Mohon tunggu...
SARIP BESAN
SARIP BESAN Mohon Tunggu... Perawat Rasa di Balik Tulisan"

“Ruang Ilmu untuk Dunia yang Lebih Santun.”

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tan Malaka: Logika yang Melawan Mitos Bangsa Sendiri

12 Oktober 2025   05:34 Diperbarui: 12 Oktober 2025   05:36 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay (diedit untuk keperluan ilustrasi artikel)

Tan Malaka lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, pada 2 Juni 1897.

Nama aslinya adalah Sutan Ibrahim, namun dunia mengenalnya dengan nama perjuangannya Tan Malaka.

Sejak muda, ia sudah menampakkan kecerdasan luar biasa. Setelah menempuh pendidikan di Kweekschool Bukittinggi, ia mendapat beasiswa ke Rijkskweekschool Haarlem, Belanda.

Di negeri itu, kesadarannya tumbuh bahwa ilmu pengetahuan bukan sekadar alat mencari pekerjaan, tapi senjata untuk membebaskan rakyat dari kebodohan dan penjajahan.

Jejak Perjuangan Internasional

Sepulang dari Belanda, Tan Malaka mengajar di Sumatera Barat, namun gagasan kritisnya membuat ia diawasi ketat oleh Belanda.

Ia kemudian berkelana ke berbagai negara Filipina, Tiongkok, Singapura, Thailand, hingga Rusia dan terlibat dalam pergerakan kiri internasional.

Dari pengembaraan itu, ia memetik pelajaran penting: revolusi Indonesia harus lahir dari realitas dan budaya rakyat sendiri, bukan hanya meniru teori Barat.

Menuju Republik Indonesia

Dalam tulisannya yang terkenal,Naar de Republiek Indonesia (1925), Tan Malaka sudah menyerukan pendirian Republik Indonesia, jauh sebelum 1945.

Ia menulis:

"Kemerdekaan sejati hanya dapat dicapai oleh rakyat, bukan diberikan oleh penjajah."

Ia percaya bahwa kemerdekaan bukan hanya politik, tetapi pembebasan sosial dan intelektual rakyat dari penindasan ekonomi dan feodalisme.

Republik, bagi Tan Malaka, adalah bentuk tertinggi dari kesadaran rakyat terhadap martabatnya sendiri.

Madilog: Revolusi dalam Pikiran

Karya terbesar Tan Malaka, Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika), ditulis di Rawajati, Jakarta (1942--1943).

Buku ini adalah manifesto revolusi intelektual bangsa Indonesia.

Tan Malaka menilai bahwa masyarakat terlalu lama dikuasai oleh mitos dan kepercayaan irasional.

Ia menulis:

"Bangsa yang ingin merdeka harus belajar berpikir dengan logika, bukan dengan takhayul."

Dalam Madilog, ia memperkenalkan tiga landasan berpikir:

Materialisme memahami realitas secara ilmiah, bukan supranatural.

Dialektika melihat perubahan sebagai proses alami dari pertentangan dan perkembangan.

Logika berpikir sistematis, rasional, dan terarah.

Melalui Madilog, Tan Malaka ingin menciptakan revolusi tanpa senjata: revolusi di dalam pikiran.

Sosialisme Khas Nusantara

Berbeda dari komunis Eropa, Tan Malaka mengembangkan sosialisme Indonesia yang ia sebut Murbaisme (Musyawarah Rakyat Banyak).

Konsep ini menekankan gotong royong, musyawarah, dan kesadaran kolektif.

Ia menolak kapitalisme yang menindas, tapi juga menentang diktator partai.

Menurutnya, rakyat harus menjadi pusat pengambilan keputusan, bukan sekadar objek dari kebijakan penguasa.

Pendidikan Sebagai Jalan Pembebasan

Tan Malaka percaya bahwa pendidikan adalah senjata paling ampuh dalam revolusi.

Ia menegaskan:

Kemerdekaan tanpa pengetahuan hanyalah kemerdekaan semu.

Sekolah, menurutnya, tidak boleh sekadar mencetak pegawai, melainkan melahirkan manusia yang berpikir bebas dan logis.

Guru, bagi Tan Malaka, adalah penyalur kesadaran kemerdekaan

pembimbing agar rakyat sadar akan hak dan logikanya.

Akhir Tragis, Pikiran yang Abadi

Tan Malaka wafat pada 21 Februari 1949 di Kediri, Jawa Timur, dalam situasi politik pasca revolusi yang penuh konflik.

Ia gugur di tangan sesama pejuang, tetapi pemikirannya tetap hidup melampaui zaman.

Seperti tulisnya dalam Madilog:

"Beribu orang Indonesia akan mati dalam perjuangan. Tetapi pikiran mereka tidak akan pernah mati."

Kini, nama Tan Malaka menjadi simbol keberanian intelektual bukti bahwa revolusi sejati lahir dari pikiran yang merdeka.

Relevansi di Era Digital

Di zaman media sosial yang penuh disinformasi dan fanatisme, pesan Tan Malaka terasa semakin nyata:

Revolusi sejati dimulai dari kepala, bukan dari kekuasaan.

Bangsa yang berpikir logis dan ilmiah akan sulit dijajah oleh hoaks dan kebodohan.

Inilah esensi pemikiran Tan Malaka berpikir adalah bentuk tertinggi dari perjuangan.

Dari Pandan Gadang, Sumatera Barat, seorang guru muda menyalakan api logika yang menembus batas zaman.

Ia bukan hanya pejuang, tetapi filsuf bangsa yang mengajarkan bahwa kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan berpikir.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun