Mohon tunggu...
Sarkoro Doso Budiatmoko
Sarkoro Doso Budiatmoko Mohon Tunggu... Dosen - Penikmat bacaan

Bersyukur selalu.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemilu, Pesta Sekaligus Pengadilan Rakyat

16 Maret 2023   17:55 Diperbarui: 16 Maret 2023   17:59 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagi sebagian orang, ketukan di pintu rumah pada malam hari itu bisa sangat mengganggu. Mengganggu waktu istirahat, waktu keluarga atau mengurangi kenyamanan pribadi. Itulah yang terjadi ketika petugas Pemutakhiran Data Pemilih dan Penyusunan Daftar Pemilih berkeliling mendatangi rumah dan tempat tinggal warga untuk melaksanakan tugasnya. 

Rasa kurang nyaman bisa berubah menjadi rasa tidak enak hati, apalagi jika ditambah dengan urusan Pemilu yang memang tidak semua orang suka. Bagi yang tidak suka, meskipun datang lima tahun sekali tetapi rasanya Pemilu sering sekali datang. Kata Emak, Pemilu lagi-Pemilu lagi. 

Perasaan serupa mungkin saja dialami oleh banyak orang. Bagi mereka-mereka ini, hari-hari mendatang bisa jadi akan terus dianggap sebagai gangguan. Bukan hanya ketukan di pintu rumah, tetapi mungkin saja akan ada keramaian di halaman rumah, di jalan, di Balai Desa atau di lapangan di lingkungan sekitar. 

Di manapun berada dia seolah dikepung Pemilu. Di rumah, tempat yang mestinya paling nyaman, pun dikepung siaran TV Nasional seolah tidak ada yang lebih menarik selain Pemilu. Radio, media social dan bahkan obrolan orang serumah pun tidak lepas dari soal satu ini. 

Masih akan banyak dan masih panjang lagi rangkaian kegiatan masyarakat sampai pada puncaknya, hari pencoblosan. Sekitar 11 bulan lagi. Bahkan pasca pencoblosan, bisa lebih riuh lagi. 

Sekarang pun, sudah tampak semakin ramai bermunculan barisan bendera-bendera Partai Politik dan baliho foto para calon yang berambisi untuk ikut terpilih. Lihat juga di perempatan-perempatan jalan dan di pinggir-pinggir jalan yang ramai dilalui orang. 

Banyak diantara foto-foto itu wajahnya enak dilihat karena cantik atau tampan. Tidak sedikit juga wajah yang mengundang rasa bosan, dulu pernah muncul dan sekarang muncul kembali. Ada juga yang membangkitkan syaraf takut, karena foto wajahnya jauh dari kesan ramah, lupa tersenyum, sangar dan lebih mirip foto KTP. 

Baliho-baliho itu seringkali juga disertai tulisan berisi pesan. Lagi-lagi, pesannya ada yang enak dibaca, atau sebaliknya, menyakitkan mata. Tapi semuanya tergantung pada mood. Kalau hati lagi kesal, secantik apapun gambarnya, tetap saja tidak enak untuk dinikmati. Seindah apapun pesannya, tetap saja terasa aneh dan sakit di mata. 

Hal-hal tersebut di atas bagi yang tidak "welcome" terhadap Pemilu tentu akan menambah "penderitaan". Dalam pandangannya, Pemilu adalah pesta rakyat yang sudah berulang kali diadakan tetapi tidak jelas hasilnya. 

Buktinya, korupsi masih terus terjadi, KPK masih sibuk menangkap tersangka korupsi, mantan koruptor diberi tempat terhormat. Ditambah dengan dipertontonkannya gaya hidup mewah dari pejabat dan keluarganya yang cenderung semakin menggila. Hedonisme mewabah. 

Namun bagaimanapun keadaan hati, suka maupun benci, Pemilu yang mungkin lebih tua dari Anda, sudah sekian lama berjalan dan terjadi tiap lima tahun. Mau tidak mau harus dihadapi. Bahkan, kalau bisa, ubah pandangan bahwa justru hanya Pemilu inilah yang bisa mengubah keadaan dari dibenci menjadi disuka. 

Ketidaksukaan tidak boleh membuat orang menjadi cuek bebek dan lantas tidak peduli. Ketidaksukaan dan kekecewaan pada apa yang sudah terjadi bisa menjadi bahan untuk membuat gagasan. Gagasan untuk menuju kondisi yang lebih baik. Penyaluran gagasan itu bisa diwujudkan melalui Pemilu dengan melakukan pencoblosan. 

Hari pencoblosan adalah hari pengadilan rakyat kepada para politikus. Para pencoblos adalah pengadil. Pengadil yang baik akan meloloskan politikus yang baik juga. 

Pengadil korban money politic akan meloloskan politikus yang mengandalkan popularitas, harta, janji-janji dan koneksi tetapi miskin gagasan, visi, misi dan inovasi. Yang seperti ini sebaiknya tidak terjadi lagi. 

Seorang penyair asal Jerman bernama Bertolt Brecht (1898-1956) puluhan tahun yang lalu sudah mensinyalir bahwa perbaikan keadaan hanya akan bisa terjadi kalau para pemilih melek politik. Yaitu pemilih yang mau mendengar, mau berbicara dan bersedia berpartisipasi dalam peristiwa politik.   

Dia paham bahwa harga BBM, harga makanan pokok, harga tempat tinggal, harga obat, dan lain-lain sangat bergantung pada keputusan politik dan yang membuat keputusan politik adalah para pemenang Pemilu. 

Politikus yang baik akan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang menyelesaikan masalah negara dan masyarakat, bukan menambah masalah. Oleh karena itu, seberapapun rasa sukanya dan sedalam apapun bencinya, saatnya sekarang untuk tidak hanya memakai rasa tetapi juga memakai akal dan pikiran dalam menggunakan hak suara Anda. 

Harus dimengerti, Pemilu seharusnya memang menghasilkan orang-orang unggul, pilihan dan pemikir yang tidak mengenal lelah untuk memperbaiki nasib bangsa. Orang-orang yang kaya gagasan dan banyak inisiatif untuk membuat keputusan-keputusan penting demi masa depan yang lebih baik. 

Semakin banyak yang ikut aktif dalam proses Pemilu akan semakin baik. Semakin banyak yang mencoblos, semakin baik juga. Untuk mampu menjadi pengadil yang baik, masih cukup waktu untuk belajar, pemungutan dan penghitungan suara adalah 14 Februari 2024 - 15 Februari 2024. Kata tetangga, Belanda memang masih jauh tetapi palu sudah di tangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun