Mohon tunggu...
Sarianto Togatorop
Sarianto Togatorop Mohon Tunggu... Guru - Pengajar yang menyukai kebebasan

Seseorang yang tak tahu kalau dia ada

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seruni: Surat Cinta untuk Angela

4 Juli 2020   14:45 Diperbarui: 4 Juli 2020   14:46 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pria berjalan menggunakan payung hitam saat hujan (sumber: videohive.net)

Titik-titik hujan masih berjatuhan menemani pria itu berjalan pulang. Menyusuri jalanan berbatu yang basah, langkahnya gontai dipaksakan tegar. Ujung sepatunya mulai basah terkena titik hujan dari langit dan dari payung yang dikenakannya. Tangan kanannya menggenggam payung yang sesekali dihalau angin dingin yang mengalir di pipinya. Wajah yang tak lagi dirawat itu ditumbuhi kumis dan janggut yang satu per satu mulai memutih. Tas hitam berbahan kulit di tangan kanannya digenggamnya erat. Pria paruh baya berpakaian hitam itu berjalan menembus titik-titik hujan, di bawah awan hitam dan pepohonan yang kedinginan di jalan setapak menuju rumahnya.

Pagar putih dari kayu, sebulan lalu baru dicat tukang kebun yang sesekali datang merawat tanaman di dalamnya. Sebuah kotak surat dari kayu berdiri di sebelah pintu masuk menuju pekarangan. Pria itu berdiri menatap kotak surat di hadapannya. Menyelipkan tasnya di ketiak tangan kanannya yang masih menggenggam payung. Tangan kirinya membuka kotak surat dan menarik sepucuk surat bergambar angsa kesukaan istrinya. Angela, untuk suamiku tercinta, tertulis di sana. Pria itu melangkah masuk dan menutup pintu.

"Bram, bagaimana kabarmu? Kuharap kau selalu baik. Jaga kesehatanmu." Baris pertama surat itu. "Bagaimana aku bisa sehat Angela? Aku tak bisa sehat tanpamu." Rintih batin pria itu. "Bram, rumah baruku ini terasa indah, banyak seruni tumbuh sepanjang jalannya. Warnanya putih. Kesukaan kita kan? Bram, kau masih memelihara seruni di taman rumah kita kan? Aku merindukan kita duduk berdua di teras rumah kita menanti matahari tenggelam dengan secangkir teh dan bau seruni menghinggapi hidung kita. Baunya masih bisa kuhirup sampai ke sini Bram. Bram, di sini terasa sunyi. Aku menantikan kehadiranmu di sini. Aku akan tanami seruni sambil menunggumu di sini. Dengan penuh cinta, Angela. Istrimu." 

Pada baris terakhir surat itu, air mata pria itu menetes. Berjatuhan di pahanya. Terduduk ia di tempat tidurnya, kepalanya ditopang oleh tangannya dengan kedua sikunya menempel di pahanya. Bahunya naik turun menahan nafas yang menyesak. Suara tangisan yang tertahan dalam diam, hanya air mata yang tak berhenti mengalir. Hujan di luar sana menjadi sama seperti air matanya. Menetes membasahi seruni yang tumbuh di halaman rumah. Bintik-bintik air bersembunyi di balik kelopak halusnya.

***

Siluet pria berdiri dekat jendela (sumber: depositphotos.com)
Siluet pria berdiri dekat jendela (sumber: depositphotos.com)
Kicau burung membuka pagi. Matahari mengintip di balik awan yang masih berkabut. Cahayanya menyusup di antara dedaunan pohon, mulai menerpa bunga seruni yang masih menyimpan titik-titik air. Titik-titik air masih berjatuhan dari dedaunan pohon, sebagian lagi mulai menguap terkena panas matahari.

Bram menyingkap tirai jendela kamarnya, membiarkan cahaya matahari malu-malu menembus kaca jendela. Cahayanya memantul di kulitnya, menyilaukan matanya yang masih terbuai kegelapan. Dari belakang, Bram hanya silhouette yang bermandikan cahaya. Seperti hatinya yang masih berduka. Bram masih menutup jendela-jendela dalam hatinya. Jendela yang dulu terbuka untuk cahaya.

Bu Yem, janda tua yang sehari-hari bekerja untuk Bram, telah memasak sarapan pagi. Secangkir kopi dan roti dengan telur dadar telah terhidang di meja. Bram menyeruput kopi paginya, kehangatan menyeruak di dalam perutnya.

Bu Yem hanya mengamati Bram, tak sedikit kata keluar. Hanya memperhatikan pria malang yang tengah duduk di hadapannya. Telah dua bulan pria menyedihkan itu dirundung malang. Dulu rumah itu penuh tawa, kebahagian dan kehangatan. Sekarang, diam lebih mendominasi dalam ruang-ruang di rumah kecil itu. Bu Yem telah bekerja untuk Bram dan Angela sejak suaminya meninggal. Angela yang membawa Bu Yem bekerja, janda itu ditinggal suami tercintanya 5 tahun lalu. Bu Yem yang tak punya apa-apa, hidup sendirian, tanpa sesuatu untuk bertahan hidup.

Bram menikmati sarapannya dalam diam. Kelopak matanya menandakan pergumulan melewati malam. Bu Yem bisa melihat itu dalam raut wajah Bram. Sekali lagi, seperti hari-hari sebelumnya, Bu Yem tanpa kata mencoba memahami pergolakan hati Bram.

Pukul 08.05 Bram telah bersiap. Coat Blazer hitam pemberian Angela di ulang tahun Bram setahun lalu, selalu menemani Bram bekerja. Tas hitam kesukaannya berisi kenangan dan harapan masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun