Mohon tunggu...
Sari Aryanto
Sari Aryanto Mohon Tunggu... Editor - fiksi diksi kopi, tiga hal yang membuatku lebih hidup

Perempuan biasa yang punya mimpi luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Srikandi Mencari Cinta [Part 2]

16 Mei 2019   07:16 Diperbarui: 16 Mei 2019   07:41 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam sudah mulai larut saat satu persatu pengrawit pamit pada Yani.  Gadis itu merapikan peralatan yang baru saja dipakai untuk gladen tari. Tangannya lincah melipat kain, sampur dan merapikan beberapa senjata, alat bantu tari yang berserakan di lantai. Malam ini padhepokan tari sedang mempersiapkan diri untuk turut serta dalam Festival Wayang Bocah, yang memang menjadi agenda wisata tahunan kota Solo. Mereka akan mementaskan lakon Srikandhi Ngedan, dengan mengambil setting kerajaan Panchala.

Srikandhi Ngedan berkisah tentang usaha Srikandhi memperjuangkan cintanya pada Arjuna yang merupakan suami saudari tirinya, Sembadra. Kisah cinta mereka ditentang oleh Drupadha, ayahnya. Sang ayah mengurungnya dalam kaputren yang dijaga ketat. Namun Srikandhi tak kurang akal, dia berpura-pura gila agar dapat melarikan diri dari kaputren.
***

Setelah selesai memasukkan semua peralatan ke dalam lemari kaca di sudut pendhapa, Yani berjalan ke arah pintu gerbang, bermaksud menutup regol gede. Langkahnya terhenti saat melihat Nunuk sahabatnya duduk termenung di lincak samping pohon kemuning yang sedang berbunga dan mengeluarkan harum.

"Heh, Nuk ..., kamu belum pulang? Aku pikir kamu sudah mblirit tanpa pamit." tegur Yani seraya mendekat.

"Aku mau berhenti menari, Yan!" sahut Nunuk lirih.

'Lho ..., lho..., lho ..., ada apa ini? Kita ini menari hampir seumur hidup kita lho! Dan kita mengelola padhepokan ini sudah enam tahun, lalu sekarang tanpa alasan jelas kamu mau berhenti menari? Cerita padaku, Nuk! Kamu kenapa?" cecar Yani.

"Aku harus pergi, Yan ..., ini keputusanku. Aku titip anak-anak padamu!" tegas Nunuk tanpa menjawab pertanyaan yang dilontarkan Yani.

"Ini pasti gara-gara Abeb! Dasar bocah gendheng, sudah tahu kamu bertunangan dengan Kensha, masih saja mengejarmu!"

"Jangan salahkan Abeb, Yan! Aku yang salah, dan karena itu aku harus menerima konsekuensinya. Aku pamit ya, Yan ..., sampaikan juga pamitku pada Pakdhe Rekso!" kata Nunuk setengah berbisik.

Perempuan berperawakan mungil itu beranjak dari duduknya, air mata mengalir membasahi pipi seiring langkahnya meninggalkan padhepokan tari.

***

"Abeb!" seru Yani menghentikan langkah Abeb yang baru pulang kuliah siang ini.

"Apa to, Mbak? Mbok ndak usah teriak-teriak, ada apa sih? Buruan, aku sudah mau pingsan kelaparan nih!" gerutu pemuda di awal duapuluhan itu.

"Makan aja dalam pikiranmu to, Lee!" sahut Yani menoyor dahi adik bungsunya itu, "ada kabar dari Nunuk nggak? Sudah tiga minggu dia pergi nggak sekalipun meneleponku."

Abeb memonyongkan bibirnya, "Ealah, Mbak ..., mbok ya nanti tanyanya! Menganggu keasyikan cacing-cacing di perutku berdemo saja!"

Abeb berlalu tanpa mengindahkan pertanyaan yang dilontarkan kakaknya, langkah nya menuju dapur. Sementara Yani mengikuti adiknya menuju dapur.

"Heh! Cuci tangan dulu, kebiasaan banget aih, datang daria mana mana nyomot makanan!" tegur Yani saat melihat Abeb mengulurkan tangan hendak mengambil tempe dari lemari makan.

Abeb meringis, dengan cepat dia membasuh tangannya kemudian menyendok nasi. Yani menunggui dengan tidak sabar, sedang Abeb berlama-lama menyuapkan nasi.

"Beb, Nunuk nggak kasih kabar? Jangan sembunyikan apapun dariku, aku mbakyumu lho!"

Abeb meraih gelas berisi air putih, menenggak isinya hingga tandas.

"Mbak Nunuk baik-baik saja, dia menitipkan salam untukmu."

"Dia di mana?"

"Di suatu tempat, menyepi untuk sementara."

"Dia pergi karenamu, kan?"

"Heh sembarangan, dia pergi mencari cinta sejatinya. Dia merasa tertekan dengan pertunangannya."

"Lalu kamu memanfaatkan keadaan itu?"

"Sembarangan! Aku memang mencintai dia, tapi mbak Nunuk sudah menolakku, da hanya menganggapku sebagai adik. Sudah ah! tanyakan pada hati Mbak sendiri, bukankah Mbak Yani diam-diam juga mencintai mas Kensha, tapi karena Bapak menjodohkan Mas Ken dengan Mbak Nunuk, Mbak Yani harus puas menyimpan perasaan sendiri. Kita senasib, jadi jangan saling menuduh dan menyalahkan!" tandas Abeb.

( bersambung )

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun