Mohon tunggu...
Sari Aryanto
Sari Aryanto Mohon Tunggu... Editor - fiksi diksi kopi, tiga hal yang membuatku lebih hidup

Perempuan biasa yang punya mimpi luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[Fiksi Horor dan Misteri] Macan Gunung Mijil

24 September 2016   08:57 Diperbarui: 28 September 2016   11:01 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksi horor dan misteri

Aja turu sore kaki
Ana dewa nganglang jagad
Nyangking bokor kencanane
Isine donga tetulak
Yaiku bageane wong melek sabar narima

Tembang asmaradhana yang selalu Akung dendangkan saat menidurkanku kala kecil kembali terdengar samar-samar. Sesaat aku mencari sumber suara itu sampai kusadari kalau malam ini malam jumat legi. Yaitu malam yang selalu di haruskan Akung agar aku cagak lek atau tidak tidur sebelum jam dua belas malam.
***

Sejak kecil Akung mendidikku dengan keras, beliau mengharuskan aku melaksanakan ritual di malam-malam tertentu menurut penanggalan Jawa. Hal tersebut membuatku sering protes pada Akung, karena hanya aku yang harus melakukan ritual tersebut. Padahal di rumah kami, tinggal pula para sepupu yang sebaya denganku. Tapi mereka bebas melakukan apapun tanpa takut mendapat hukuman jika melanggar.

Sampai tiba sebagai perempuan, aku mendapat menstruasi pertama. Akung dan juga Uti menyiapkan bancakan untuk menandai titik balik kedewasaanku. Dan sejak saat itu, makhluk astral sering mendekatiku. Awalnya aku sering ketakutan dan menjerit-jerit jika di dekati wong samar, tapi lagi-lagi Akung mengingatkan agar tidak takut dan lebih banyak tirakat. Sebagai keturunan langsung dari trah Prawiraredja, yang terpilih untuk meneruskan tradisi keluarga, aku menerima takdirku sebagai perempuan yang mempunyai mata ketiga.
***

Malam ini aku memutuskan untuk meneruskan pekerjaanku di teras rumah. Mbak Ina, pembantu sekaligus teman yang setia menemaniku setahun belakangan ini sudah pulas tertidur. Anaknya sedari siang panas dan rewel, jadi kuijinkan dia beristirahat lebih dulu. Besok pagi dia harus mengurus para pekerja di sawah yang mulai masuk masa tanam.

Kulayang pandangku jauh ke depan, tak terasa sudah setahun aku tinggal di desa ini, jauh dari anak-anakku. Perpisahanku dengan suami membawaku menyepi di desa yang bahkan tidak terlihat di peta. Rumah ini kubeli dari paman mbak Ina, sekaligus sawah dan kebon di utara desa. Pandanganku tertuju pada pagar depan rumah, rupanya mbak Ina lupa belum menutupnya.

Jam berdentang dua belas kali saat aku menyelesaikan hitunganku. Harga pupuk naik lagi, dan itu membuatku harus menghitung ulang harga jual sawi yang akan di panen tiga hari lagi. Angin tiba-tiba terasa sangat dingin dan tiupannya membanting pintu pagar berkali-kali. Harus di tutup kalau tidak mungkin akan menganggu tidur mbak Ina yang kamarnya paling dekat dengan pagar.

Aku berjalan perlahan menuju pagar, tapi aku terpana melihat sesuatu yang agak aneh. Kebetulan rumahku berseberangan dengan pekuburan desa, hanya di batasi jalan yang cukup satu mobil lewat, khas jalan-jalan di desa. Samar-samar aku melihat ada sesosok berwarna putih terang berjalan ke arahku. Aku terpaku melihat sosok itu, sampai kemudian sosok itu makin jelas terlihat nyata di mataku.

Seratus meter dari tempatku berdiri, seekor macan putih tampak menggendong pocong dengan gontai berjalan ke barat melewati depan pagar rumahku. Aku terpana, kakiku gemetaran, keringat dingin muncul membasahi tubuhku. Tepat di depan pagar, macan itu melihat tajam padaku, matanya bersinar seperti lampu bohlam sepuluh watt. Aku ingin berlari masuk ke dalam rumah tapi kakiku tertancap kuat di tanah. Jelas terlihat pocong yang digendong makhluk itu adalah jasad warga dukuh Bandar, desa kecil yang berada di timur desaku yang di kuburkan sebelum mahgrib tadi.

Dengan santai macan putih itu menurunkan pocong dan menyandarkan pada pohon manggis yang tumbuh di tepi jalan, tepat duapuluh meter di hadapanku. Aku tersengal-sengal, berteriak pun tak mampu kulakukan seakan mendadak aku menjadi bisu. Macan putih itu berjalan perlahan ke arah sungai meninggalkan pocong di tepi jalan dan aku yang hanya mampu melihat kepergiannya dengan ketakutan yang luar biasa.

"Nyuwun sewu Kyaine!! Wayah kawula mboten wonten krenteg badhe damel rubeda anggenipun Kyai makarya. Mangga dipun lajengake?*" tiba-tiba kudengar suara menggelegar persis suara Akung. Macan putih itu menghentikan langkahnya dan kembali ke arah pocong yang di tinggalkan. Menggendongnya dengan susah payah karena hanya menggunakan gigi dan kaki belakangnya untuk meraih jasad tersebut. Segera setelah itu, makhluk itu membawanya ke arah sungai dan lenyap dari pemandanganku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun