Pemilik hak suara tentu kalau bisa dan kalau ada akan memilih sosok Pemimpin ideal, pemimpin idaman dan pujaan rakyat. Pemimpin yang adil, yang memahami kesulitan hidup warganya, yang mampu menguasai dan mengelola ekonomi negeri demi kesejahteraan dan kemakuran hampir 300 juta warganegara.Â
Sayangnya semua pidato para calon menjelang Pemilu isinya bagus-bagus dan seringkali malah lebih menyerupai mimpi. Orasi berapi-api pun hanyut tertiup angin sepoi-sepoi ditelan mimpi. Ketika terpilih banyak yang berubah menjadi sekedar janji-janji setinggi langit tanpa ada wujudnya.Â
Ada sebersit harapan, agar pidato atau janji kampanye tersebut bukan hanya sekedar janji kosong, kampanye dilakukan di dalam kampus. Kampus menjadi filter agar pidato tidak asal buka mulut.Â
Berbeda dengan blusukan, berkampanye di depan civitas akademika sebuah kampus perlu persiapan matang. Paling tidak isi pidato yang disampaikan adalah sesuatu yang memiliki dasar dan bukan sesuatu yang di awang-awang.Â
Masuk ke dunia kampus "besar" yang berisi orang-orang "besar" tentu memerlukan nyali yang juga "besar". Â Sepanjang kampus tersebut masih berpegang teguh pada kemuliaan ilmu dan menjunjung tinggi nilai, norma dan tatakrama keilmuan, kampanye di dalam kampus adalah sebuah ide yang bagus.Â
Kampanye di kampus sekaligus juga bermanfaat untuk menepis tatapan sinis sebagian masyarakat yang meragukan kemampuan calon pemimpin.Â
Para calon pemimpin tentu paham bahwa dirinya memang sosok paling pantas dan paling baik untuk  memimpin bangsa dan Negara ini. Mereka haruslah ksatria, karena untuk kedudukan yang sangat penting bagi bangsa ini diperlukan seorang berjiwa ksatria.Â
Ksatria yang mempu mengekspresikan dengan baik penguasaannya atas masalah bangsa yang aktual lengkap dengan solusinya. Negeri ini memerlukan pemimpin yang brilian, amanah. dan mencintai rakyat secara tulus.Â
Calon pemimpin yang pemalu lebih baik minggir, apalagi calon pemimpin yang tidak tahu malu. Mereka lebih baik mundur sebelum nantinya menjadi pemimpin yang bikin malu.
