represif.
Hukum harus hadir bukan hanya sebagai alat untuk menegakkan aturan, tetapi juga sebagai instrumen untuk melindungi, Â memberdayakan, dan memperbaiki relasi sosial secara adil. Dalam semangat itu, pembinaan dan sanksi administratif merupakan pilihan yang tepat dan mencerminkan esensi dari perlindungan konsumen yang berkeadilan bagi semua pihak baik konsumen maupun pelaku usaha.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI